DI acara pembukaan Minikino Film Week 10 di Geo Open Space, Badung, Jumat, 13 September 2024, ada beberapa film yang diputar—dalam acara Opening Program. Seperti Suli Storyboard (2023), Shallot Salad (2023), Black Rain in My Eyes (2023), Sukoun (AmpliAfied) (2023), dan Somni (2023).
Semua film yang diputar saat itu sangat fresh dalam segi konten dan pengemasannya. Ada karya dari Indonesia yang diputar, dan beberapa dari negara lain juga ditampilkan malam itu. Salah satunya pada film Somni (2023) karya Sonja Rohleder dari Berlin, Jerman.
“Dosis Film Pendek untuk Kesehatan Kita!” begitulah kira-kira adagium Minikino Film Week 10, sebelum kelima film akan ditayangkan satu-persatu. Itu bukan adagium omong kosong. Festival ini benar-benar memberikan pengalaman menonton yang berarti.
Sebab itulah acara ini memiliki idealisme tersendiri barangkali yang ekslusif—tentang short film berkelas internasionalterbaik dari berbagai negara—yang menebar kemanusiaan dan pengetahuan melalui sebuah film, dan di hari itu semua mata tertuju pada layar lebar di Geo Open Space, Badung.
Film Somni (2023) karya Sonja Rohleder yang diputar dalam pembukaan Minikino Film Week 10 di Geo Open Space, Badung | Foto: tatkala.co/Son
Pada film milik Sonja Rohleder misalnya, Somni adalah satu film pendek, bahkan sangat pendek karena durasinya hanya 03.15 dibandingkan dengan empat film lainnya yang sedikit lebih panjang. Dan tentu pada film pendek (shor film) bukan hanya sekadar mempersoalkan waktu, tetapi apa yang hendak ditawarkan oleh sang sutradara. Ide, eksperimental teknik, dan atau kebaharuan—pada sebuah film pendek itu menjadi bagian terpenting yang selalu dibahas. Tidak klise.
Pada film animasi seperti Somni, menceritakan tentang seekor monyet kecil yang tertidur pulas—lalu bermimpi. Orang-orang dibuat hanyut pada visual dan cerita yang menarik—singkat. Tentang proses tidur dan mimpi itu, tentu—ada eksperimental ide di sana. Bagaimana Sonja Rohleder memasukkan ingatannya tentang sebuah proses mimpi itu pada anak-anak bukan hanya sekadar sebuah fantasi mengarang.
Kemudian animasi semacam apa yang cocok untuk dimasukkan ke dalam filmnya itu—adalah sebuah proses kreatifnya dalam memikirkan apa yang cocok dan tidak cocoknya. Selama enam bulan, ia telah menghabiskan waktu untuk itu.
Sekilas Tentang Film SOMNI (2023)
Film itu dibuka dengan seekor monyet menekuk lututnya di dahan pohon—sedang memandangi bulan purnama di atas ketinggian. Di tengah bulan bercahaya penuh itu, monyet kecil itu mengantuk dan lalu tertidur.
Ia terjatuh kemudian dari dahan tempatnya menyimak bulan yang syahdu tersebut, bersamaan dengan mimpinya—tentang terjatuh ke segala macam dimensi ruang yang warna-warni, terang, kemudian gelap dengan isinya monster-monster seram.
Ia melayang seperti bulu burung yang terjatuh dari sarangnya. Terpental dari daun satu ke daun lainnya tertiup angin sampai ke bagian tempat terbawah pohon, melayang-layang.
Penonton yang antusias menonton film-film pendek pada pembukaan Minikino Film Week 10 di Geo Open Space, Badung | Foto: tatkala.co/Son
Di dalam mimpi monyet kecil itu, ia masuk ke ruang mimpi yang horror dengan latar warna merah—masuk ke dalam sungai, terpental bertemu buaya, lalu segala macam hal yang enak di satu ruang juga dijumpainya dengan indah. Abstrak. Di dalam mimpinya, monyet kecil itu mengalami peristiwa banyak hal dari sebuah tidur—tentang pengalaman yang baik atau buruk.
Lalu di akhir cerita, monyet kecil itu ditangkap ibunya sebelum menyentuh tanah dan ia terbangun di pangkuan sang ibu kemudian. Terlihat, sang ibu monyet mendekapnya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Mimpinya yang gelap juga alasan si monyet kecil itu terbangun. Lalu film itu selesai.
Namun, saya masih merasa penasaran—di samping terus memuji bahwa skenario yang dibuat oleh Sonja dalam animasi tersebut itu sangat bagus—eksploratif dalam hanya tiga menit, dan apalagi gambarnya yang sangat kuat dan semiotis. Tapi, mengapa harus di-ending-kan dengan sesosok ibu?
