TIGA puluh penulis dari Bali dan luar Bali duduk di kursi berselimut di wantilan Desa Adat Buleleng. Selama tiga hari mereka serius mendengar, memahami, pula mendiskusikan materi-materi khazanah (jalur) rempah yang dibawakan para narasumber.
Acara yang yang berlangsung dari 23 sampai 25 Agustus 2024 itu bertajuk “Khazanah Rempah dalam Lontar Bali”—program khusus Singaraja Literary Festival 2024. Seminar tersebut mendatangkan Wicaksono Adi, penulis esai seni-budaya, dan tiga narasumber yang ahli dalam bidang pembacaan, penelitian, dan kajian lontar, seperti Ni Made Ari Dwijayanti, IGA Darma Putra, dan Putu Eka Guna Yasa.
Kegiatan tersebut didukung oleh keterlibatan Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia.
Rempah adalah kekayaan alam Indonesia yang sudah terkenal sejak berabad-abad silam. Citra rempah yang hangat dan bisa dijadikan penyedap makanan menyebabkan bangsa Barat rela menjelajah lautan untuk mendapatkannya di bumi Nusantara. Konsekuensi memiliki kekayaan alam yang menggiurkan ini, bangsa Eropa yang semula menjelajah rempah, akhirnya menjelma-rupa menjadi menjajah.
Zakariyya al-Qazwini (w. 1283 M) dalam manuskrip kitab “Aja’ib al-Makhluqat wa Ghara’ib al-Maujudat”, sebagaimana disampaikan Wicaksono Adi dalam materinya, menyebutkan bahwa pulau-pulau “Zabaj” (Nusantara) dikuasai oleh orang bergelar “al-Maharaj” (Maharaja). la juga menyatakan bahwa Nusantara dikenal sebagai wilayah yang kaya emas dan tempat asal segala jenis rempah.
Tetu saja itu tak mengherankan. Sebab, sekali lagi mengutip materi Wicaksono Adi, Nusantara adalah rumah besar keanekaragaman hayati dunia. 11 persen tumbuhan dunia ada di hutan tropis negeri ini. Lebih dari 30.000 spesies, sebagian di antaranya sekitar 275 spesies dapat digolongkan sebagai rempah, beberapa adalah tanaman introduksi dari belahan dunia lain.
Komoditas penting pada masa perniagaan hingga abad ke-17: Cengkih (endemik Ternate, Tidore, Moti, Makian, Bacan); pala (endemik Banda); aromatik getah pohon: kemenyan, kamper atau kapur (endemik Sumatra), kayumanis, lada (introduksi); dan cendana (endemik pulau Timor.) adalah sihir bagi bangsa Eropa.
“Abad ke-1 M, ahli geografi, matematika, dan astronomi Alexandria, Claudius Ptolemeus, menulis Guide to Geography, peta kuno yang mencatumkan Barus sebagai kota pelabuhan penting di dunia. Ia memperkirakan jalur ke lokasi-lokasi Asia melalui Venesia, Alexandria, Yaman, India, Barus, dan Tiongkok,” ujar Wicaksono Adi saat mempresentasikan materinya, Jumat (23/8/2024) pagi.
Di berbagai kota itu, lanjut Adi sebagaimana ia mengutip Drakard (1989), berlangsung transaksi minyak wangi dan keramik dari Yunani dengan kapur barus (cinnamomum camphora). Barousai adalah sebutan untuk Barus yang berada di pesisir barat Sumatra sebagai produsen kapur barus terpenting di dunia pada masa kuno.
Laporan arkeologis menemukan aroma kapur barus pada mumi-mumi Mesir 500 SM (Czarra, 2009: 31). Menurut Turner (2011), sebelum Masehi rempah Nusantara diperdagangkan di Mediterania oleh pedagang India dan Arab. Mula-mula dibawa ke Malabar, India lalu ke Roma dan Venesia.
Secara imajinatif, jalur rempah adalah suatu lintasan peradaban dalam bermacam bentuk, berupa garis lurus, lingkaran, silang, bahkan berbentuk jejaring. Jalur perdagangan antarbenua itu dikenal dengan “jalur rempah”—merujuk kepada salah satu komoditas utama perdagangan pada zaman kejayaannya, yaitu rempah.
