BENAR-BENAR hiburan rakyat. Tak bisa diperkirakan berapa orang yang hadir dan bertengger dengan latar gelap terang bersama sanak keluarganya, dan seperti apa mereka mengeluarkan ekspresi ketika calonarang yang dipertunjukkan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bung Karno, Singaraja, Sabtu malam, 17 Agustus 2024.
Tempat duduk di tribun pun penuh. Di belakang, orang-orang semua berdiri berburu pandangan mencari celah—bagaimana calonarang yang biasa dipentaskan dengan sangat magis di kuburan itu, dipentaskan di panggung untuk rekreatif dan edukatif semua usia.
Dari belakang, Mira (26), berdiri tertegun dan sesekali berkedip. Ia adalah perempuan Bali, umurnya bulan ini sudah menginjak 26, tetapi selama ia menjadi orang Bali dan asli Buleleng tentunya—dengan umur segitu, katanya, “Baru kali ini saya nonton calonarang, walaupun saya asli Bali, ya. Karena saya orangnya penakut.”
Tidak boleh kabur saat menonton walaupun takut, “Nanti diikuti pulangnya kalo kabur,” ceritanya. “Jadi karena ini orangnya banyak, dan gak terlalu serem, jadi saya merasa berani untuk nonton!”
“Iya, kami berdua baru kali ini nonton dan berani!” tambah Dinda (23) teman Mira yang berada di sampingnya.
Mira (kiri) dan Dinda (kanan), sedang menonton calonarang di Taman Bung Karno Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Dari soundsystem, anjing terdengar melolong. Suasanya seperti saat bulan purnama di atas bukit. Dari atas panggung, lalu bergerak ke penonton, seorang lelaki terbungkus kain putih diponggok beberapa orang dengan penerangan oncor yang dibawa beberapa perempuan muda. Itu, tentu saja bagian dari pementasan calonarang itu.
Suara gamelan mengiringi mereka. Bangke matah, begitulah orang-orang menyebut lelaki yang sedang diponggok dan tampak tak berdaya itu. Seperti mayat hendak dipersembahkan ke perut bumi, ia diselimuti kain putih dan diikat dengan tikar yang terbuat dari pandan. Barangkali ia mati setengah, atau ia hidup setengah.
Semua penonton berdiri. Anak-anak berdiri. Pak tua terselip di tribun, sambil merokok. Duduk, Apakah ia sedang menantikan seseorang kerasukan? Ia menyedot rokoknya kencang.
Pemain dan topeng di belakang panggung | Foto: tatkala.co/Son
Dua sosok seram, tapi tak begitu membuat takut—karena tak menyerang. walaupun tubuhnya begitu seramnya dengan kuku yang panjang, wajah horor. Di samping bangke matah itu, sosok seram seperti sedang menemani atau sedang menakut-nakuti. Tentu, ini hanya simulasi bagaimana seramnya pertunjukan calonarang—sedikitnya, tergambarkan malam itu.
Drama tari penyalonarangan itu mengetengahkan judul “Rakyān Purwasidhi Anglukat Lara Roga” dipentaskan oleh Paguyuban Seniman Bali (PSB) Kabupaten Buleleng, Drama Tari penyalonarangan ini mengangkat kisah Purwasidhi. Dimana seorang tokoh sakti yang berjasa besar dalam menetralisir pengaruh ilmu hitam di pesisir utara Pulau Bali pada masa lalu.
Penonton anak-anak dengan senang menunggu sebelum calonarang dipentaskan | Foto: tatkala.co/Son
Ketua Paguyuban Seniman Bali (PSB) Kabupaten Buleleng, Jro Olit, yang menjadi penggagas pertunjukkan itu, mengatakan drama tari ini mengangkat kisah Purwasidhi, seorang tokoh sakti yang berjasa besar dalam menetralisir pengaruh ilmu hitam di pesisir utara Pulau Bali pada masa lalu.
“Dahulu, pesisir utara terkenal dengan kekuatan ilmu hitam yang sangat hebat. Mpu Sidiman merasa perlu membersihkan kawasan ini, dan dalam prosesnya, beliau menemukan Tirta Amerta, sumber air suci yang melindungi wilayah ini dari pengaruh jahat,” ujar Jro Olit.
Jro Olit menegaskan bahwa kisah ini bukan sekadar cerita, tetapi juga simbol perjuangan untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir utara Bali. Drama ini juga menggambarkan pertempuran epik antara Purwasidhi dan seorang penguasa ilmu hitam, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Purwasidhi dengan dukungan rakyat setempat.
Ia juga menjelaskan bahwa persiapan pagelaran ini dilakukan dengan sangat teliti, termasuk upacara dan persembahan di pura-pura untuk memastikan pementasan berjalan lancar.
Bapak dan anak seakan terpaku menonton adegan-adegan drama calonarang di atas panggung | Foto: tatkala.co/Son
“Pagelaran ini bukan hanya sebuah pertunjukan seni, tetapi juga penghormatan terhadap leluhur yang telah berjuang membersihkan segala malapetaka dan penyakit yang pernah melanda wilayah ini. Melalui seni ini, kami berharap dapat memperkuat hubungan antara generasi muda dengan warisan budaya yang sangat kaya,” tambahnya.
Kolaborasi antara pemerintah dan lembaga seni sangat penting untuk terus mendukung eksistensi dan pengembangan seni tradisional di Kabupaten Buleleng. Pagelaran seperti ini tidak hanya menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat Buleleng dalam melestarikan seni tradisi masih sangat tinggi, tetapi juga mengguncang panggung Taman Bung Karno dengan kekuatan seni yang luar biasa.
Suasana ramai penonton calonarang di Taman Bung Karno | Foto: tatkala.co/Son
Seperti kepada Dinda atau Mira, setelah menonton drama tari calonarang itu barangkali rasa penasarannya mulai kabur di dalam jiwa penakutnya yang dipendam sejak kecil. Keberanian barangkali didapatnya dari keputusan untuk nonton berdua.
“Tapi dia ada pacarnya tadi, kalo saya sendiri. Tapi kami menonton bersama,” kata Dinda menunjukkan Mira.
Dalam batin saya, “Barangkali aku bisa menjadi temanmu yang setia!” Lalu saya pergi dengan perasaan menyasal, “Kle, gak minta nomor WA-nya!” [T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole