SEBUAH RUANG
Abu rokok jatuh pada sebuah puisi
lalu sunyi di serat-serat pagi
Angin pun selembut maut
Maka jadilah sebuah ruang,
Tempat perenungan memusat
Lalu mengubah keinginan menjadi nebula
Bahkan menjadi lubang hitam
Dan menelan aku
menelan aku
PAGI DI TENGKOQ ADENG
Di pagi yang tenang
embun merayap di rerumputan
Matahari perlahan membangunkan segala
yang masih dalam mimpi
Kicau burung pun selembut hati ibu
menumbuhkan tawatawa kami
Suara daun-daun turun dengan pesona paling sunyi
menyapa dingin yang tertandas di api unggun
seperti puisi yang berbunyi dalam penyair yang melankolis
Di tanggoq adeng kami menahan dingin
pada malam hari untuk pagi ini yang sependek puisi
MENCARI CAHAYAMU
Dalam keheningan malam
Aku tatap bintang-bintang
Seperti menatap kesedihan
Kesendirian memusat di dadaku
Menyatu dalam lagu
Untuk Mencari cahayaMu
TENTANG RUMAH
Tidak ada pohon di halaman, tidak ada bunga
sebab itu kupu-kupu hanya keinginan
dan kicau burung hanya bertengger di daun-daun tetangga
Tidak ada wahana di halaman belakang, tidak ada keran yang bisa tertutup rapat,
dan tidak akan ada urban faming di sana
Namun, saat pulang kerja, dan selesai mengurus beberapa hal remeh temeh lainnya
Aku dapati Cinta
Kala pagi, istri memegang sapu, aku mengaduk kaldu
Dan anak gadis ini bermain dengan mimpinya
: begitulah cara Cinta ini bekerja
Siapa pun adalah musim rindu
di mana aku sibuk kerja
dan istri menjadi ibu yang lain di sekolah sana
: seperti kubilang sebelumnya, begitulah cara Cinta ini bekerja
Ya, begitulah Rumah
Tuhan, kita cukup bahagia
untuk lebih banyak mensyukurinya.
DI SEBUAH PERPUSTAKAAN KECIL
memori pulau sumbawa / islam di bima / jane hissey / membangun manusia Indonesia / hidup bahagia / praktik merariq / kiat belajar menulis sukses / tetaer siswa / endo suanda / trija fayedi / intisari / la paramua / permata kearifan naskah / cupak gurantang / ensiklopedia pahlawan / ….
Mereka saling menghimpit di lemari besi, menyusun diri,
menyusun sepi
“mereka seperti semesta,
semesta tanpa suara?”
Asap rokok pustawakan itu pun menguap
menembus tubuhnya, menembus langit
menembus angan-angan, menembus kenangan
Instrument di sebuah pengeras suara
membikin melankolia pagi yang bercuaca
yang menghalau kicau burung dan mata ayam
yang mencari makan
Pustakawan itu memikirkan istri dan anaknya
dan perlahan-lahan menahan sedih, di dadanya
yang kerap memeram nyeri
“entah kenapa kita didesak tawa, entah kenapa kita menunduk
mencari perhatian orang lain?”
Ia melihat jendala lalu memikirkan tempat lain
“barangkali kematian di sana,
orang-orang mungkin tahu, tapi mereka sibuk menunggu kabar yang lain”
ia melihat lagi lemari besi itu, tambah berantakan
“barangkali kematian adalah butiran debu
di antara butiran debu lainnya”
Instrument pelan-pelan ditutupi cahaya pagi
dan burung-burung berdatangan, berkicau
lalu atmosfer mulai meracau
“sebenarnya kita ada di mana?”