“Jalur Rempah berkelindan dengan terbentuknya jalur-jalur pelayaran, baik jalur di wilayah Nusantara maupun jalur pelayaran global. Jalur-jalur pelayaran tersebut menimbulkan konektivitas dalam berbagai dimensi,” terang Wicaksono.
Bersama dengan komoditas bernilai lainnya, rempah menyusuri pelabuhan demi pelabuhan dari Asia hingga Eropa. Dalam konteks perkembangannya di Bali, rempah tumbuh dari utara Bali yang merupakan salah satu titik berlabuh dan bertolaknya rempah Nusantara. Para pelawat manca negara, terutama India dan Cina, telah tiba di Bali sejak awal abad Masehi.
“Di Bali utara terdapat pelabuhan alam yang tersebar dari Gilimanuk, Celukan Bawang, Tanjung Ser, Pangkung Paruk, Manasa, Pacung dan Sembiran. Pelabuhan tersebut cukup terlindung dari dari ombak besar sehingga kapal-kapal pedagang dari berbagai daerah Nusantara, India, Arab dan Cina dapat berlabuh dengan aman,” ucap Wicaksono.
Hingga saat ini, masyarakat Bali, secara kreatif, masih melestarikan rempah dan memanfaatkannya untuk kepentingan ketahanan alam, elemen ritual, ramuan pengobatan dan perawatan, serta mengembangkan gastronomi. Hal ini membuktikan bahwa jalur rempah adalah jalur budaya dan jalur perdagangan sekaligus yang selama berabad-abad dapat kita teroka jejak legasinya dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Rajutan hubungan antara masyarakat Bali dengan rempah menyebabkan sistem pengetahuan kerempahan juga tercatat dalam warisan naskah. Naskah Bali seperti Geguritan Megantaka, Tutur Dharma Caruban, dan Usadha Bali dapat dijadikan literasi tentang fungsi rempah.
Berdasarkan pustaka-pustaka itu, rempah setidaknya memiliki tiga fungsi utama, yaitu dalam konteks gandha, boga, dan usadha. Dalam Geguritan Megantaka dijelaskan bahwa rempah berfungsi sebagai sarana minyak wangi atau parfum (gandha).
Demikian pula dalam konteks boga, naskah lontar Dharma Caruban menjelaskan berbagai bumbu, terutama basa genep, untuk membuat olahah betutu, sate, timbungan, dan yang lainnya. Selanjutnya, dalam konteks usadha atau obat-obatan, lontar Usadha Rare membabar betapa pentingnya rempah sebagai sarana kesehatan, seperti obat batuk, radang, luka, dan seterusnya.
Rempah sebagai Usadha
Menurut IGA Darma Putra—pembaca, peneliti, dan pengkaji lontar—dalam konteks rempah sebagai usadha, terdapat banyak lontar yang membahasnya. Ada Usadha Purus, Usadha Gede, Dharma Usadha, Usadha Parembon, Usadha Upas, dan masih banyak lagi. Kata usadha, sebagaimana dikatakan Darma Putra, berarti obat, atau tamba—obat, pengobatan.
“Dalam usadha, sebagaimana dokter di era modern, ada empat hal yang harus kita kuasai kalau mau menjadi balian [ahli pengobatan Bali], yaitu tenger, mantra, cara, dan sarana. Tenger itu semacam ciri-ciri, atau diagnosis awal atas penyakit yang diderita pasien sebelum pengobatan,” jelas Darma Putra, Jumat (23/8/2024) siang, setelah Wicaksono Adi memaparkan materinya.
Pada hari pertama itu Darma Putra juga menyampaikan daftar nama rempah yang termuat dalam prasasti Bali Kuno. Asam—atau asem—disebut camalagi dalam Prasarti Bebetin (818 S) Klungkung; dalam Prasasti Buwahan A ((916 S) dan Batur Pura Abang A (933 S) bawang merah ditulis bawang; sedangkan bawang putih disebut rasuna dalam Prasasti Sembiran AII (897 S).
Lalu cabai dikenal dengan nama cabya dalam Prasasti Sembiran AI (844 S), Bwahan A (916 S), dan selalu berimpitan dengan minyak (lngis). Jahe adalah halya menurut Prasasti Sembiran AII (897 S); dan jahe disebut pipakan dalam Prasasti Batur Pura Abang A (933 S). Kemiri adalah kamiri dalam Prasasti Ujung (962 S); berbeda dengan sebutan tersebut, dalam Prasasri Sembiran AI (844 S) dan Ujung (962 S) kemiri juga disebut tingkir.
