SEPERTI dua orang pelajar yang sedang terburu-buru karena takut gerbang sekolah tutup akibat terlambat, saya dan seorang rekan yang biasa dipanggil Ucup, bergegas menancap gas motor. Tapi bukan ke sekolah, bukan juga ke kampus, apalagi ke kantor. Pagi itu, tepat pukul 06:30 Wita, kami bergegas ke kuburan—setra dalam bahasa Bali.
Tujuan kami ke kuburan bukan untuk melayat atau iseng mencari benda keramat. Tidak pula sedang membuat konten vlog horor-hororan. Kami ke kuburan karena salah satu hari penting dalam umat Hindu di Bali, yakni Pagerwesi, yang jatuh bertepatan pada Rabu, 17 Juli 2024. Salah satu momentum sakral yang diperingati sekali dalam 210 hari menurut kepercayaan orang Hindu Bali.
Pada saat Pagerwesi, yang menjadi catatan kami, di Buleleng, atau sebut saja Singaraja, ada satu rangkaian tradisi yang unik, yang berbeda dari tempat-tempat lain di Bali—tradisi ini barangkali memang hanya di Buleleng.
Keluarga yang sedang mempersiapkan sesajen di atas pusara | Foto: Sonhaji
Tradisi yang dimaksud adalah kegiatan berkunjung ke kuburan. Orang Singaraja biasanya menyebutnya “Munjung” atau “Munjung ke Setra” yang artinya berkunjung ke kuburan. Ketika mengetahui ada tradisi semacam itu di Singaraja, saya sedikit heran. Tentu saja, barangkali karena saya bukan orang Bali asli.
Bagaimana tidak heran, setahu saya, orang Bali dalam urusan pemakaman atau urusan dengan orang yang sudah meninggal, jenazahnya akan dikremasi atau dibakar. Bukan dikubur.
Tapi ternyata anggapan saya itu keliru. Tidak semua jenazah langsung dikremasi. Orang Bali juga ada yang menguburnya. Walaupun pada akhirnya tetap akan dikremasi juga. Karena kremasi dipercaya sebagai satu-satunya jalan untuk menuju alam arwah yang sudah ditentukan oleh Tuhan.
Namun, alih-alih ingin tahu tentang bagaimana cara orang Bali mengubur jenazah, saya lebih penasaran bagaimana mereka melakukan kunjungan ke makam pada saat Pagerwesi—atau dalam Islam dikenal sebagai ziarah kubur.
***
Ketika saya dan Ucup tiba di depan Setra Buleleng (Kuburan Buleleng) di Jl. Gajah Mada, Singaraja, kami langsung memasukinya. Setra ini ternyata berada tepat di samping Pura Dalem Desa Pakraman Buleleng.
Saat masuk ke sana, kami sedikit merinding. Entah itu karena masih sangat pagi atau karena suasananya yang sepi. Benar. Tidak terlihat ada aktivitas di situ. Kami sempat berhenti sejenak di dalam area Setra Buleleng. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada pemandangan beberapa kuburan yang berjejer dan sisa-sisa peralatan kremasi.
Tempatnya cukup luas, seperti setengah dari lapangan sepak bola. Sekilas tidak tampak seperti kuburan, lebih mirip taman atau hutan kota. “Kita telat nggak ini. Atau jangan-jangan kita kepagian?” celetuk Ucup yang mulai berfirasat lain-lain—karena suasananya memang sepi.
Kami memutuskan untuk keluar dan memarkir motor tepat di depan Pura Dalam Desa Pakraman Buleleng. Kebetulan, saat itu orang mulai ramai datang sembahyang ke Pura Dalem.
Suasana anggota keluarga yang makan di samping kuburan | Foto: Sonhaji
Sambil mencoba untuk memotret beberapa gambar orang yang sedang sembahyang, saya berusaha mencari-cari siapa orang yang bisa ditanyai soal kegiatan Munjung di Setra Buleleng.
Nah, tiba-tiba seorang pria berkumis yang memakai udeng dan baju putih polos menghampiri saya yang sedang sibuk memotret. “Mau ke mana, Nak?” tanyanya sambil mendekat.
“Mau ambil gambar di sini, Pak. Sebenarnya mau merekam orang yang berkunjung bawa makanan ke kuburan di sebelah itu, Pak,” jawab saya.
“Oh itu. Ya, biasanya ada. Sebentar lagi. Tapi sudah tidak seramai dulu itu,” katanya sambil melangkah pergi karena sudah dipanggil istrinya. Ia diminta segera mengurus sembahyang.
