RASANYA, setiap perempuan Bali sangat akrab dengan kata “jejahitan” dan “majejahitan”. Jejahitan adalah bentuk fisik dan majejahitan adalah proses membuat atau mencipta.
Tentu saja mereka akrab, karena sedari kecil mereka sudah terbiasa melihat yang namanya jejahitan dan menyaksikan proses majejahitan yang dilakukan di lingkungan rumahnya. Entah oleh ibu, nenek, bibi atau malah oleh kakaknya—bahkan kadang tetanggannya yang diundang untuk membantu membuat jejahitan ketika akan ada upacara
Jejahitan bagi orang Bali, terutama yang beragama Hindu, tentu sebuah keharusan untuk melengkapi ritual keagamaan, terlepas bisa atau tidak bisa membuat jejahitan.
Majejahitan adalah proses menciptakan pelengkap sesaji yang bisa dibuat dari beragam bahan. Bisa dari bahan janur, ental, slepan atau daun kelapa yang tua, dari daun pisang—bahkan daun pisang kering yang disebut kraras pun bisa dipakai. Sekarang yang lagi trend yaitu jejahitan dari busung gibung atau janur Sulawesi.
Tentu bahan-bahan tersebut bisa dibuat menurut kegunaannya sesuai dengan petunjuk tetua yang memang paham tentang bebantenan. Jadi tidak asal membuat, karena dalam membuat prasarana upacara atau untuk persembahyangan sehari hari-hari pun tidak boleh asal atau semau-maunya sendiri. Semua ada aturan mainnya.
Memang tidak bisa dimungkiri, proses majejahitan kadang terasa seperti doktrin. Karena mencakup kedisiplinan dan juga pakem.
Tetapi bagi sebagian perempuan Bali, majejahitan menjadi laku yang menyenangkan. Mereka bisa mengeksplor jiwa seninya dengan menciptakan reringgitan yang beragam hingga membuat jejahitannya terlihat indah.
Bahkan ketika majejahitan mereka seakan sedang meditasi, pikirannya tenang dan fokus. Khusyuk dan menyatu pada apa yang diinginkan, yaitu mempersembahkan yang terbaik untuk Sang Hyang Widhi. Tanpa menghitung untung atau rugi akan waktu, tenaga, dan materi yang telah dikeluarkan.
Tentu saja para perempuan itu tidak serta merta langsung bisa majejahitan. Ada tahapan yang dilaluinya. Awalnya melihat, seiring berjalannya waktu lantas ikut-ikutan, lalu disertakan untuk turut serta, jadilah kebiasaan yang terpola, akhirnya menjadi penggerak.
Majejahitan pun tentu ada proses tahapannya. Ketika masih kecil, perempuan Bali diajari membuat yang sederhana, seperti tangkih dan celemik, dan menghaturkan saiban. Tangkih dan celemik diisi apa, setelah diisi dengan bahan, namanya menjadi apa, dan dipersembahkan waktu kapan serta dipersembahkan pada siapa. Jadi, rasa keingintahuan anak-anak terjawab semua. Itu dilakukan saat mengajak anak-anak untuk turut serta dalam proses keagamaan.
Seiring berjalannya waktu pula, mereka (perempuan Bali) diajari membuat yang lebih rumit dan semakin rumit dan beragam untuk dipergunakan sesuai waktu dan kebutuhan.
Bagi orang Bali, terlebih perempuan, majejahitan menjadi semacam ritual ibadah. Karena beragama tidak hanya di tempat ibadah. Itu bisa dilakukan dengan menyiapkan kelengkapannya dahulu sebelum akhirnya dipersembahkan.
Majejahitan akhirnya menjadi disiplin tindakan dalam keseharian. Sedari kecil, remaja, dewasa, hingga lanjut usia tak terlepas dari majejahitan, baik melihat atau melakukan.
Saat usia sudah lanjut, tentu ini memberi keuntungan tersendiri, karena tetap bisa melanjutkan kesibukan yang menyenangkan dengan majejahitan. Bisa membantu anak-anak jika mereka tak sempat majejahitan karena kesibukan bekerja.
Pula bisa berkumpul di banjar atau pura saat ngayah yang tentu saja tetap bisa bersosialisasi, bertemu kawan, bisa bertutur dan tertawa—orang Bali bilang ngorta dan mekedekan. Bahkan, kalau mau lebih daripada itu, majejahitan bisa menjadi ladang bisnis yang menjajikan karena usia senja sudah tidak lagi terikat dengan pekerjaan kantoran.
Tetapi, kalau pun tak bisa atau tak sempat majejahitan untuk membuat jejahitan, jangan berkecil hati. Karena sekarang di pasar sudah banyak tersedia, kalau mau kita tinggal membelinya. Atau tinggal telepon tukang banten dan memesan segala yang dibutuhkan dan minta di antar ke rumah. Tinggal transfer, beres, upacara pun terlaksana.[T]