“Kalau kasumba disebut kasumbha dalam Prasasti Buwahan A (916 S), Batur Pura Abang A (933 S), dan Sembiran AIII (938 S). Kunyit, tetap sama sebutannya, yaitu kunyit dalam Prasasti Kintamani C (-) dan Kintamani D (1122 S). Sedangkan pinang itu sebutannya pucang dalam Prasasti Batuan (944 S) atau wwah dalam Prasasti Batur Pura Abang A (933 S). Dan sirih disebut sereh dalam Prasasti Batuan (944 S),” lanjut Darma Putra.
Darma Putra, sebagaimana ia mengutip Crawfurd (1820), menyatakan bahwa menurut La Loubere (1691), “bagi orang Siam obat-obatan tidak patut disebut ilmu (science), melainkan hanya sejumlah resep, yang telah mereka warisi dari leluhur, dan yang tidak pemah mereka ubah. Mereka tidak peduli dengan gejala-gejala khusus penyakit: toh itu jarang gagal menyembuhkan banyak penyakit.”
Dari semua jamu yang dikonsumsi, kata Darma Pura, perhatian khusus harus diberikan kepada daun sirih, karena itu daun sirih terus-menerus dikunyah oleh orang Asia Tenggara dari segala umur. “Menurut tradisi setempat, mengunyah sirih dapat mencegah kerusakan gigi serta disentri,” kata Darma.
Dalam materi Darma Putra, air daun sirih biasanya digunakan untuk mengobati infeksi mata, infeksi Iuka atau kepegalan, berbagai penyakit menstruasi, dan penyakit lainnya (Reid 1985: 533-535). Penelitian modern atas masalah ini, meskipun baru pada tahap dini, telah banyak membenarkan pernyataan tersebut. Pengunyah sirih jelas jarang diserang kerusakan gigi (Schamschula et al., 1977; Moller et al., 1977).
Masih dari sumber yang sama, campuran pinang telah terbukti bisa rnembunuh parasit di usus, terutama cacing gelang dan cacing pita (Hsia 1937; Chung dan Ko 1976; Chopra et al., 1956: 23). Sari daun sirih ternyata efektif terhadap sejumlah bakteri, termasuk beberapa dari jenis shigella penyebab disentri dan jenis salmonella penyebab tipus (Nguyen Due Minh: 68-69).
“Tampaknya mungkin bahwa mengunyah sirih saja sudah banyak melindungi orang Asia Tenggara dari penyakit-penyakit yang berjangkit dari air, di samping mengebalkan tubuh dari infeksi seperti yang dicatat oleh beberapa pengamat,” terang Darma Putra.
Rempah sebagai Gandha
Tak hanya sebagai pengobatan saja, sebagaimana telah disinggung di atas, rempah di Bali juga difungsikan sebagai wewangian (gandha)—atau dalam bahasa hari ini: parfum. Materi ini disampaikan dengan baik oleh Ni Made Ari Dwijayanti, penulis dan akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Dalam presentasinya berjudul Dunia Rempah dan Turunan-turunannya dalam Lontar, perempuan muda yang kerap dipanggil Mis J itu menjelaskan bahwa di dalam tubuh perempuan terdapat 36 dewi (Indrani Sastra), 7 bidadari dan karakteristiknya (Kakawin Arjuna Wiwaha), dan 4 skintone-warna kulit (Rsi Shambina).
“Keempat warna kulit itu terdiri dari: putih atau kuning (Singa Wikranta)-singa, merah (Padma Prasita)-bunga lotus, hijau (Ratha Wahana)-kereta, dan gelap (Sarpa Nuya Pana)-ular,” jelasnya, Sabtu (24/8/2024).
Perempuan-perempuan Nusantara, khususnya Bali, di zaman dulu sudah mengenal treatment-treatment kecantikan—yang diabadikan dalam lontar-lontar kuno. Dalam lontar Indrani Sastra (hal. 20a), misalnya, menyebutkan resep penghitam rambut.
