INTERNEWS dan Yayasan Kino Media (Minikino), dengan dukungan dari FilmAid, mengadakan Kompetisi dan Produksi Film Vertikal untuk merespons isu kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia. Kompetisi ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi para pembuat film untuk mengekspresikan keresahan mereka secara kreatif, meningkatkan kesadaran, dan memperkuat dialog tentang KBG di masyarakat.
“Kompetisi ini mendorong para pembuat film untuk mengangkat cerita-cerita yang sering kali tersembunyi atau diabaikan, serta mengedukasi penonton tentang dampak dan cara mengatasi kekerasan berbasis gender,” ujar Eric Sasono dari Internews Indonesia.
Selain itu menurut Eric, format vertikal yang banyak digunakan di media sosial memungkinkan penyebaran pesan yang lebih luas dan cepat, menjangkau audiens yang lebih beragam.
Maksimal sepuluh kelompok produksi akan dipilih dan didampingi oleh mentor I Made Suarbawa, Kiki Febriyanti, dan Bani Nasution. Karya-karya mereka kemudian akan dipamerkan dalam program ekshibisi khusus di Minikino Film Week 10, Bali International Short Film Festival (13-20 September 2024) yang juga bagian dari rangkaian acara di MFW Film Market. Empat kelompok produksi akan mendapatkan dukungan pembiayaan untuk menghadiri festival tersebut dan mempresentasikan karya mereka.
Kekerasan berbasis gender telah menjadi isu global yang mendesak. Menurut UNESCO, 73% perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan online seperti pelecehan, penguntitan, dan penyebaran gambar intim tanpa izin. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023, dengan 289.111 kasus di antaranya merupakan kekerasan berbasis gender.
“Selain itu terjadi peningkatan yang signifikan dari pelaporan kasus pelecehan seksual dan pemaksaan aborsi. Demikian juga terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan di ranah negara, utamanya kasus yang terkait dengan konflik sumber daya alam, tata ruang, dan agraria” jelas Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU).
Namun, sangat penting memahami bahwa data dalam CATAHU hanya merupakan indikasi dari fenomena puncak gunung es persoalan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di dalam masyarakat.
Peran Film Pendek dalam Merespons KBG
Film pendek menawarkan ruang dialog, sehingga mendorong kesadaran tentang kekerasan berbasis gender. Minikino, dengan pengalamannya dalam menyelenggarakan lokakarya dan kompetisi film pendek, percaya bahwa film dapat menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan isu ini.
Pendekatan film vertikal, mirip dengan fotografi potret, mampu menangkap sisi personal manusia dengan lebih dekat dan intim.
Bani Nasution, salah satu mentor dalam Kompetisi dan Produksi Film Vertikal, menyatakan, isu kekerasan berbasis gender akan sangat powerful jika dibingkai dalam format vertikal karena dapat mendekatkan penonton pada perasaan-perasaan yang lebih intim dan emosional.
Format vertikal, yang kini lebih umum dikenali melalui platform seperti TikTok, Reels, dan Stories, memungkinkan para peserta untuk merekam, menulis, dan menyunting film pendeknya menggunakan smartphone, sehingga mempermudah proses teknis pembuatan film.
Film pendek adalah salah satu media paling ampuh untuk menyoroti persoalan global dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Dalam konteks kekerasan berbasis gender, film pendek dapat berfungsi sebagai media edukasi dan advokasi yang mendorong penonton untuk merefleksikan sikap dan pandangan mereka terhadap kesetaraan gender.
“Kekerasan berbasis gender yang diangkat ke dalam film juga bisa menjadi salah satu bentuk pemberdayaan bagi para penyintas,” ujar Kiki Febriyanti, seorang filmmaker dan mentor dalam kompetisi ini, “memberikan mereka suara untuk berbicara dan berbagi pengalaman mereka.”
Kehadiran filmmaker perempuan sangat penting karena mereka cenderung memusatkan suara dan pengalaman perempuan dalam penceritaan mereka. Menurut Kiki Febriyanti, hal ini dapat menantang norma dan stigma industri film yang didominasi laki-laki, yang seringkali melanggengkan narasi patriarki dan stereotip merugikan tentang perempuan.
“Dengan adanya representasi perempuan di balik layar, mereka memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah dari sudut pandang mereka sendiri,” lanjut Kiki, “menciptakan industri film yang lebih inklusif dan beragam, yang mencerminkan realitas kehidupan perempuan dan minoritas gender.”
Detail Kompetisi dan Pendampingan
Pendaftar akan diwajibkan mengikuti dua webinar tentang pemahaman kekerasan berbasis gender dan pengenalan konsep film vertikal sebagai format film pendek pada 19 Juli 2024. Hanya pendaftar yang mengikuti kedua webinar dan lolos seleksi wawancara, yang akan dipertimbangkan untuk seleksi berikutnya.
Mereka akan mendapatkan pendampingan dua minggu (2-16 Agustus 2024) untuk pengembangan ide, persiapan produksi, dan dukungan biaya produksi film vertikal selama maksimal satu minggu (18-25 Agustus 2024).
Karya film vertikal yang terpilih akan dipamerkan dalam program ekshibisi khusus di Film Vertikal di Film Market, Minikino Film Week 10, Bali International Short Film Festival (13-20 September 2024). Empat kelompok produksi akan mendapatkan dukungan pembiayaan untuk menghadiri Minikino Film Week 10 dan mempresentasikan karya mereka.
“Kami berharap proyek ini tidak hanya akan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender, tetapi juga mendorong tindakan nyata dari berbagai pihak,” harap Fransiska Prihadi, sebagai Direktur Program Minikino Film Week 10.
FilmAid mendukung penuh pembuatan film berbasis komunitas dengan mitra Minikino sebagai mitra kerjanya. “Dengan banyaknya penonton muda yang merespons penyampaian cerita di perangkat vertikal mereka, kami tahu bahwa ini adalah format yang akan terus berkembang, memberikan dampak, dan memberikan informasi kepada komunitas di seluruh dunia,” kata Gita Saedy Kelly, Direktur FilmAid.
Bagi FilmAid, mengumpulkan cerita tentang kekerasan berbasis gender, juga menjadi upaya memberdayakan suara-suara filmmaker untuk berbagi lebih banyak menyuarakan isu lewat format media yang akrab digunakan. Gita juga berharap melalui kompertisi ini, apa yang dihasilkan di Bali akan memberikan pengetahuan dan pertukaran informasi untuk jaringan FilmAid global. [T]Rls]