- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Perempuan, Lingkungan, dan Segala tentang Dunia”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Sabtu 24 Agustus 2024, di area Museum Buleleng, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
SEKITAR lima belas tahun lalu seorang teman bertanya kepada saya: selain sebagai hiburan, apa yang didapatkan dari membaca sastra khususnya novel? Saya cukup kebingungan memilih jawab untuk teman yang tidak suka sastra itu. Tetapi dia benar, memang saya mendapatkan kesenangan dari membaca karya sastra, lalu apa lagi selain itu? Waktu itu, saya menjawab apa yang saya pahami bahwa membaca sastra membuat saya mengenali banyak permasalahan dan beberapa model pemikiran karena sebuah karya sastra pasti mengemban kegelisahan penulisnya.
Saya memang menjawab seperti itu, tetapi sebenarnya saya juga meragukan jawaban saya. Lalu dia mengejar dengan pertanyaan susulan, kalau sudah tahu terus bagaimana dan untuk apa? Sampai di sini saya tertegun. Ya, apa yang selama ini saya dapatkan ya? Kemudian dengan nada suara mengapung saya menjawab bahwa membaca karya-karya itu mematik dialog dengan diri sendiri. Seperti yang saya duga, teman itu tidak puas dengan jawaban saya demikian juga dengan saya, saya juga tidak puas dan sejak itu saya mulai mencari.
Tetapi saya membatin, betapa ruginya kalau saya tidak suka pada cerita Mahabharata (Wyasa), Ramayana (Walmiki atau Ratnakara) cerita rakyat juga cerita-cerita detektif remaja atau novel-novel beragam genre. Karena justru dari membaca karya sastra itu saya merasa akrab dengan diri saya. Saya bebas mempertentangkan apa yang saya lihat dengan apa yang saya pikirkan. Saya melakukan pertarungan atau perdamaian dengan diri saya untuk hal-hal yang sepele namun saya akui itu mengubah cara pandang saya terhadap dunia dan lingkungan tempat saya berada.
Saya hanya tamat SMP secara formal. Akan seperti apa jika saya tidak punya cara pandang berbeda? Akan seperti apa jika tidak berjumpa dengan sastra yang memerdekakan pikiran saya? Maksudnya begini: cara pandang umum pasti akan beranggapan bahwa lulus SMP akan menjadi bukan siapa-siapa. Tetapi karena saya cukup akrab dengan sastra sehingga mempunyai cara pandang berbeda, maka saya lupa kalau saya hanya tamatan SMP.
Jadi saya memandang diri saya sendiri dengan pendekatan sastra. Yaitu memahami apa yang terjadi di dunia itu juga butuh imajinasi. Karya sastra dan karya seni lain, seperti patung atau lukis, selain pengetahuan data empiris, pasti ada imajinasi. Saya tidak mendewakan imajinasi, tetapi saya berpandangan bahwa hidup tanpa imajinasi akan menjadi kering dan pucat.
Beberapa tahun belakangan, sikap teman saya berubah ketika mengikuti aktivitas saya seputar sastra. Saya membentuk tim untuk mengerjakan alih wahana dari teks sastra ke dalam format suara sebagai pemenuhan hak baca bagi difabel netra. Yang saya buat dan rawat bersama tim saat ini adalah sesuatu yang diajarkan sastra kepada saya, yaitu memahami diri sendiri dan dunia di sekitar kita tanpa meninggalkan imajinasi. Memiliki rasa empati lalu membuat sebuah wadah sebagai ejawantah rasa empati dan imajinasi itu.
Saya ingin membagi kesenangan bersama teman-teman netra. Saya bergaul akrab dengan mereka, membacakan buku untuk mereka, mengajak bermain dan bincang-bincang apa pun tentang lingkungan dan apa yang terjadi di dunia sejauh yang bisa kami jangkau.
Memang mengaudiokan teks sastra itu lahir dari pengalaman saya bertemu dengan teman netra penyuka sastra dan mereka ingin mengikuti perkembangannya, tetapi tanpa imajinasi yang meletup-letup di kepala saya, sastra suara itu tidak akan terwujud.
Saya mengimajinasikan bahwa setiap difabel netra akan mudah menikmati karya sastra, mampu berkata-kata dan berpendapat tentang apa yang mereka pikirkan. Sastra mengajak saya melihat lingkungan di sekitar saya, sastra mengajak saya untuk melakukan sesuatu agar teman-teman netra melihat dunia lebih luas lagi.
Persisnya, sastra telah mengantar saya datang kepada mereka enam tahun lalu. Saya ingat beberapa anak ada yang sangat pemalu, ada yang judes, ada yang minder. Enam tahun telah berlalu, kini anak-anak itu sudah tidak lagi minder, mampu bicara dengan tenang, berani tampil dan berkarya sastra.
Saya gembira melihat perubahan itu. Saya merasa seperti seorang ibu yang melihat anak-anaknya tumbuh gigi, lalu takjub ketika mendengar anak-anaknya menyebut kata ibu untuk pertama kali, kegirangan ketika melihat kaki anak-anaknya mulai bisa menapak tanah untuk pertama kali. Kira-kira seperti itu.
Mereka adalah teman-teman yang mengalami diskriminasi, yang mengalami ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan, akses ruang publik yang hanya menjadi obyek belas kasihan dan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Jadi apakah sastra hanya sekadar hiburan? Tidak. Karena saya yaki sastra memampukan seseorang melihat sisi kemanusiaan dan welas asih. Sastra mengajak berempati dan belajar bahwa hidup itu bukan hanya sekadar harus dijalani, tetapi tentang bagaimana kita memilih cara untuk menjalani.
Jalan sastra yang saya pilih akhirnya membantu saya mengenali kebutuhan teman-teman netra tentang akses ruang publik yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. Saya mulai membuat uji coba mengajak mereka belajar langsung ke sumbernya. Kami belajar tentang candi, museum, taman, atau gedung-gedung bersejarah dengan cara menyentuh (meraba). Sekali lagi kekuatan imajinasi dibutuhkan dalam memahami dan mempelajari sebuah obyek. Ketika teman-teman netra disentuhkan pada suatu benda, bagaimana mereka akan memhami benda itu kalau tidak dengan imajinasi?
Dari pertemuan langsung dengan sumber-sumber ilmu pengetahuan itu, saya semakin berusaha agar mereka punya hak yang sama untuk mengetahui dunia karena hanya kita orang-orang non-difabel netra lah yang paling pas untuk mewujudkan itu. Teman-teman netra harus dipertemukan dengan banyak orang berbagai lintas disiplin ilmu sehingga mereka bisa ambil bagian dalam lingkar sosial yang luas, tidak melulu di asrama. Itu semua akan terwujud kalau ada kesetaraan, tanpa diskriminasi. Dunia menajdi ruang aman untuk mereka.
Imajinasi atau impian untuk menghadirkan masyarakat dan lingkungan yang setara, paling sederhana adalah membuka ruang-ruang perjumpaan sesering mungkin untuk mereka. Mempertemukan mereka dengan banyak orang, diskusi buku, menyimak pentas musik, film, bahkan teater dan tari. Dari pertemuan-pertemuan itu, akan menimbulkan rasa ingin tahu lalu saling tahu, saling sapa, saling mengerti dan terjadilah penerimaan, kemudian diharapkan mereka bisa berkarya bersama.
Itu seperti yang saya alami. Saya bukan berlatar belakang aktifis difabel. Saya adalah orang yang diasuh oleh sastra. Melalui sastra akhirnya saya mengenal lebih dekat lalu belajar dari teman-teman difabel netra bagaimana cara merawat hidup, merawat harapan. Dunia mereka terbatas, itu jelas. Tetapi imajinasi dan daya juang mereka tak terukur.
Akhirnya saya harus berterima kasih kepada teman saya yang pernah menanyakan apa manfaat membaca sastra selain sebagai hiburan. Sebab pertanyaan itu terus saya renungkan, saya cari jawabannya hingga saat ini. Saat sastra membawa saya di banyak tempat yang sebelumnya hanya berada dalam ruang imajinasi. [T]
BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024