“Nyan pacameng kesa, sunguning wedus padu, jambu hireng, gedang warangan, tunu ika katiga apisan, wamanuhu hening jeruk, pupurek, wekasan karamasemehan.”
Yang terjemahannya—sebagaimana disampaikan oleh Ari Dwijayanthi—“Inilah penghitam rambut, tanduk domba, jambu hitam, pisang kekuning-kuningan, panggang ketiganya dan jadikan satu, basahi dengan air jeruk, dilumatkan hingga lembut, kemudian berkeramas.”
Selain belajar merawat diri dari lontar, Ari mengaku juga memiliki resep merawat rambut menggunakan bahan-bahan (rempah) alami. Untuk minyak rambut, Ari biasa menggunakan tandusan, klabet, akar wangi, daun nilam, bunga cempaka, kenanga, dan pudak.
“Sedangkan kalau sampo menggunakan santan, waru, kembang sepatu, dan ratu magelung. Dan sebagai kondisioner, bisa menggunakan kemiri bakar. Masker rambut menggunakan kemiri bakar, tanah liat-tanah lempung, dan santan. Hair tonic, rendam hitungan ganjil biji klabet dengan air,” uajrnya.
Namun, kata Ari, saat ia menggunakan resep ini ketika hamil, mengandung, menyusui, rambutnya malah rontok. “Jadi, mungkin tidak cocok bagi ibu yang sedang menyusui,” ujarnya. Menurut Ari Dwijayanthi, lontar Indrani Sastra tak hanya memuat tentang bagaimana merawat rambut, tapi juga wajah, tubuh, dan vagina.
Dalam mengembalikan kekenyalan kulit wajah, misalnya, lontar tersebut menuliskan, “Watutwan mirica, mramangsi, kembang padma, rinuk, husir, jyotismati, mipalimula, witning cabe, jalu kumapang, ciraka, kembang ning cemara, jambu, bunga landep, sama baga kabeh, pipis, panampel muka, byakta kadi wulan purnama denya ikang muka.”
Terjemahan: Biji merica, mangsi, bunga teratai merah, dihancurkan, diaduk, jyotismati, mipalimula, biji cabai, akar jalu mampang, ciraka, bunga cemara, jambu, bunga landep, komposisi seluruhnya sama, dilumat, untuk masker wajah sehingga bercahaya seperti bulan purnama (Dwijayanthi, 2023).
Dalam konteks aroma, menurut Ari, terdapat dua golongan, yakni rempah dalam ranah dan golongan rempah yang menggantung. Golongan rempah dalam tanah seperti kencur, jahe, dan temu-temuan. Sedangkan golongan rempah gantung (pala bungkah) terdiri dari merica dan pala.
“Ada tiga jenis aroma untuk wewangian, yaitu fresh (temu-temuan yang setengah mentah), warm (temu-temuan kering, jahe,cengkeh, kencur), dan powdery (tanah liat, gula aren, cengkeh). Ini yang paling umum,” Kata Ari.
Ari juga menyinggung soal aroma rempah pada makanan dan minuman. Menurutnya, hal tersebut dibahas dalam lontar Dharma Caruban. Di sana disebutkan terdapat unsur rempah sebagai pengundang selera dan unsur rempah sebagai perasa makanan dan minuman. “Lalu ada juga aroma rempah dalam obat. Semua lontar Usadha membahas tentang khasiat rempah sebagai aroma dalam obat dan khasiat rempah sebagai penyembuh dalam obat,” ujarnya.
Rempah sebagai Boga
Kini giliran Putu Eka Guna Yasa, akademisi sastra Bali Universitas Udayana, yang menjelaskan materi tentang rempah sebagai boga. Guna Yasa mempresentasikan materi yang ia beri judul “Dari Literasi Menuju Industri: Revitalisasi Rempah dalam Naskah”. Dalam materi tersebut, selain memuat khazanah rempah sebagai boga, pula sedikit menjelaskan tentang gandha dan usadha—seolah ingin menyegarkan kembali ingatakan peserta seminar atas dua materi sebelumnya.
Guna membuka seminar dengan dua kata: rempah dan penjajah. Ia merasa bahwa dua kata tersebut memiliki hubungan yang erat. “Rempah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia pada masa lampau sempat menjadi primadona bangsa Eropa. Semula mereka menjelajahi daratan dan lautan untuk mencari rempah, tetapi kemudian lama-kelamaan mereka menjarah lalu menjajah,” kata Guna, Minggu (25/8/2024).