Obrolan itu begitu singkat, saya dan bapak itu tidak sempat berkenalan. Akhirnya saya dan Ucup memilih untuk mengambil gambar orang sembahyang saja dulu.
Dan setelah beberapa menit memotret aktivitas sembahyang di Pura Dalem, kami mencoba lagi bergeser masuk ke area Setra Buleleng. Benar saja, saat kami masuk ke area setra, ternyata beberapa orang sudah berdatangan di sana. Ada yang datang menggunakan mobil, motor, dan beberapa terlihat berjalan kaki.
Keluarga yang sedang mempersiapkan tempat untuk maturan di atas makam | Foto: Sonhaji
Orang-orang itu menuju ke area ujung barat setra. Di sana tampak berjejer beberapa batu nisan. Jelas itu adalah makam. “Ayo, Cup. Ini yang penting kita rekam,” seru saya sambil berlari tipis agar tidak ketinggalan momen.
Orang-orang itu datang membawa sesajen yang berisi makanan. Sesaji itulah yang mereka sebut dengan “Punjung.”
Selain sesaji, beberapa orang juga membawa tikar beserta perkakas makan dan minum yang lengkap. Sekilas tidak tampak seperti orang yang datang ke makam, lebih tepatnya seperti orang yang ingin piknik. Hanya tempatnya saja yang beda. Ini kuburan, bukan pantai, gunung, atau taman kota.
Meraka mengunjungi makam kerabat yang sudah meninggal tetapi belum diaben, dikremasi. Mereka membawa Punjung yang sangat lengkap. Tampaknya memang disiapkan untuk makan bersama. Ada yang membawa nasi lengkap dengan lauknya; ada pula buah, dan berbagai jenis cemilan serta minuman.
Makanan dan sebagainya itu telah dipersiapkan oleh pihak keluarga yang akan berkunjung ke setra selesai melakukan sembahyang di rumah atau Pura Dalem.
“Pagi tadi kami ke pura dulu. Bangun jam 4 atau 5 pagi, sembahyang dulu di rumah. Setelah itu, baru ke sini, ke makam. Habis dari sini, kami lanjut kumpul-kumpul di rumah,” kata Made Wijana (56 tahun), yang kami temui di sela-sela aktivitas Munjung-nya.
Sesajen yang mereka bawa mula-mula dihaturkan terlebih dahulu dan dibacakan doa-doa. Setelah membaca doa, beberapa orang menyiramkan atau memercikkan air di atas pusara makam. Sama seperti orang yang sedang memercikkan air tirta setelah upacara di pura.
Made Wijana | Foto: Sonhaji
Ada juga yang sesekali mengelus batu nisan dengan air tersebut dengan begitu hati-hati dan halus. Seperti sedang mengelus kepala sosok keluarga yang telah tiada.
Setelah berdoa, sesajen itu disimpan di atas atau di sebelah makam dengan dupa yang telah dibakar terlebih dahulu. Rupanya mereka tidak akan langsung memakan makanan dari Punjung itu. Seolah didiamkan dulu sejenak, sebagai persembahan untuk sosok arwah keluarga.
Di sela-sela mereka menunggu, mereka bercakap-cakap dengan sesama anggota keluarga, atau dengan keluarga lain yang berada di sekitaran makam. Terkadang mereka saling bercanda sampai tertawa.
Orang-orang yang datang berkunjung ke makam pagi itu bagaikan sedang bertamasya riang gembira bersama sanak saudara. Syahdan, alih-alih tampak suasana mencekam dan seram, kuburan itu justru terlihat seperti taman hiburan.
“Biasanya kami lakukan enam bulan sekali atau pada saat Galungan, Kuningan, dan Pagerwesi seperti sekarang—atau hari-hari tertentu,” ujar pria paruh baya yang tinggal di Banjar Jawa itu.
***
Sebenarnya tradisi ini hampir mirip dengan kebiasaan ziarah yang dilakukan orang Islam di kampung-desa sehari sebelum lebaran atau hari raya Idul Fitri. Biasa juga dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadan atau bulan Puasa.
Mereka sama-sama datang ke kuburan dengan maksud mendoakan arwah yang sudah meninggal. Biasanya, mereka juga membawa air yang dicampur dengan bunga atau daun pandan untuk disiramkan di atas kuburan. Dalam konteks Islam, prosesi itu diikuti dengan mengirimkan bacaan ayat Al-Quran. Dan sesekali membersikan kuburan dari dedaunan kering dan rumput liar.
Tetapi, dan ini yang membedakan keduanya, kalau ziarah orang Islam tidak ada acara makan-makannya. Sedangkan di sini, di Setra Buleleng, sekali lagi, orang-orang itu memang sudah mempersiapkan sesi makan bersama. Sehingga ini tampak seperti piknik keluarga.
Orang-orang yang berdatangan ke setra ini seolah datang untuk menghibur almarhum yang sudah meninggal—karena menurut kepercayaan orang Bali, arwah akan tetap di sisi jasadnya sebelum melewati proses Ngaben. Bahkan ada yang bercerita soal kenangan-kenangan lucu semasa hidup almarhum. Bagaikan momen nostalgia anggota keluarga.
Yang juga menarik, orang-orang yang berdatangan ke setra tersebut dengan senang hati menawarkan bekal makanan dan minuman kepada siapa pun yang berada di situ untuk saling cicip-mencicipi. Semacam barter makanan satu sama lain.
Bapak Putu Aksara Putra (Kelian Dadia) | Foto: Sonhaji
Bahkan, saya dan Ucup juga ditawari untuk mengambil lungsuran atau makanan yang ada. Kami berdua dikasih jeruk dan anggur. Kata Ucup, lumayan, sekalian pengganti sarapan.
Namun, hari ini, sudah tak banyak orang yang melakukan praktik ini. Tak sebanyak saat masa silam. Hal tersebut diduga karena masa kini sudah banyak pengabenan masal. Jadi, jenazah tidak lama dikubur. Setiap ada pengabenan masal langsung diangkat.
“Sekarang sedikit yang ke setra untuk maturan punjung lagi. Karena sebagian besar sudah Ngaben,” kata Putu Aksara Putra (40 tahun), seorang Kelian Dadia (pemimpin warga adat) dari salah satu keluarga yang datang pagi itu.
Barangkali juga, itu yang membuat tradisi Munjung, semakin ke sini terasa tidak pernah muncul ke permukaan. Karena semakin hari semakin berkurang jenazah yang dikubur.
Sampai di sini, awalnya saya mengira orang Bali itu tidak memiliki tradisi terkait pemakaman jenazah yang dikubur. Terkait orang Bali yang harus mengubur jenazah atau tidak, saya tak pernah menjumpai teman atau siapa pun bercakap-cakap soal itu.
***
Tradisi Munjung memang tidak semeriah upacara Ngaben. Jika Ngaben terdapat prosesi arak-arakan di jalan dengan menggunakan “bade” atau tempat membawa jenazah, Munjung tidak seramai itu.
Ngaben, apalagi bagi kalangan menengah ke atas, biasanya diiringi berbagai pernak-pernik yang menunjukkan kemewahan. Ngaben di beberapa tempat di Bali bahkan ada yang diisi pertunjukkan sebelum jenazah dibakar bersama bade-nya—sebagai bentuk persembahan terakhir keluarga yang masih hidup.
Tetapi, ternyata ada juga beberapa pihak keluarga yang mengharuskan jenazah dikubur terlebih dulu. Karena beberapa desa adat mempercayai jika orang yang meninggal tidak boleh langsung diaben. Mesti harus dikubur dulu. Atau kembali dulu ke dalam tubuh Ibu Pertiwi. Seperti Made Wijana dan warga Banjar Jawa, Kecamatan Buleleng, yang percaya akan awig-awig (aturan adat) di desa adat mereka.
“Kalau di keluarga saya di Banjar Jawa ini, aturan adatnya memang jenazah harus kami kembalikan dulu ke tanah atau Bumi Pertiwi,” ucap Wijana saat kami ajak ngobrol di depan makam adiknya pagi itu.
Bagi Wijana dan keluarganya, Munjung bagaikan tempat nostalgia untuk sosok keluarga yang sudah tidak ada, sekaligus tempat silaturahmi untuk keluarga yang masih hidup.
Akhirnya, bisa dikatakan, Munjung bagaikan terminal pengantaran terakhir sebelum arwah orang yang sudah tiada benar-benar bersatu dengan Semesta—pakai “S” besar. Pula tempat keluarga yang masih hidup untuk merenungkan kembali tentang kematian.[T]
Reporter: Rusdy Ulu
Penulis: Rusdy Ulu
Editor: Jaswanto