PADA hari suci purnama katiga, beberapa minggu lalu Jero Bendesa Adat Beringkit, I Ketut Sutomo memberikan pengumuman [atur pakeling] kepada seluruh masyarakat Desa Adat Beringkit, Mengwi, Badung. Bahwasannya Pujawali Ida Bhatara yang dilaksanakan pada Wrespati Umanis Dunggulan atau hari Kamis, sehari setelah Hari Raya Galungan akan dilaksanakan secara sederhana atau piodalan alit. Piodalan merupakan upacara peringatan yang dilaksanakan saban enam bulan sekali, sebagai ungkapan rasa syukur dari masyarakat umat Hindu di Bali. Sedangkan piodalan alit berarti Perayaan kecil atau sederhana, hal tersebut dikarenakan, situasi dan kondisi di areal pura masih dalam tahap pembangunan ulang.
Terhitung sejak dilakukannya upacara nurunang pada 21 Juni 2024 hingga kini 26 september 2024 pembangunan telah berjalan kisaran 40 persen. Sehingga piodalan tetap berjalan dengan kuantitas yang lebih sederhana, dan pemujaan dipusatkan pada Balai Murda Manik, setana beliau secara sementara. Kamis, Umanis Dunggulan pukul 08.00 dilaksanakan upacara ngias tapakan Ida Bhatara. Tapakan dalam Kamus bahasa Bali memiliki arti telapak dan tunggangan. Tuhan Yang Maha Esa dalam keyakinan umat Hindu di Bali dikenal dengan istilah Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Keutamaan entitas beliau begitu mulia, sangat sulit dijangkau dengan segala keterbatsan manusia. Sehingga dalam melakukan pemujaan umat Hindu di Bali memerlukan “wujud” beliau secara kasat mata. Oleh sebab itulah gabungan antara nilai estetika atau seni berpadu dengan budaya dan nilai agama [satyam, sivam, sundaram] melahirkan simbol-simbol yang diharapkan entitas tuhan dapat bermanifestasi dalam wujud tersebut. Sehingga dengan hadirnya wujud itu, umat Hindu di Bali dapat memusatkan konsentrasinya kepada entitas yang telah diwujudkan secara kasat mata yang tiada lain merupakan manifestasi, telapak, atau tunggangan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Petakapan Desa Adat Beringkit | Foto: Dokumentasi Pribadi
Tapakan yang ada di Desa Adat Beringkit, Mengwi, berwujud barong, rangda, dan celuluk. Ketiga jenis piranti seni itu sebelum melalui proses penyucian hanya merupakan ”barang seni”. Namun setelah melewati rangkaian proses penyucian maka “barang seni” tersebut menjadi sungsungan atau junjungan masyarakat desa. Sehingga kejadian apapun yang terjadi di wilayah desa dan sekitarnya masyarakat desa akan memohon kepada beliau. Atas kasih beliau kepada seluruh umat, maka setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, masyarakat desa wajib melaksanakan piodalan.
Dalam acara piodalan alit ini, melibatkan seluruh pemangku, parasayang [sejenis asisten mangku], juru pundut petapakan, serati banten, dan beberapa krama Desa Adat Beringkit. Walaupun dilaksanakan secara sederhana, upakara yang disiapkan tetaplah banyak. Setelah seluruh sajian upakara siap untuk dipersembahkan kehadapannya, maka tepat pukul 10.00 dengan diiringi dengan lantunan kidung upacara piodalan alit dimulai. Upacara piodalan dipimpin langsung oleh Jero Bandesa Adat Beringkit, dan para pemuka agama atau mangku kahyangan tiga.
Piodalan berlangsung secara khidmat, mantra-mantra suci silih berganti diucapkan oleh pemangku diiringi dengan dentingan suara lonceng keagamaan atau genta. Lantunan kidung sebagai pengiring dan pelengkap dari ritus pun tak terlupakan. Suasana saat itu dipenuhi oleh beberapa umat dan pemangku, namun ditengah keramaian itu ada rasa sunyi dan hening yang senantiasa menyelimuti. Harum dupa semerbak yang memenuhi lingkungan utama mandala tercium hingga nista mandala.
Matahari yang memancarkan sinarnya seakan menjadi ciri bahwasannya beliau berkenan dengan persembahan sederhana dari para hambanya di muka bumi. Sekitar dua jam berjalan pelaksanaan piodalan alit selesai. Dengan selesainya rentenan piodalan alit maka dilanjutkan dengan ritus berikutnya yakni meprani. Meprani berasal dari kata prani. Prani berarti sesajen, sedangkan meprani memiliki arti menghaturkan sesajen kehadapan Ida Bhatara. Ritus tersebut dilaksanakan oleh seluruh warga Desa Adat Beringkit.
Sesajen prani merupakan salah satu sesajen umat Hindu di Bali yang dibuat dengan menggunakan bahan dasar hasil bumi seperti buah-buahan. Namun, karena kemajuan jaman, sesajen prani mulai dikombinasikan dengan jajanan modern. Seluruh piranti disusun dengan rapi dilengkapi dengan sampyan, canang dan diwadahi tempat tradisional yang disebut dengan keben. Ritus meprani dilaksanakan dari jam 14.00 hingga 18.00. Setelah seluruh masyarakat selesai melaksanakan ritual ini, dilanjutkan dengan upacara Panyineban atau rangkaian terakhir sebagai simbolisasi pengembalian seluruh entitas Tuhan yang telah berkenan hadir, kembali pada tempatnya semula yakni dewa loka. [T]