KETIKA SAJAK ITU JEJAK DI SUNGAI
__Puan Agustina
Thamrin
akulah puan penyair Kalimantan.
yang kali-kalinya jadi kota bekas penjarah
yang hutan hutannya sering membara.
tambang batubaranya nyanyian duka.
harapan masih tergantung di jendela.
: Hentakan tarian Dayak terpahat di mata
akulah puan penyair Banjarbaru
puisi puisiku mengalir di seribu sungai yang hilang
dijual ribuan penjual kisah
puisi itu masuk hutan cengkraman tuan
tak tersisa nyanyian prenjak, koak gagak,
dan rintihan orang utan.
Sebermula takzub itu sajian sunyi
di akar rumput di batang kayu mati
mengambang atas sungai leluhur kami
atas kemurnian hilang oleh pencinta diri
tinggal raungan ditendang si industrialis
Diserah terimakan ruwatan bumi, hukum sepi.
pantang menyerah membaca sajak
ikut berarak bersama tarian awan,
bermain di jantung gelombang
melalui udara berhembus wangi cinta
tak berujung,
memakai pesawat terbang pun tak sesal!
Tangis sudah mengerak
Cintamu sudah selesai di kertas,
sempat seliweran di dunia
Kini bersiap membaca cahaya
masuk ke hutan kaya tengahnya taman.
Seberakhir titian rambut dibelah tujuh
panjangnya tak terduga, tipisnya tak terlukis
Temui Hasan Assabit penyair Nabi, lalu sampaikan
bahwa kau – Agustina bersuara dalam tarian Dayak,
pembelaan pada alam telah digemakan;
sajak kesaksian dilayarkan di perairan Kalimantan,
kali harapan, kali para pengelana, kali kasih sayang,
seribu kali oh menjadi kota bergang ratapan
: terdengar dari hutan ibu kita memanggil pulang.
Kalimantan tumpah darah ayah Thamrin
juga kau sepi ing pamrih, dan kini hening
tanyailah, siapa ruh suci pecinta puisi
kau tidak kan galau, segera dapat pulau
hadiah dari seribu sungai risau
habis oleh sayatan pisau orang kacau
Ruhmu sedang menempuh, taklah jauh!
gerbang kampung abadi rindu menunggumu
Buku puisi itu suara tifa tanpa bunyi penutup.
/Bukit Padalarang, 17 Mei 2020
BICARALAH DENGAN BUNGA
Tak pernah lupa bunga membuka kelopak
Kerelaannya dihisap tawon menawan hujan
Sebelum embun menguap, aroma terlempar
Kemuliaan itu sama tuanya dengan gerabah
Kita dari ragam tanah, angin mengeringkannya.
Mawar, tanah air, orang suci penyelamat kars
Ribuan bunga telang membuat belukar indah,
bunga beranda, bunga liar atas batu marmar,
bunga pinggir jalan, bunga di halaman orang,
bunga taman kota dan bunga di jambangan
Semua bernama, kelahirannya putik dipuja.
Bunga persembahan Tuhan bagi si lemah
Si kuat belajar lembut darinya, sejarah
Bila tak suka bunga, air bisa jadi tuba
Arahkan matamu di perkawinan alam
Biarkan jiwamu menjadi garuda terbang.
Mencintai dengan keanggunan bunga,
Ketangguhan duri melindungi mawar,
saat ujungnya menggores kulit jari
sengit membela lembutnya
lalu menancap dagingmu
sakit oh sampai ke ulu,
jangan mengaduh!
Tahan, dan simpan untuk bunga randu
sambil berbisik ke telinga kelopaknya
“Runduklah, si Senyap mengalirkan cinta padamu,
dikau diangkat penanda kemuliaan”.
Kesucian datang – kembali bergantian
Raga pahlawan harum kerna wangi melati berjalan
Ali kekasih sunyi itu berkata:
“Jadilah mawar meski diremas, memberikan wangi.”
Malam berjubah hitam menangkapnya dalam hening
“Ya kudengar janjinya, ia bangkit dipangkuan angin.”