Selanjutnya, setelah menyinggung sedikit tentang gandha dan usadha, Guna menjelaskan tentang rempah dan boga (pemanfaatan rempah dalam kuliner) dalam lontar Bali. Menurut Guna, ada tiga lontar di Bali yang membahas rempah sebagai boga, yaitu Dharma Caruban, Purincining Ebatan, dan Usadha. “Lontar-lontar ini merupakan pegangan bagi belawa (ahli masak kerajaan),” terang Guna.
Lalu Guna menyebut satu sosok belawa yang tak terduga, yaitu Bima atau Werkudara—Pandawa nomor dua itu. Dalam lontar Geguritan Kicaka menyebutkan bahwa Bima telah menyamar sebagai tukang masak disebuah kerajaan. “Sang Wrekodara masalin warni, ngangken sudra mawasta Prabu Belawa, juru olah gegunane, kang ngawe yun sang ratu.”
Setidaknya ada lima resep masakan Bali dalam perspektif lontar Dharma Caruban yang disampaikan Guna Yasa. Pertama, timbungan. Kuliner ini memiliki campuran bumbu bawang merah, gamongan, kemiri, galoban, santan encer, bawang putih, terasi, kencur, bangle, lengkuas, ketumbar, merica, dan jinten.
Kedua, lawar penyu dan salwiring lawar (segala jenis lawar). Dalam lontar tersebut, bumbu masakan ini terdiri dari bawang merah, bawang putih, terasi, bebeka, jinten, cabai, merica sedikit, semua digoreng menggunakan minyak kelapa baru. Ketiga, ayam panggang. Jika ingin memasak ayam panggang ala Dharma Caruban maka Anda harus mempersiapkan merica, jinten, bawang putih, kencur. Dihaluskan, diberi santan, dibuatkan kuat kare setelah ayamnya matang, pulasi, dan dipanggang lagi.
Keempat, barengkes babi. Kuliner ini memiliki bumbu seperti bawang merah, bawang putih, kencur, jahe, lengkuas, kemiri, terasi, gula, dan daun salam. Lalu ditambah putih telur yang diremas bersamaan dengan santan kental, daun salam, lalu ditambah jeruk purut dan diremas-remas dalam waktu yang lama. Bawang putih, jinten, terasi, gula, dihaluskan, diberikan tangkai, tempatnya seperti cangkang telur, untuk dipakai tempat, lalu dikukus.
Kelima, jajatah ayam (sate ayam). Bumbunya cukup simpel. Hanya ada merica, jinten, bawang putih, kencur, jeruk, dan santan kental. Sedangkan dalam dua lontar lainnya, Purincining Ebatan dan Kakawin Dharma Sawita, Guna juga menyebutkan beberapa nama kuliner beserta resepnya—dengan detail.
Di Bali, seperti yang tertuang dalam materi Guna Yasa, beberapa rempah berfungsi sebagai bumbu dalam kuliner atau sebagai penguat cita rasa agar makanan menjadi lebih enak. Penggunaan basa genep yang berbahan rempah juga berfungsi sebagai penghambat dan atau pembunuh mikroba seperti bakteri seperti E. coli, Sthapicollocus aureus, dan Salmonella thypi (Ardika, dkk. 2018: 44).
Sampai di sini, menurut Guna Yasa, untuk mendekatkan dan memanfaatkan kembali rempah-rempah yang multikhasiat itu, konsep Udiana Usada—taman yang berfungsi sebagai pengobatan di pekarangan—mesti dihidupkan dan dikampanyekan secara berulang-ulang, lagi, lagi, dan lagi. Sebab, ini dapat menjadi pertolongan pertama sewaktu-waktu terserang sakit secara tiba-tiba.
Akhirnya, seminar yang terbagi dalam tiga topik ini mengharuskan para penulis yang menjadi peserta untuk mendalami khazanah pengetahuan rempah dalam manuskrip lontar, sehingga dapat menyebarkan pengetahuan tersebut kepada khalayak luas melalui satu buah pikiran berupa esai mendalam yang akan dimuat di tatkala.co. Jadi, nantikan pikiran-pikiran para penulis tersebut, sekali lagi, di tatkala.co.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024