MENJADI guru adalah sebuah pilihan yang rumit. Satu tahun ingin resign, tahun berikutnya akan resign, tahun berikutnya sudah menyiapkan surat namun tak berani ngomong, walhasil sampai sekarang tetap terlanjur jadi guru.
Kalau dikata menyayangi perkerjaan, tidak. Menyesali juga tidak. Begitulah jadi guru. Penuh dilema.
Saya adalah lulusan juruan pendidikan yang tidak terlalu kompeten. Kenapa saya bilang tidak? Karena saya tidak ada pekerjaan sambilan yang menguntungkan. Jadi pengajar les sangat jarang dibutuhkan, jadi jurnalis bingung nyari berita, jadi pengajar teater apalagi. Walhasil, saya mengadu nasib di kota. Ya, menjadi guru. Apalagi?
Ini juga dilema. Balik ke kampung, sangat sedikit side job yang menguntungkan. Di kota, saya dikoyak-koyak realita. Bingung.
Saya pernah berpikir kembali ke tempat saya dilahirkan. Kembali ke kehidupan saat menjadi mahasiswa. Untuk menjadi penulis, pegiat teater, menjadi orang yang berpikir dan orang yang riang gembira. Namun usaha itu sia-sia. Kendala izin dari orang tua adalah suatu hal yang rumit. Lebih rumit dari syarat administrasi birokrat.
Di kota, saya sering bertemu teman-teman lama saya di kampus. Tentunya seangkatan. Mereka juga jadi guru. Kami sering bercerita banyak hal, sampai ingin menjadi menteri dan mengubah sistematika pendidikan negara ini. Tapi hal itu mustahil terjadi.
Pembicaraan kami bermula ketika membahas kejenuhan di sekolah masing-masing. Untuk para pembaca ketahui, kami adalah guru swasta yang berharap bahwa kehidupan kami sejalan dengan guru PNS atau P3K. Namun itu berbanding terbalik. Kembali lagi ke topik awal.
Kami saling menyampaikan aspirasi dan kegelisahan. Bahwa menjadi guru bla, bla, bla dan wek, wek, wek. Tapi kami selalu menjalaninya. Berusaha terlihat tegar.
Berlanjut ke obrolan Kurikulum Merdeka yang membuat kami pusing 9 keliling. Kami saling meberikan tips and trik untuk cepat menyelesaikan administrasi kelas itu. Hasilnya, tidak ada. Memang kami harus pusing 10 keliling agar bisa menyelesaikannya dengan baik.
Obrolan kami berlanjut. Sampai ke side job yang harus kami kerjakan. Teman saya bilang menjadi tukang ojek online sekarang bisa menambah penghasilan yang lumayan walau tidak banyak. Setidaknya cukup untuk membayar biaya indekost saya di kota ini. Saya pikir itu menarik.
Namun, saya sudah punya side job lain. Mentalitas seni dan sastra saya masih tidak goyah. Kadang teman saya menawarkan untuk melatih siswanya dalam ekstra teater. Ya, saya terima. Agar saya tidak diam saja.
Namun, kembali lagi. Saya senang, namun realita berkata lain. setelah berpikir sedemikian lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk mendaftar sebagai ojek online alias ojol. Namun jangan khawatir, mentalitas sastra dan seni saya masih tidak goyah lo ya.
Menjadi ojek online pikir saya sangat melelahkan. Namun kenyataan ternyata sangat berbeda. Walau kadang saya merasa hidup ini tidak adil, tapi setidak-adilnya hidup saya, masih ada hidup orang yang lebih tidak adil.
Saya bertemu dengan teman baru. Sesama ojek online. Kami tidak sengaja bertemu di sebuah minimarket saat sedang menunggu orderan. Saya samarkan namanya. Ia adalah bapak Kayan –sebut saja begitu—ia adalah bapak rumah tangga yang tidak punya pekerjaan sama sekali setelah pandemi.
Terpaksa, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya ia mendaftarkan diri sebagai ojek online. Rumah kontrakan, kebutuhan makan, kebutuhan sekolah dan lain-lain ia sendiri yang menanggung. Apalagi saya tahu, penghasilan sebagai ojek online ini kadang ramai dan kadang tidak.
Kami seperti main judi, kalua untung ya sangat untung, kalua tidak, kami bisa hanya membawa tangan hampa ke rumah.
Bapak Kayan banyak bercerita. Malam itu, saya matikan sekejap aplikasi saya sengaja untuk mengobrol lebih lama dengan dia. Bapak Kayan ini sangat sering mendapatkan orderan fiktif—begitu istilah kami saat mendapatkan orderan palsu yang pemesannya entah di mana. Sering sekali ia membawa pulang makanan yang tidak tahu siapa pemiliknya itu.
Ia juga bercerita bahwa sering mendapatkan hanya satu bintang padahal tak salah apa-apa. Penumpang yang paling menyebalkan seperti itu biasanya adalah bule-bule mabuk yang tindak-tanduk mereka tidak masuk akal. Sampai Bapak Kayan pernah kena muntah dan seluruh tubuhnya sampai basah oleh muntahan itu. Saya yang mendengarnya hanya bisa membelalakkan mata tak percaya.
“Saya tidak ingin pulang tanpa membawa apa-apa, Dik. Terpaksa saya ambil.” Begitu katanya.
Kadang menjadi tukang ojek online seperti ini, apalagi di daerah yang banyak beach club, seperti menghindari daerah yang sangat berbahaya. Namun kalau tidak diambil, mereka adalah sumber tips terbesar kami para ojek online.
Beberapa kali saya seperti tertampar oleh Pak Kayan. Ia ngojek dari pagi hingga pagi hari. Tak seperti saya yang hanya ngojek tepat pukul 6 sore dan berhenti ketika sudah mengantuk. Paling lama adalah jam 11 malam.
Saya menghidupkan aplikasi kembali. Malam juga saya lihat sudah sangat larut, tapi Pak Kayan seperti tak ingin menyelesaikan obrolannya. Ia saya pikir hanya butuh teman untuk diajak bercerita.
Sebatang rokok kretek dihidupkannya, saya ditawari, namun tak hayal, saya juga butuh rokok untuk menenangkan pikiran. Dibakarlah satu batang rokok kretek yang saya minta dari Pak Kayan. Kami lanjut mengobrol, sampai akhirnya ponsel Pak Kayan berbunyi.
“Saya ada penjemputan di Bandara. Besok kalua ketemu kita ngobrol lagi,” kata Pak Kayan sembari mematikan rokoknya.
Saya hanya mengangguk dan tersenyum. Rokok saya masih banyak dan belum banyak cerita juga yang saya dengar.
“Hati-hati, Pak”, kata saya sembari berjabat tangan.
Setelah kepergian Pak Kayan dari minimarket itu, saya kembali mengecek ponsel saya. Ternyata tak ada orderan sama sekali. Waktu juga sudah menunjukkan jam 11 lewat. Saya akhirnya mematikan ponsel dan rokok yang diberi Pak Kayan tadi.
Sembari menghidupkan mesin motor dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, saya terbesit sesuatu. Saya berpikir agak lama tentang itu, jalanan juga sangat sepi namun pikiran saya terlalu riuh untuk itu.
Ternyata Prota, Promes dan Modul Ajar saya belum selesai dibuat.
Saya langsung tancap gas dan bergegas membuat sesuatu yang menyusahkan itu. Ini lebih susah dari menanggapi orderan makanan yang sudah dingin. Sial! [T]