/Kabuyutan Rajamandala, 9 Juli 2019
KAMPUNG NELAYAN TERASING
: untuk para pengabdi negeri pesisiran
tetaplah biru
mulut ombak memburu
buihnya lampus
alam lembut mengasuh
kwas hidup kadang saru
ombak utara
gemanya tembus rumah
nelayan pulang
duh sampan di dermaga
ratap si bungsu menyayat
berlalu musim
ombak utara pergi
pasir bergaris
laut menyimpan takdir
pergi kembali tertulis
kampung nelayan
bahtera nusantara
laut terkaya
pantai terasing barat
ikannya sampai kota
jangan katakan
hidup terasing susah
buih menghilang
bahagia ditemani ombak
jalan surga membayang
/Bukit Padalarang, 5 April 2019
BELIBIS DI KOLAM SENYAP
/1/
udara basah
burung pemakan ikan
belibis indah
senyap datang meraja
teguh dalam penantian
/2/
getar ilalang
surya belakang mega
riakan kolam
kenangan dibawa lebah
garis warna sayapnya itu cerita
/3/
kepakan keras
air sontak menciprat
matanya terang
bianglala benderang
hasrat sampai tujuan
/4/
kepakan lembut
menyentuh embun rumput
paruh terkatup
taklah takut lumpur
yakin air peluntur
/5/
putih sekujur
belibis tepis kabut
datang berduyun
tanpa nafsu menggebu
derma Tuhan menunggu
/6/
tiada kabung
meski surya separuh
belibis nunggu
kecipak ikan sayup
memompa degup hidup
/7/
perahu bambu ditengah riak kolam
bayangan sayap
/8/
semua burung bergegas terbang cepat
darurat lapar
6tanka+haiku2B_6 Juli 2020
SERUMPUN BAMBU
1_
di rumpun bambu akarnya melingkar kuat,
ujungnya kasih sayang, gumamannya di lembah,
daun muda datang membujuknya,
“Aku mohon kau minum dulu sebelum melangkah,
titipkan wasiatmu kepadaku,
daun tua gugur mengolah tanah jadi subur”
Induknya tekun membuat susu
dari campuran tetesan hujan untuk menyusui rebung.
Tidaklah bisu, buku ke buku tumbuh,
begitulah ibu semua ibu kandung
2_
tiada pohon yang pelukannya sekuat bambu tali,
tumbuh memberi guna, dirinya milik semua yang melata
buat perkakas rumah tangga.
dahannya, ranting hikmah
meliuk, batang jalannya,
dialirkannya ke daun
dermakan udara,
kidung buhun
3_
serumpun bambu bila tak berkabut
tanpa bayang, mentalak kepalsuan
saat mentari tepekur, lepas embun
waktunya patuh, oh busur gendewa
/ Bandung, 29 Okt. 2021
POHON BANYAN
Kulihat pohon banyan rimbun
hasrat hidup menolak dikurung
namanya menggetarkan gunung
membuat bersimpuh tentara kabut
Ya dia maharatu semua pohonan,
begitu orang tua bercerita:
Banyan tumbuh diberkati istana akar gantung,
berkembang besar
jadilah batang-batang.
Bagai cinta tiada sampahnya
Teduh bawah payungnya
menaungi habitat hektaran
kau belum percaya? Itu hal biasa.
Kutatap pohon banyan berbaris sunyi
mendirikan kerajaan hutan tersendiri.
Kekuatannya memperjuangkan diri
bertahan hidup di kepungan dingin
engkaukah adik pohon hayat
Akar gantungnya bergerak cepat
dari perumahan hara ke atasnya,
dari atas ke bawah,
menjungkir balikkan rintangan
perjuangannya tanpa suara
Banyan saling memperkuat,
pantang mencampakkan,
tak mengambil hak hidup lainnya.
Oh pohon banyan rumah semua hewan
tumbuh dalam senyap di setiap jiwa yang rindang!
Bukit Padalarang, 29 Okt.2021
SENIMAN SAKSI PINGGIRAN ZAMAN
Jangan perlu warna di cinta kecuali perupa
melukis pagi dengan kwas jari lima
adukan cat minyak rasa musim panas
sampai jauh digadang-gadang begadang
Apa pedulimu model telanjang
Tak butuh kata di cinta selain penyair
menulis gerak dengan khayal seenak hati
penakluk kata sahabat nelayan miskin
ombak resah ombak tenang, ikan di kail
Apa pedulimu dunia sunyi menggigil
Jangan pernah bertanya indahnya penari
bila bukan liukannya lahir dari puisi
“sungguh gila kamu populis saat agama dibeli”
di dalam jam, lampu panggung mati
Apa pedulimu hai manis!
Kalau begitu,
masa delman di pinggiran kota terkalahkan ojeg,
seseorang berurai airmata,
kuda riang bakal balik ke padangnya
jangan melukis, bersyair, main teater
dan nari
Apa pedulimu butuh sekedar puji
bayangan henti
buku bambu digergaji
potongan diri
/Bukit Padalarang, 18 Juni 2019
AIRMATA DI SELEMBAR DAUN MANGGA
_terkenang Sapardi Djoko
Damono
lepas dari pohon mangga rimbun selembar daun tua,
tidaklah berwarna kuning, coklat atau kuning jingga
Utuh warna hijaunya tapi bukan muda,
Selembar daun mangga yang lancip panjang,
selebar telapak tangan
Siapapun menyapanya juga angin malam
dimanapun senang menerimanya
kerna ia daun mangga yang tak pernah kecewa
meski diatas tanah basah,
dan tak suka uring-uringan berada di tanah kering
: ia Sapardi peminum air imajis
dewi puisi bersukacita membaca kata
yang kerap terucap di kolam teratai
depan rumah klasik sederhana
: ia Djoko pelukis impresionis yang gradasi warnanya
manis lengkap dengan ruh haiku pengharapan hening
Ah sayang tak terlaksana puisiku melaut bersama,
dibaca penanda cuacanya, dan sedikit ditandai setitik di benderanya
: ia Damono terkadang tatapannya murni surealis;
realitanya lebih penggembala
“tapi jangan sebut peternak,” kata penyair dunia maya,
“sebab cinta sajaknya tanpa tuntutan”.
Hai, angin gugurkan tanpa jeda ya mawar dari surga di pusaranya.
Itu lebih kekal mahal dari Nobel sastra!
: ia sudah fasih menyusun larik.
Kata mati dijelmakan ikan dan ombak
Sekian nelayan dapat penghiburan
Kuli tinta mereguk cawan kenangan
(bandar kayu cendana hidup dari malam)
Ya sempatkan mengawini bait sela kerja
daun mangga tak tua tua itu lepas
masuk ke kerajaan tanah berbuah hara
Tiba-tiba keluar pancaran sang hyang
meniupkan ruh bagi sajak yang rebah,
tergeletak sembarang layar; astaga!
sumber bacaan si mati gaya kebisingan
Aku beruntung melihat penyair liat
Lentur di dua musim
Segalanya ada halaman tengah
Namun sajak menolak di halaman terakhir
selamat datang empu di gapura megah
buku terbuka.
/ bukit Padalarang, 19 Juli 2020
( hari wafatnya Sapardi Djoko D.)
LIPATAN MALAM
Sekujur badan rebah
ada juga yang menghapus noktah;
entah berapa juta sejarah ditulis dan dirubah
Tinta getah bersamaan tinta darah tak punah,
tetesan terakhir melekat di tangan :
Setiap malam lembaran pengalaman disimpan
dunia maya dihamparkan,
antri berdesakan berebut makanan,
sebotol anggur Erofa
Di bawah jembatan peradaban semua duka pun jadi sajak
Di balik kulit semangka,
putihnya memudar terbakar surya,
merahnya lebih banyak berkuasa;
Kemerdekaan orang banyak tergadai
pecahan sinar mentari
masuk ke bumi
Kini menembus malam
abu bambu jadi sabun kosmetik
berubah dahan kembali
Malam berdandan persis perawan
geraknya berputar di tengah kolam disorot purnama
lalu kolam-kolam Hyang muncul
serupa kain hitam
menutup kepala seorang dara bermata bunga seroja,
itupun sedang merebah,
Oh lukisan luar biasa.
dari bunga mawar aku belajar,
kemarau dan hujan saling berkaca
memberi ucapan selamat datang malam!
Setiap malam
Isteriku berdoa
memanggil Tuhan,
sedang raksasa kegelapan gentayangan
Suara serakmu itu pemberontakan
berbagi sedikit harta ke si gelandangan
demi bahagia anak wanita suka berenang
meski pemuda idamannya hilang
di gulung ombak malam
bermil-mil jarak perjalanan hidupku tumpah
semua rencana jadi awan kelabu
namun di setiap malam
dan bila rohmu pulang
tak membawa apa-apa; hanya senyuman
Langit lapis ke sembilan selalu membuka;
terbangkanlah doa pujian,
menyebut nama imam bermahkota bintang dua belas
Malam di pusara cepat berlarian, sungguh baik bagi penyair pemimpi
durinya mawar pun kawan bermain tumbuh mulia berbakti
memberi tajamnya bagi ranting
Setiap malam,
lipatan senyapnya itu Sangkuriang
menendang perahu berubah gunung,
melempar dahan menjadi Burangrang
Bila kain-kain tenun itu lapisan waktu fajar;
Apakah kamu masih sembahyang?
Lipatan malam ini betah di mata
Nyawamu, nyawaku berputar
seperti kujang Resi Gagak Rancang
di tengah kolam keramat;
Apakah kamu tetap setia mendengar gemercik air sungai purba?
Lipatan malam lebih cepat, lebih kuat dari rayuan kilauan emas,
Ya, aku melaku walau langkah gontai,
dan kadang tercerai manusia sekarang;
yang hutan jati warisannya hilang.
masih terlihat menara dibungkus malam
suatu ruang di dalam jiwamu, sayang
seekor binatang liar, meronta, lapar
bahwa bumi yang kita pijak berkata;
Jangan abaikan sayap-sayap yang lelah!
seperti apa yang Tuhan inginkan:
Panjangkan harapan sampai ke bulan!
setiap taman kota,
setiap lipatan malamnya;
bunga melati menyebarkan wanginya
laksana doa dimulai merayu Tuhan, memuji para insan tersucikan,
jawabannya lekas sampai
seperti membaca buku novel perang,
melimpah tuah dan hikmah,
setiap malam lipatannya cahaya.
Tidak pamrih ada atau tiada
berani saja mencipta bahagia
tak peduli pergi atau kembali
yang utama berani berdoa,
menyungkurkan diri,
meratakan pipi dengan tanah
di sudut merasa paling hina:
Sambutlah aku wahai Lipatan malam!
Kejamnya cuaca panas tentu hilang.
/ Kabuyutan Rajamandala, 29 Sept. 2020
MULANYA SAJAK DARI BAPAK ADAM
Adam bapak kita dicipta dari tanah liat tujuh tempat,
daratan, dasar lautan dan tanah lempung surga:
Tuhan tiup dengan angin melati
Bahasa cinta petani, anggur dan kopi
Kala sendiri belum mengenal khuldi
Jangan melupakan Lelaki sunyi!
Kita pun Adam dan Hawa
yang ruhnya melewati sulbi para nabi
kini kita bisa menulis puisi dari angin,
belajar dari empu dan kitab suci,
seraya bertani sambil bernyanyi,
menyeka lelah dengan ratusan kata
Raga ini benih yang ditaburkan Adam ke Hawa
sebagai kebun kaya hara, tak pernah kering cinta!
Ini desir air mengantarkan puisi pagi
Kata-kata kita bahasa surga pertama lahir di celah bibir
ada tipuan – sarat canda, biasa saja!
Tupai makhluk pertama di bumi menari,
anak burung belajar terbang sendiri, jatuh bangun di ranting
Sepintas dikisahkan surganya Adam tanpa mega mendung dan langit!
Ini denyut jantung menderukan kidung
hidup selaksa nafsu di asuh akal,
dibatas dikurung.
bagai membaca sajak di atas kuda
yang berlari tenang menuju kandang
pelananya itu panduan leluhur,
dibantu tali kekang pepatah ibu
Bayangkan jiwamu serupa batu diselimuti lumut
di jalan menurun!
Oh tak terduga, bisa terlunta kita!
bila di laut lepas bisa terbawa ombak dan mulanya tak dipinta!
Hati kita itu sehelai sayap melayang yang kerap tersangkut di duri mawar;
sadar saat beranda jingga oleh bulan
Sejak itu sajak lalu lalang di taman
/bukit Padalarang, 21-22 Maret 2020
PENYAIR TAHANAN POLITIK
: Amarzan Lubis sampai Martin
Aleida*
kesturi ke sepuluh dalam jangkauan musim pendemi telah gugur
bersama tangan keriput yang pernah dibelenggu menuju pulau Buru
semua wajah tawanan sejarah palsu
Bersama kaki hujan di rambut
mata beringas zaman orde baru menembus tulang sumsum
mengabarkan ibumu mati bawa rindu di kampung
Wangi kesturi itu saksi bisu
ya penyair dibawah mega mendung,
piring rangsum ditaburi racun
kematian belum tunduk pada waktu
segala yang hidup dicatat buku
kesturi ke sepuluh itu bukan cinta saat lepas dari tangkainya,
terdakwa di atas gulma, tak bicara
: aromanya dihisap bidadari senyap,
dan tanpa pengadilan pemilik alam
jika rantau, pergi jauh ke hutan
Vietnam
Seluruh kenanganmu bicara lantang
: tanpa sinaran lampu ibukota dan bulan
“Bapak ada dimana waktu tentara tiba?” tanya Amarzan
Tak menyahut, semuanya bungkam
mimpi buruk ketakutan
Bencana negeri penuh tahanan cakrawala politik Indonesia kusam
anak cucu terpasung di kotak besi
“Kamu tak bisa apa-apa, hanya tangis.”
zaman itu aromaterapi kesturi
lebih berarti dari senyum gadis
dan janji manis bupati pada si miskin
sebab lepas tahanan – dosa itu pergi
jiwa jadi perkasa saat pena bersaksi
: “kawan, jangan sebut aku penyair sepi!
Begitu hasrat merusak hukum cacat,
anakku kelak menjelma jaksa, meminta hakim Illahi hadir “.
Segalanya kan berakhir di ujung jari.
*Amarzan & Martin sahabat Goenawan Mohammad
Bandung, 29 Oktober 2020
KEMARAU DI BULAN JUNI
: Eyang Sapardi Djoko Damono
tahukah kamu embun cepet susut
di daun
langkah senyap melompat ke bulu kuduk
Jiwa kembara ini kuda putih pencari rumput
Juni tahun lalu tangan hujan kerap merajut
jalan kuyup memuaskan rindu pemburu burung
adakah kau menangkap gemetarnya tanah
merekah belah, cacing entah hijrah kemana
Jari tua ini beribu kali meraba jejak lembab
tiada sambutan, ya parau itu rindu tetes hujan
Begitu fatamorgana mendekap kaca beranda
pelukan lepas
bumi berangkat tapa
mentari suka
tersimpan hujan di lautan
ketika semua mengira dunia sekedar mata
diam-diam kabut menipis takut
kemarau juni ini kekasih yang penuh rindu
tanpa rahasia dimekarkannya mawar gunung
ciuman rakus
panas melahap badan
akar terpasung
/ Bandung, 5 Juni – 8 Juli 2019
LIRIK GAGAK RANTAUAN
gagak hitam di mata manusia
bukanlah kerna kemiskinan mendera
lecutan cemeti ujungnya batu
harapan rakyat kerap dibungkus lagu
daun guguran di batu berlumut
Kukalahkan hasrat ingin unggul
tak lebih tipuan pesona wanita cabul
menapak situs
cermin di saku jatuh
terkubur lumpur
burung gagak di dahan kering
musik seirama ranting terbanting
o alis tipismu paling mudah kulukis
matamu itu jutaan tahun mengerling
tanpa kenal keakuan setipis kulit ari;
mengaji ribuan kitab sabda para nabi
Terkencing dalam irama musik etnik
/bukit Padalarang, 26 April 2020
DI MATAMU ADA LAUT
tatapan biru
menembus langit biru
laut biru matamu penuh
semua sudutnya direngkuh
tak menyisakan tatapan ungu
ataupun violet di hitam mataku
hidup ini panjang, pendek itu lagu
kata kita indahnya bertemu di rindu, di suapan tanganku juga tanganmu ,
satu tak berubah lho, ciuman rakus waktu kenangan berontak terhapus
: maut melipat – lipat waktu, selalu mau
Mungkin hatimu pilu
Keberanian seperti api tungku
menghanguskan yang kaku bisu
cepat memberikan hamparan abu
Rencana pun dilipat di ribuan buku
Tak perlu menunggu;
Buat keputusan setelah embun turun
Toch lahir ke bumi semua jadi buruh
tebalnya debu
hinggap di rambut kusut
lompatan maut
/Bandung, 4 April 2021
PANTAI SELATAN
DI MATA
_ jangan cerai berai
kamu pasti sangsai !
pantai selatan di mata
jauh jauh di injak
tak terhitung jejak
riang panjang ditarik ombak
asa merekayasa
jangan sebut itu cinta
hati melaut utara
mulut manis laut selatan
gerimis pagi
bahtera basah di tepi
kasih sejuk bestari
ciuman lembut nyos pipi kiri
pantai selatan di mata
bibir ombaknya desa kota
buka busana hilang dusta
menolak cerai bunuh berai
Kita abadi di buatNYA
/Bukit Padalarang, 25 Maret 2019
KOTA KITA TEMARAM
masa silam yang hilang
yang bisa datang tiba-tiba berupa kota
tak ada keraguan menjadi jalan terjal
semua itu warna, rasa di kaki – di tangan
lorong kota serupa rambut dibelah dua
tak sedikit memberikan kemustahilan,
pertanyaannya bagai undangan pohonan taman yang remang,
batuk suka ditahan khawatir belalang lumut tembok meloncat
lalu hidupnya dimainkan si raja kelana
Kita punya warisan ilmu mengecilkan diri
namun tak punya warisan puisi bernyali
sebab leluhur besar sukanya ke matahari
Sampai mati aku disini, di tanah hening:
lampu temaram
jalan ke rumah terang
bayang menghilang
/bukit Padalarang, 28 Jan. 2022
WANITA BERJAS HUJAN PLASTIK
saya tak melihatmu datang di kota dan kemarau kemarin itu singkat
selimut derita kulipat dalam diam
harapan ketemu sudah menghablur
tinta, logo kerja warnanya kabur
mungkin yang segalanya atasnama agama, rambut bisa cepat beruban
Sebelum matamu menunduk malu seperti Eva direndahkan bujuk rayu
Ribuan kali kekalahan ditutup daun
sejak itu lupa senyum, tak berkata:
” Aku kaki tangan si jujur dan budak kesetiaan”.
/bukit Padalarang, 18 April 2020
HIDUP BERSAMA SI HITAM MANIS
aku suka si hitam manis
berpuluh tahun rasa tak basi
cinta kasihnya mahar tradisionil
bayangan matamu garisan bulan
menembus helai-helai mawar merah
aku suka hitam manis
anak-anak lahir itu bukti
Tuhan dan hutan jati mengerti
di titipkannya si sulung hitam manis
pohon isyarat agar selalu ingat mati.
kedua ketiga kulitnya putih
jalan kesukaan moyang laki
keempat bungsu juga hitam manis
hitam putih bukan hukum mutlak
ayat yang kubaca di bulan purnama
ya aku sayang si hitam manis
indahnya mawar kuyup gerimis
tangkai liat yang menolak kering
_ Bukit Padalarang, 8 Juni 2019
RAMADAN SAYANG
Ramadan sayang,
sebuah kupasan kisah indah
jalan plotnya ramai oleh sapaan
cahaya samar, terang di orang puasa penggemarnya para pedagang pasar
sinar benderang membujuk ke ritual
: sama dipuja, digjaya dipeluk anak harapan suka melompati nyanyian,
lampu Aladin di sepanjang sejarah tidak cocok dipakai untuk berdoa,
juga untuk malam bercinta
Ramadan sayang,
dikau datang membawa bulan
kisahnya nabi ibarat wangi bunga
perjalanan iklas di gang pembagian langkah gemilangnya tak didustakan
seribu bintang dihadiahkan
seribu hewan dikawinkan
seribu cerita nestapa seorang imam pun dilupakan
: mistis tak kecolongan
Ramadan sayang berkelindan
di dahaga orang kaya, di si papa
rajutan kasih di medan peperangan
sembilan lapis langit di kulit tangan sembilan puluh cita di daun sayuran
sembilan puluh sembilan sifat Tuhan dikabarkan masuk ke seluruh ciptaan
seribu nama Tuhan menyatu di hujan
Ramadan sayang
rumah di tengah ladang
kolam berikan
Bandung, 18 April 2021
LAUT KADANG BISU*
sudah berlalu
ombak main di jauh
langit dan laut
rindu putih ke biru
tanah air kampungku
memasang lampu
rumah tempat bertemu
pantainya bisu
tiada bongkah batu
hati selembut lumut
lihatlah laut
mata menjadi biru
hanyalah siput
coba lari menjauh
bumi pelukan maut
*puisi tanka_,2021
POTRET KELUARGA YANG HILANG
Begitu hujan tumpah
malam berumah kabut
tinggal lelap di matamu
sudah beribu kali tertawa
sudah tak terhitung merenung
mungkin pemulung banyak termenung
kota selalu lahir dari gaduh, pintar menipu
Coba senyum, akan nampak yang berniat busuk,
bayangkan kawan hidup diganggu saat masuk kalbu
Begitu kota penuh kemarahan korban sejarah palsu
Kelam memang tak dapat dikuasakan,
tak bisa di lihat sebagai penanda senyap
kelam adalah bantahan tak merasa salah
Lalu engkau mau kemana? Tuhan disini
Lembut jari kakimu jadi setajam belati
cepat menangkap perubahan musim
kecuali bisik angin di bibir bunga melati
Begitu hina aku setelah tersibak aib;
tak secuil pun kemuliaan di mata kekasih
selain hamparan pasir di pantai sepi
Keluarga ini lebih utama di meja makan;
Lupakan aku bahwa pernah melukai
sepasang burung
menembus pohon rimbun
tak sobek daun
apakah balutan rindu hujan memelukmu
dingin secepat cahaya memuja apiMu
Tanpa sisa luka, kabarkanlah saat senyap
belajar sabar itu di dunia dan di airmata
di terpaan badai lautan, di banjir bandang
Menangislah, minta maaf dengan apel Hawa
makanan penutup semua makhluk yang melanggar!
/Kabuyutan Nagreg, Oktober 2020
TOMBAK WAKTU ITU BERDARAH
: elegi untuk para Pahlawan
Jariku mengurai rambut kusutmu sembari menirukan cericit sendu –
lagu anak burung kehilangan induk
Kampung yang dihuni ular ditabur garam,
hidup pun berjamur kayu, Mulutku menyusur dara Jambudwipa
Entah berapa ciuman dihapus embun
di mata basah, ragamu merekah bak bunga liar lembah Padalarang
Kapan saja jarimu setajam tombak
ujungnya dendam berkarat emas
Tanah airnya diincar bank-bank Erofa
Tak menanyakan, siapa yang naik
ke bahtera mazhab cinta
yang lautannya berombak ganas
yang malamnya dialiri triliunan sunyi,
yang tanahnya minum darah pahlawan cucu pemberi safaat
yang kerna mereka Tuhan beralasan mencipta alam semesta dan cinta,
kelak menuntut di pengadilan Illahi
Ya yang diam di sudut dusun tebu,
di gang kota metropolitan,
di pojok desa nelayan miskin
Usai negeri tercabik hoax warisan
Tembang duka itu debu api unggun yang berlarian di angin
Tak apa, kau tombak kesadaran diri.
Itu tangan erat memegang belati,
dingin malam berkhianati di bukit
saat melihat kawan setiamu sendiri tombak menembus jantung musuh
sebab kedamaian kini puting beliung
teramat mahal dipelukan kebodohan luka goresan duri mawar tak terasa,
Di bibir dara desa korban korupsi menggelegak kutukan para moyang
Jam terbang hidup takluk di kertas
rangkaian sajak tergeletak di rak
Tak soal, tombak waktu di dada
Jangan abaikan aroma
Apapun rencana kiamat dunia
Tuhan meliputkan kasihnya ke kita
Setangkup keluh sejumput takut terapung di kolam, biar dimakan ikan
(kita disini bikin dapur sastra
cemburu, luka simpan di Jakarta) :
Yo berenang di kolam tujuh warna bunga untuk memperlambat kiamat.
Setan yang jalan di darah, kita kuras!
Berpegangan? Ya berpegangan
tak perlu cengeng; lemah di cuaca
tangis kita adalah melukis keadilan,
tangis kita perlawanan berabad-abad
tawa mereka hina dina atas dukana!
Ya, kita tunggu di telaga Al-Kautsar
Tak masalah jalan cinta penuh goda
asal ujung jalannya jamuan abadiNya
(di bengkel sastra memperbaikinya)
Mereguk, dan bunuh kebiadaban.
/ Rajamandala,13 Sept. 2020
- Jambudipa dan Padalarang : nama
desa di Kab. Bandung Barat - Al-Kautsar : telaganya Nabi saw di
Surga Firdaus.