SEKITAR tahun 2007, Ni Ketut Cita masih kecil. Ia diguncang kebingungan yang hebat, karena setahun lagi ia akan tamat sekolah SD, dan kedua orang tuanya angkat tangan sebab keuangan keluarga—tak mencukupinya agar dirinya juga bisa tamat di SMP.
Hidup benar-benar meliuk, menanjak—di depannya. Ia tak berhenti di tanjakan pertama sebagaimana rumahnya di atas bukit, di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Tapi setahun lagi hidup membuka tabir rahasianya sendiri yang lebih dalam dan menukik barangkali. Tapi sebelum itu akan tiba, ia menjemputnya lebih dulu dengan menjadi buruh kecil yang aktif.
Dari mulai menjadi buruh pengangkut jagung, dan buruh-buruh lainnya yang ia anggap mampu ia kerjakan kala panen raya atau tidak sedang panen raya. Uang ia terima setelah bekerja, dan kerja keras membawanya sebagai penabung yang baik agar bisa melanjutkan sekolah.
“Setelah tamat itu, ternyata (uang hasil kerja) itutak terpakai. Saya disuruh saja masuk SMP oleh guru di sana secara gratis, tanpa bayar, hanya karena saya pernah kerja (menjadi buruh) di tempat pak gurunya itu. Ia merasa kasian kepada saya,” cerita Ni Ketut Cita.
Siapa Ni Ketut Cita sehingga kisah hidupnya layak untuk kita dengar dan kita baca?
Ni Ketut Cita—atau mari kita panggil ia dengan nama Cita—adalah peraih medali emas pada ajang Pekan Olah Raga (PON) tahun 2024 di Sumatra Utara-Aceh. Medali emas itu ia raih bukan secara kebetulan. Ia melewati proses cukup panjang.
Saya menemuinya di Kedai kopi Dekakiang, 27/September 2024. Dan ia bercerita panjang tentang masa kecilnya hingga ia menjadi atlet dan meraih medali emas di PON.
Ni Ketut Cita saat ngobrol di Kedai Dekakiang Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Cita adalah atlet atletik dibawah naungan KONI Buleleng. Pada PON 2024 di Sumut-Aceh, Cita menyabet medali emas, dan mengingat masa kecilnya, dimana hidup menempanya—melatihnya sebelum menjadi sang juara sekarang.
Mengingat itu semua, ia menepati “kaul” dengan berjalan dari Bedugul-Singaraja sepulang dari PON di Sumatra Utara, sebagaimana jalan itu, katanya, adalah saksi bisu dirinya sampai di posisi kemenangan ini. Dan kaul adalah caranya merayakan dengan suka cita.
Cita adalah representasi perempuan yang tangguh. Berangkat dari latar belakang orang tua yang tidak mampu secara ekonomi, tak ada kemalasan yang hinggap sejengkal pun di kepadanya.
“Orang tua saya buruh tani. Dan bahkan, saya juga ikut menemai orang tua saya bekerja. Dari SD, saya ikut. Bahkan ketika pulang sekolah, ketika teman-teman sudah di jalan, saya sudah balik—membawa cangkul. Mau ikut kerja kaya begitu. Jadi karena latar belakang yang susah banget dulu,” kata Cita dengan wajah melankolis mengingat masa kecilnya.
“Rumah saya, barangkali bisa dikatakan kubuk. Atap rumahnya tuh terpal, lho. Bahkan 2014 masih kaya begitu. Gak ada listrik. Terus dindingnya itu papan, lantainya tanah. Terus itu tanah orang lagi,jadi kita tinggal di tanah orang (di Pancasari),” katanya memberi jeda.
“Makanya, kenapa jalan di situ (memenuhi kaul) itu sebenarnya, karena sejarahnya di sana gtiu. Sedih banget,” lanjutnya.
Alam Memberkatinya sebagai Pelari, dan Hidup Memberinya Bonus 15 juta dan lain-lain
Selain seorang pejuang, penakluk hidup, Cita juga ternyata seorang pengingat yang baik soal jasa—siapa saja yang menolongnya di fase susah. Dan tentu, ini adalah kelebihan dari sesosok Cita selain terampil berlari sangat cepat dengan jarak beratus-ratus meter. ”Guru SMP!” sebut Cita, mengingat sesosok itu.
“Dulu guru SMP memperhatikan saya. Kalau seandainya guru itu gak terlalu peduli, ungkin nggak sampai di titik ini saya sebagai pelari,” katanya.
Di waktu sekolah SMP, Cita—diarahkan oleh guru SMP untuk ikut lomba atletik, bagian lari—karena ia dipandang sangat terampil, gesit dan ulet juga sebagai seorang siswi. Ia dinilai memiliki semangat yang tinggi di bidang olahraga di antara teman-temannya yang lain.
Ini bukan tanpa sebab, naik turun bukit—membentuknya mejadi pelari yang cepat. Setiap hari, demi mendapatkan uang saku dan uang tambahan untuk keluarga, ia mesti membantu tetangga. Menggarap ladang, membawa pupuk, mengambil air dan apa saja. Ia selalu mengiyakan permintaan dari orang-orang yang membutuhkan jasanya.
Ni Ketut Cita bersama atlet lain dalam acara pemberian bonus oleh Pemkab Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Sepulang sekolah sekitar pukul 01.00 wita kala itu, ia tidak langsung pulang. Cita justru bekerja terlebih dahulu, atau mengambil air minum ke tengah hutan. Setelah menyelesaikan tugasnya itu, barulah ia pulang. Ia akan sampai di rumahnya sekitar pukul 15.00 wita.
“Berangkat sekolah pagi-pagi bawa jirigen. Nanti jirigennya disangkutkan dulu di pagar tegalan. Pulangnya baru diambil, langsung cari air. Itu untuk air minum,” cerita Cita.
Cita melakukan itu dengan senang. Setiap hari, bertahun-tahun, hingga terbiasa. Suatu hari, Guru olahraganya meminta Cita berkeliling sebanyak 2 kali putaran dengan waktu beberapa menit. Cita menurut. Ia melakukannya dengan baik. Tiba-tiba didaftarkan untuk ikut lomba lari.
Tapi, walaupun—secara tiba-tiba itu, putri terbaik dari I Ketut Sumatera dan Ni Wayan Widiasih langsung menang. Sejak saat itulah Cita dilatih dengan serius oleh sang guru. Dan juga berkat kesehariannya yang keluar masuk hutan, naik turun bukit—menambah Cita memiliki kekuatan kaki yang, selain kuat juga gesit. Tentu, secara tidak langsung ia telah dilatih oleh alam sebelum akhirnya bertemu dengan pelatih professional sekarang.
Kini Ni Ketut Cita, yang lahir 31 Desember 1991 itu telah menjadi atlet atletik, spesialis pelari jarak 800 meter setelah menyabet kejuaraan di PON 2024 mewakili Bali. Dari sabetan Medali Emas, ia mendapat 15 Juta dari Pemerintah Buleleng, dan tentu, belum lagi yang di Provinsi. Asik.
Selamat Ka Cita. Lari, terbang—merdeka! Jangan lupa klaim bonusnya dan tetaplah bersahaja. Saya siap masuk kedaftar Cita Lovers dan mengacungkan jempol sepanjang Kak Cita lari. Hehe.. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole