- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Warna Alam Dalam Teks Lama dan Baru”, Sabtu, 24 Agustus 2024 di areal Gedong Kirtya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
Bhīma dak varah ta kita, mūlaniṅ pustaka hirəṅ, roniṅ gəbaṅ, pinukah pinaḍa-paḍa lvane lavan davane, tinitisan gaṅgā vīra tanu, gaṅgā riṅ bañu, vīra riṅ panuli, tanu riṅ maṅsi.
Kukusiṅ ləṅa dilah, ghināṣa riṅ lavak tambaga, jineran laṇḍaniṅ kəpuh, vino/ran lāka, iṅulig iṅənah riṅ pamaṅsen, ya ta maṅsi arane, ikaṅ ta prasiddha ṅgvaniṅ agave pustaka
“Bhima ku memberi tahu pada mu, (tentang) keunggulan dari pustaka hitam, daun dari pohon gebang, dibagi dua dengan sama rata lebar dengan lebar dan panjang dengan panjangnya, diteteskan gangga, wira, tanu, gangga (itu) air, wira (itu) kuas/pena, tanu (itu) tinta”
“asap dari lampu minyak, digosok pada tempurung (dari) tembaga, dicampur dengan getah pohon kepuh (randu), dicampurkan dengan cairan merah tanaman lak, dihaluskan ditempatkan di wadah tinta, itulah yang namanya mangsi (tinta). itulah yang dapat menjadi alat membuat pustaka”
Pamungkah
Saya harus berterima kasih kepada Kasu Wardana yang telah memberikan informasi berharga tentang pembuatan tinta yang tertulis pada Kidung Bima Swarga. Dari kutipan bait kidung tersebut kita mendapatkan pengetahuan ontologis tentang warna hitam atau mangsi beserta dua lainnya yang berperan yaitu air dan kuas. Selain itu didedahkan juga tata cara pembuatan tinta mangsi dari jelaga, getah pohon randu sebagai pengikat atau katalisatornya serta dicampur cairan merah dari tanaman lak atau laka. Eksistensi mangsi dalam kidung tersebut untuk menulis pustaka.
Pustaka utama menurut Kidung Bima Swarga adalah tubuh itu sendiri, ya tubuh manusia, memiliki sistem kompleks yang rumit, mempelajari tubuh adalah mempelajari pustaka utama yang hadir melalui tulisan tinta. Lantas apa hubungan tubuh dengan warna? Di sini saya mengajukan jawaban yaitu mandala, adalah komposisi yang tersusun atas bagian-bagian proporsi dalam konsep keseimbangan, mandala boleh dipadankan dengan aturan golden ratio yang pada prinsipnya sama yaitu dimulai dari satu titik pusat yang bergerak membentuk pola mencari keseimbangan ideal.
Dalam permulaan kitab Puwaka Bhumi disebutkan alasan penciptaan alam semesta oleh Sang Hyang Wisesa dikarenakan terjadinya kekosongan semesta. Sang Hyang Wisesa diibaratkan sebagai sesuatu yang konstan, tidak berbentuk, tidak berwujud, tidak memiliki warna. Berkat kuasa Sang Hyang Wisesa maka lahirlah satu persatu dewa-dewi disertai warna-warnanya sebagai berikut:
“Sira sang wus mahu mijil, ingaranan Ni Canting Kuning, metu saking asthi widhi, kalintang pisan kahaywan Idane; pamuput Ida mapasenang Bhattäri Umä. Muwah umetu ikang ätmaja jalu, petak warnaanira, Kursika nämanira, mijil sakin cremi ning Widhi. Sam Sadya nämanira; ri wekasan ingaranan Bhattära Iswara. Muwah umijil ta Sang Garga putra lanang, abang rupanira, metu sakin misya Widhi, Sang Bam Bäma ngaranira Waneh, riwekasan ingaranan Bhattära Brahmä. Dadya ta muwah Sang Hyang Widhi aputra jalu, kuning rüpanira, San Metri ngaranira, Tam Tatpu ngaranira waneh, wekasan ingaranan Bhattära Mahädewa. Malih Ida Sang Hyang Widhi maputra lanang, ireng warannira, ingaranan San Kurusya, Am Agho pasengan Ida malih, ri wekasan Ida mapasengan Bhattära Wisnu. Muwah wetu putra lanang ngaranira San Pretanjala, pancawarna warnanira, Im Isa ngaranira, ri wekasan ingaranan Bhattära Siwa.”
Secara teologi dari sinilah awal mula mandala dan warna tercipta, Kursika menjadi Iswara berwarna putih di arah timur, Garga menjadi Brahma berwarna merah menempati mandala selatan, Metri menjadi Mahadewa berwarna kuning menempati arah barat, Kurusya menjadi Wisnu berwarna hitam menempati mandala utara, sedangkan ditengah adalah Ni Canting Kuning menjadi Bhattari Uma dan Pretanjala menjadi Siwa sebagai menempati mandala tengah yang berwarna-warni. Lima mandala yang tercipta menjadi dasar atau pokok tubuh kemudian berevolusi dengan skema penyatuan satu mandala dengan lainnya seperti timur dengan selatan menjadi tenggara berwarna merah dadu, selatan dengan barat menjadi barat daya melahirkan warna jingga, barat dengan utara menjadi barat laut dengan warna hijau, dan utara bertemu dengan timur menjadi timur laut berwarna biru.
Hal ini ternyata terdapat dalam kitab Korawasrama yang dinyatakan sebagai berikut; “Kalinganya, kang sinangguh warna kalaku dening jagat kabeh, asweta ng aran ing putih, wetan pangasthananya; rakta ngaran ing abang, kidul pangasthananya; apita ng aran ing kuning, kulon pangasthananya; akresna ireng, lor pangasthananya. arok pwa sweta lawan rakta, dadu nga arannya, agneya pangasthananya; marok pwa rakta lawan apita, ya ta jingapindanguranta, nairiti pangasthananya; mapita marok kresna, ijo nga aranya, bayabya pangasthananya; kresna marok sweta, biru rupanya, aisanya pangasthananya. Sumanding pwa kang sarwawarna, saka roro sapadulon, ya sinangguh siwah, madhya pangasthananya.”
Evolusi mandala yang tadinya berjumlah lima kemudian menjadi sembilan dengan perhitungan delapan mandala warna mengitari satu mandala pusat, hal inilah yang lumrah dinyatakan sebagai Pangider Bhuwana atau Dewata Nawa Sanggha. Mandala ini menjadi populer diinterpretasi dan disimbolkan di dalam berbagai upacara ritual, ada yang mengambil lima warna utama, ada pula yang mengambil sembilan warnanya, ada yang membuat gambar figur pewayangannya dan ada pula yang menyimbolkannya dengan senjata-senjata.
Di dalam kitab Bhuwana Sangksepa ternyata mandala tidak berhenti pada sembilan mandala melainkan terjadi evolusi pembentukan mandala baru yang mengisi ruang di antara masing-masing mandala Pangider Bhuwana, dijelaskan bahwa “…Isa ring purwa, Mahesora ring agneya, Brahma ring daksina, Rudra ring neriti, Mahadewa ring pascima, Sangkara ring bayabya, Wisnu ring uttara, Sambu ring ersanya, Siwatma ring adah, Sadasiwa ring madya, Paramasiwa ring urda, Dharma yantaraning purwa lawan agneya, Kala yantarening agneya lawan daksina, Mretyu yantaraning daksina lawan neriti, Krodha yantaraning neriti lawan pascima, Wiswa yantaraning pascima lawan bayabya, Kama yantaraning bayabya lawan uttara, Pasupati ri pantaraning uttara lawan ersanya, Satya ri antaraning ersanya lawan purwa.“
Total mandala pada akhirnya menjadi tujuh belas, satu sebagai mandala pusat dan enam belas lainnya serupa mandala perwara yang mengelilingi inti. Dengan demikian, hal inilah yang memudian menjadi dasar saya untuk mengajukan skema teori warna Bali dan mengembangkannya ke dalam bentuk skema dengan mengadopsi cakram warna yang dikonstruksi oleh Brewster. Warna-warna mandala dapat dikatakan sebagai warna cahaya atau spektrum istilah lainnya dinyatakan sebagai warna additive-nya Bali dan sebagai sebuah skema teori maka terdapat pula warna substraktif yaitu warna yang dihasilkan oleh pigmen.
Sementara saya masih meraba-raba tentang dikotomi antara warna primer, skunder, dan tersier dalam konteks skema teori warna Bali, jika yang menjadi acuan pertama adalah lima mandala utama maka warna primernya adalah putih, merah, kuning dan hitam, sedangkan warna kedua yang tercipta dari percampuran warna pokok adalah merah dadu, jingga, hijau, dan biru, sedangkan warna ketiga atau tersiernya adalah percampuran antara warna utama dan warna kedua. Sebagaimana pola turunan warna Brewster yang menyajikan tiga warna utama yaitu merah, hijau, biru (RGB) sebagai warna additive dan warna sian, magenta, dan kuning (CMY) sebagai pokok warna substraktif, sedangkan untuk pigmen warna mempergunakan merah, kuning, biru (RYB) yang banyak dipergunakan turunan warnanya pada cat-warna lukis/gambar.
Model 1 – Prototip Cakram Warna Bhuwana Sangksepa – Purwita Sukahet 2020
Model 2 – Prototip Warna Primer-Skunder-Tersier – Purwita Sukahet 2020
Model 3 – Prototip Warna Tersier – Purwita Sukahet 2020
Cakram Warna Bhuwana Sangksepa – Purwita Sukahet 2021
Panyineb
Tentu skema teori warna Bali masih sebagai prototip saya untuk membangun sebuah kerangka teoritis yang logis dan dapat diterapkan pada pilihan-pilihan warna khas, kita belum berbicara mengenai pengembangannya dalam konteks teori warna misalkan harmonisasi warna, bagaimana warna Bali dalam konteks warna komplementer, split komplementer, warna triadik, warna tetradik, warna panas dan warna dingin, dan lainnya.
Setidaknya untuk hari ini kita dapat mengetahui bahwa ada bangunan pengetahuan teologi Bali yang dapat dipergunakan sebagai acuan di dalam merumuskan sekaligus membumikan skema teori warna Bali. {T]
Pohmanis, 17 Agustus 2024
- BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024