Mengenal Sonja Rohleder, Proses Tidur dan Mimpi—Waktu Kecil
Sonja Rohleder adalah seorang animator berkebangsaan Jerman. Ia lahir di Jerman bagian timur, di sebuah kota kecil bernama Saxony tahun 1982—atau delapan tahun sebelum tembok Berlin runtuh tahun 1989.
Tembok Berlin adalah peristiwa besar yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur secara sosial-politik. Tentu, hal demikian menciptakan ketegangan sosial di balik tembok—dengan penderitaan perang dingin mereka yang membeku.
Untuk sebuah kemerdekaan dan kebebasan, sekitar 70.000 orang menciptakan gelombang protes di Leipzig untuk meruntuhkan tembok itu dalam memerdekakan diri dari sekat dan sistem ekonomi yang kusut kala itu.
Sonja Rohleder | Foto: tatkala.co/Son
“Masa setelah tembok runtuh bukanlah masa yang mudah bagi wilayah tersebut karena kehidupan mereka banyak berubah. Tapi sekarang semua orang beradaptasi dengan caranya masing-masing dan misalnya Leipzig, saya merasa kota ini berkembang dan secara budaya sangat menarik,” kata Sonja Rohleder, sutradara dari Berlin, Jerman di sela-sela acara pembukaan Minikino Film week 10 itu.
Sebelum menjadi seorang animator dan keliling dunia dengan film pendeknya, Sonja Rohleder menamatkan kuliahnya lebih dulu di Universitas Film Babelsberg Konrad Wolf. Setelah mendapatkan waktu yang bebas dari ruang akademik, ia melanjutkan karirnya dengan banyak mengerjakan proyek animasi setelah kelulusannya itu. Di lain sisi—tentang kreatifitas, ternyata animasi dari Jepang menjadi bagian terpenting yang memantik inspirasinya dalam membuat karya.
Sebagai seorang sutradara film animasi, Sonja telah memproduksi film pendek miliknya sendiri dan tak jarang ia juga melakukan kolaborasi di Talking Animals Animation Collective dan Studio Pauke di Berlin. Ada beberapa filmnya yang sudah rilis dan beberapa telah mendapatkan penghargaan. Seperti Cocoon Child (2009), Dame mit Hund (2014), Kolumbeus (2012), Junges Blut (2015), Nest (2019), Quiet ( 2019), dan Somni (2023).
Sementara tumpukan penghargaannya antara lain: Artist in Residence at MASH Denpasar, Indonesia, Special prize at Hiroshima International Animation Festival (Nest), Best short film at Anilogue (Dame mit Hund), dan Special-FBW price at interfilm Berlin (Nest).
Kemudian ia juga menyabet penghargan Artist in Residence at CUC Bejing China, Best national animated short film at Filmfest Schlingel (Nest), Best Mini Short Family & Children at Sapporo International Short Film Fest (Nest), World Animation Award 2014 – 28th Leeds International Film (Dame mit Hund), Audience Prize at Les Nuits Magiques festival (Nest).
The Golden Helmet Award at Filmed By Bike (Dame mit Hund) dan DEFA Promotion Prize Animation at Filmfest Dresden (Dame mit Hund). Dan Best European short film / ECFA price at BFF Kristiansand pada film Somni Garapan tahun 2023 itu.
“Di film ini saya ingin menunjukkan sebuah feeling, dan ingin memberikan pendekatan lain kepada anak-anak untuk menceritakan sebuah perasaan,” jelas Sonja. “Bagi anak-anak, terkadang tidur itu sangat susah dan sangat menakutkan. Jadi kenapa endingnya bersama orang tua, karena keluarga adalah zona yang aman dan zona yang nyaman. Anak-anak akan tidak merasa takut lagi ketika berada di sisi ibunya setelah bangun tidur!”
Ia juga menjelaskan, film yang ia garap sebenarnya sangat sederhana. Berdasarkan pengalaman pribadinya waktu kecil. “Jadi dengan membuat film ini, saya ingin membuat anak-anak agar mereka dekat dengan cerita ini,” katanya.
Salah seorang penonton yang antusias menonton film-film pendek pada pembukaan Minikino Film Week 10 di Geo Open Space, Badung | Foto: tatkala.co/Son
Tidak hanya pada karyanya yang berjudul Somni ia persembahkan pada anak-anak. Secara keseluruhan pada karya-karyanya itu, ia juga sangat rendah hati mempersembahkannya untuk semua orang, tanpa kelas.
“I want to give to humanity. Give to the people!” katanya. Lalu ia bergegas pergi memotong malam dari keramaian pengunjung. “See You, Son.” Katanya kepada saya yang sesungguhnya masih ingin mendengar ceritanya lebih banyak lagi.
“See You Too, Sonja. Thank You!” balas saya secukupnya. [T]
Catatan: Liputan ini dibantu oleh Tania—volunteer dari Minikino Film Week 10 yang bersedia menjadi translitor pada sesi wawancara tim tatkala.co, pada Jumat, 13 September 2024 di Geo Open Space, Badung-Bali.
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole