MALAM baru saja mendaulat Kota Denpasar saat I Made Yoga Suputra, Ketua Sekaa Gita Semara, menyambut beberapa peneliti kesenian dan kebudayaan di rumahnya di Desa Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Jumat (21/7/2023).
Para peneliti itu hendak menanyakan beberapa hal terkait ekosistem Tari Joged Bumbung yang berkembang di Denpasar. Penelitian tersebut merupakan salah satu program dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV yang bekerja sama dengan Mulawali Institute.
Di sebuah sekepat atau balai bengong itu, Yoga mempersilakan para peneliti untuk duduk dan menunggunya barang sebentar. Di sana, di sekepat itu, terdapat beberapa buah rindik—alat musik tradisional Bali dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul—yang bagus sekali. Wadahnya diukir dengan motif khas Bali.
Tak berselang lama Yoga keluar dari rumahnya dengan membawa beberapa minuman untuk para tamunya. Sebuah keramah-tamahan orang Bali pada umumnya. Dan setelah sedikit berbasa-basi, proses wawancara dilakukan dengan santai, cair, mengalir, seperti ngobrol biasa di warung kopi.
“Daerah Penatih adalah salah satu wilayah yang cukup aktif dalam pelestarian kesenian Joged Bumbung di Denpasar,” ungkap Yoga menjawab pertanyaan peneliti sekaligus mengawali ceritanya.
Menurut Yoga, beberapa sekaa Tari Joged di Penatih tak hanya sekadar melestarikan tariannya; tapi juga sebagai distributor alat-alat gamelan iringannya. “Meskipun untuk pembuatan alat musik iringan Joged di Denpasar sudah sulit ditemukan. Pengrajin alat gamelan Joged umumnya berasal dari kabupaten lain,” ujarnya.
Kesenian Joged Bumbung merupakan tarian dengan gerakan yang cenderung lembut dan alunan musik yang tidak menegangkan seperti yang ditemukan di tarian Bali pada umumnya. Dalam terminologi Bali, Joged Bumbung termasuk ke dalam kesenian balih-balihan.
Berbeda dengan tari wali dan bebali, tari balih-balihan cenderung fokus pada aspek artistik, yang kemunculannya di masyarakat sebagai sarana hiburan atau media melepas penat. Meski demkian, Joged Bumbung juga mengandung pesan atau nilai-nilai di dalamnya.
Salah satu nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut adalah nilai sosial yang menggambarkan ciri khas masyarakat Bali yang dikenal sebagai masyarakat cinta damai, ramah, dan memiliki tingkat kebersamaan yang tinggi—dengan kata lain dapat merangkul perbedaan.
Di samping itu, terdapat juga beberapa unsur yang terkandung dalam Joged Bumbung, yakni etika (kaitannya dengan nilai-nilai kesopanan), logika (kaitannya dengan gerak dan teknik), dan estetika (terkait keindahan tari).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Joged Bumbung diwujudkan pada konteks di mana tari ini dipentaskan. Sehingga, kehadiran Joged Bumbung kerap dimunculkan dalam kegiatan atau acara perayaan oleh masyarakat Bali dengan maksud untuk membawa kesenangan dan menunjukkan aspek menyama braya. Maka tak salah jika masyarakat Bali menyertakan Joged Bumbung dalam kegiatan atau perayaan pernikahan, HUT organisasi, dan kegiatan perayaan lainnya.
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Joged Bumbung—tari pertunjukan yang muncul pada abad ke-19—memiliki fungsi sebagai tari pergaulan atau hiburan (entertainment) yang ditampilkan di luar halaman pura atau di tempat-tempat pertunjukan lainnya.
Pada mulanya, sebagaimana Kadek Suartaya—pemerhati seni budaya sekaligus dosen ISI Denpasar—menulis dalam artikelnya di tatkala.co yang berjudul Tari Joged, Dulu Dipingit, Kini Diumbar, Tari Joged adalah kesenian kesayangan kaum bangsawan era keemasan kerajaan di Pulau Bali.
Pada masa lampau, tulis Suartaya, Joged hanya dipentaskan di lingkungan keraton. Masing-masing puri mengayomi penari Joged. Bahkan, hanya raja yang boleh ngibing penari yang dikoleksinya.
“Pada tahun 1881, seorang petugas kesehatan Belanda, Dokter Yacobs, ketika bertamu di Kerajaan Mengwi, terpesona dengan para penari Joged privat sang raja yang elok-cantik berambut panjang tersenyum ramah. Para penari Joged yang dijamin hidupnya tersebut, dipingit di lingkungan puri,” tulis Suartaya lagi.
Keberadaan Tari Joged yang tidak boleh dipentaskan di luar tembok keraton itu, lanjut Suartaya, juga dapat ditemukan di Sukawati. Tersebut, seorang penari Joged bernama Ni Wati milik Kerajaan Sukawati yang dijadikan permaisuri (diberi gelar Jero Nyeri) oleh Raja Gianyar, Dewa Manggis VII (1847–1884).
Dalam perkembangannya, kata Suartaya, pada pertengahan abad ke-19 Tari Joged menyebar luas dengan beragam ciri khas (Gudegan, Leko, Adar, Tongkohan, Gandrung). Tari Joged yang pernah dikawal ketat keluarga raja pun tetap bertahan—bahkan hingga kini—dengan sebutan Joged Pingitan dalam pemaknaan sebagai mustika seni tari luhur.
Namun, hari ini, sebagai tarian hiburan yang interaktif, praktik kesenian Joged Bumbung di Bali menjadi hal yang lumrah ditemukan dalam segala acara. Hal tersebut juga diiringi dengan pertumbuhan sekaa Joged di Bali—walaupun hingga saat artikel ini ditulis masih belum ada data statistik yang menyebutkan jumlah pastinya.
Kesenian Joged Bumbung menyebar dengan pesat dan menjadi bagian lekat dengan kegiatan hiburan masyarakat Bali. Selain penyebarannya yang pesat, kesenian Joged Bumbung juga telah banyak bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, tidak sedikit tari kreasi Joged Bumbung yang marak ditemukan di masyarakat.
“Persebaran penari Joged Bumbung di Denpasar cukup tinggi, walau tidak semasif di daerah Badung dan Gianyar,” kata Yoga.
Tetapi, meski persebaran Joged Bumbung di Denpasar cukup tinggi, nyatanya jumlah pertunjukan dan pengibing tidak sebanding dengan persebarannya. Sebagaimana disebutkan oleh I Made Yoga Suputra, permintaan terkait pementasan kesenian Joged cenderung lebih banyak berasal dari luar Kota Denpasar. Menurutnya, Joged Bumbung di Denpasar dihidupkan masyarakat melalui acara-acara tiga bulanan, naur sesangi, ulang tahun STT, dll.
“Kadang malah nggak ada penontonnya sama sekali, berbeda dengan di luar Denpasar. Pertunjukan Joged di luar Denpasar itu selalu penuh dengan penonton, termasuk pengibing,” ungkap Yoga sambil tersenyum getir.
Seperti yang telah dijelaskan Yoga sebelumnya, pengibing di Denpasar cukup sedikit dan cenderung itu-itu saja orangnya. Bahkan, dalam beberapa pertunjukan, walau penari sudah melakukan jemput bola untuk menarik penonton laki-laki, nyatanya hanya sedikit saja yang mau mengibing—bahkan kadang nihil.
Sebagai perbandingan, menurut Ni Luh Meriyanti—atau yang akrab dipanggil Merry Gita—seorang penari Joged Bumbung profesional, di kabupaten lain di Bali jumlah pengibing tidak pernah kekurangan.
“Selama saya melakukan pementasan Joged Bumbung di kabupaten lain, pengibing selalu menunjukkan antusiasme yang tinggi. Tidak seperti saat pentas di Denpasar,” katanya, saat ditemui di rumahnya di Desa Adat Jenah, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Sabtu (22/7/2023) sore.
Perubahan dan Problematika yang Terjadi
Bentuk kesenian Joged telah mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Sebagaimana disebutkan oleh Merry Gita, agem (sikap) Tari Joged kini sudah banyak menggunakan sikap Tari Legong yang cenderung lebih kaku.
Menurut Merry, kini pakem gerakan kesenian Joged ada dua versi. Pertama, pakem gerak asli, di mana agem-ageman-nya (sikap/posturnya) tidak kaku atau lebih lembut. Kedua, pakem gerak legong, yang agem-ageman-nya mengikuti agem Tari Legong yang kaku. Sayangnya, pakem gerak yang kedua cenderung lebih banyak digunakan dibandingkan dengan sikap (agem) aslinya.
“Hal ini disebabkan dari pengaruh ajaran dasar yang umumnya mengajarkan Tari Legong atau Condong. Sehingga, ketika beralih untuk menarikan Joged Bumbung, agem yang seharusnya lebih lembut, jadi kaku, mengikuti kebiasaan agem Tari Legong,” jelas Merry.
Dalam kesenian Joged Bumbung, gerakan tari yang lincah sebagai suatu elemen, menggambarkan perasaan suka/riang/gembira, yang merangsang penonton untuk ikut menari bersama. Selain itu, beberapa gerak dalam kesenian Joged yang lebih tenang menggambarkan suasana sedih.
Merry Gita saat menari Joged | Foto: Dok. Merry
Menurut I. G. A Sugiartha dalam “Innovations of Governance in Balinese Joged Bumbung Dance in the Era Of Globalization” (2018), selain perubahan dalam segi agem, dalam beberapa tahun terakhir, praktik Joged Bumbung juga telah mengalami sejumlah perubahan pada aspek etika dan gerakan pada tari.
Pada awal 2000-an, kancah musik Indonesia dihebohkan dengan munculnya artis dangdut pendatang baru bernama Inul Daratista yang populer dengan goyang ngebor-nya. Eksisnya goyang ngebor di Tanah Air, secara tidak langsung, juga memberi pengaruh pada kesenian tradisional Bali seperti Joged.
Pengaruh popularitas goyang ngebor kemudian diadopsi oleh kesenian Joged di Bali dan melahirkan identitas, bentuk baru, yaitu kesenian Joged ngebor yang vulgar dan erotis. Hal tersebut tentu sudah menjadi isu besar bahwa kini Joged Bumbung kerap ditarikan dengan gerakan erotis dengan pakaian yang tidak seharusnya—pakaian kurang bahan.
Kemunculan kesenian JogedNgebor ini diyakini disebabkan oleh hadirnya perkembangan teknologi audio-visual yang menyebabkan konten-konten dengan unsur pornografi menjadi lebih mudah untuk diakses, ditiru, dan dikonsumsi.
Selain mudahnya akses terhadap konten pornografi, pesepsi sejumlah orang yang menganggap bahwa Joged Ngebormerupakan norma yang wajar-wajar saja juga menjadi legitimasi bentuk baru tersebut. Seperti halnya goyang ngebor yang bebas berkembang dan lolos dari sensor.
Akibatnya, masyarakat penggemar kesenian Joged kini memiliki preferensi yang berbeda. Seperti diungkapkan oleh beberapa seniman Jogeddi Denpasar, pesanan atau permintaan pertunjukan JogedNgebor lebih banyak datang dari luar Kota Denpasar. Tidak hanya preferensi penonton atau pengibing yang berubah, tapi preferensi penarinya juga ikut tergerus.
Tidak bisa dimungkiri bahwa kini terdapat beberapa penari yang lebih menggemari kesenian JogedNgebor daripada Joged Bumbung. Atas perubahan tersebut, tidak sedikit pula ditemukan laki-laki yang bertingkah seperti perempuan (queer) yang menjadi penari Joged.
“Biasanya kaum banci atau bencong ini yang mementaskan Joged Ngebor dengan lebih ‘berani’. Mereka seperti tak tahu malu. Nah, perubahan yang tidak terkendali ini telah membawa citra yang kurang baik terhadap kesenian dan pelaku Joged Bumbung,” ujar Merry, yang menari Joged sejak 2014 itu.
Perubahan yang terjadi tidak berhenti sampai di situ. Aspek tabuhan atau gending Joged sebagai musik pengiring juga mengalami perubahan. Bahkan, kini, gending Joged dapat diakses di internet melalui smartphone.
Kecanggihan teknologi menyebabkan banyak penari Joged tidak lagi menggunakan jasa pengiring musik, mereka bisa pentas sendiri dengan hanya mengandalkan gending yang direkam. Hal ini berakibat lesunya sekaa Joged di Bali.
Sebelum teknologi digital berkembang pesat, sekaa atau sanggar Joged Bumbung di Denpasar memang memegang peranan penting dalam distribusi. Namun, setelah teknologi digital menjalar seperti virus, penari bisa mendistribusikan Joged Bumbung sendiri.
Celakanya, pengguna jasa lebih banyak mengundang penari tanpa penabuh—banyak penari Joged menggunakan MP3, tabuh digital, sebagai pengiring—daripada mengundang Joged Bumbung lengkap dengan penabuh. Seperti Merry, berkat teknologi digital, saat sebelum menikah, ia bisa tampil setiap hari dengan intensitas 10 kali pentas dalam sehari tanpa sekaa.
Distribusi Joged Bumbung lengkap dengan penabuh biasanya lebih banyak pentas di pura atau acara festival seperti Denpasar Festival (Denfes) atau Pesta Kesenian Bali (PKB). Meskipun masih ada masyarakat yang mengundang Joged Bumbung lengkap dengan penabuhnya, tapi jumlahnya tidak banyak.
Kondisi ini membuat distribusi kesenian Joged Bumbung menjadi timpang. Pada saat penari Joged tumbuh di mana-mana, penabuh Joged justru mengalami penurunan. Artinya, kenaikan jumlah penari tak sebanding dengan kenaikan jumlah penabuh iringan Joged Bumbung.
Akibatnya, jumlah sekaa yang bertahan tinggal sedikit karena kalah saing dengan tabuh digital dan pendistribusian kesenian Joged Bumbung menjadi tidak lengkap. Dengan begitu, pendistribusian nilai-nilai yang terkandung dalam Joged Bumbung tak lagi menjadi persoalan penting.
Hal di atas yang menjadi kekhawatiran I Made Yoga Suputra. Saat diwawancarai, dia menyesalkan Joged Bumbung yang menggunakan iringan kaset, MP3, sebab itu menjadikan sekaa yang menggunakan gamelan asli kalah saing karena harga sekali pentas lebih mahal daripada mengundang penari tanpa penabuh.
“Kalau menari Joged tanpa penabuh pendapatannya kan diambil sendiri. Tapi kalau pentas sama penabuh atau lewat sekaa, honornya dibagi-bagi. Dan biasanya, masyarakat itu lebih banyak mengundang penari aja, tanpa penabuh, soalnya tarifnya lebih terjangkau,” kata Merry menjelaskan.
Padahal, sebagaimana telah disampaikan Merry Gita, distribusi kesenian Joged Bumbung pada awalnya dimulai dari sekaa (kelompok) atau sanggar Joged Bumbung—yang mengorbitkan penari, entah saat pentas (ngayah) di pura, festival, perlombaan, maupun di acara masyarakat.
Merry Gita sendiri dikenal pada saat pentas di Parade Joged Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2014. Merry mengaku, dari tahun 2014 sampai 2022 dirinya selalu pentas di PKB. Sejak saat itulah, nama Merry Gita dikenal masyarakat luas dan kebanjiran undangan pentas.
Sampai di sini, pemerintah, sekaa, atau sanggar bisa dikatakan menempati posisi penting dalam proses distribusi Joged Bumbung. Hal tersebut dibenarkan oleh I Made Yoga Suputra yang mengatakan bahwa banyak penari Joged Bumbung memang lahir dari sekaa atau sanggar.
Namun, meski lebih banyak mendapatkan honor, menurut pengakuan Merry, menjadi penari Joged tanpa sekaa sebenarnya cukup membahayakan, rawan—terlalu banyak risiko untuk dilecehkan, katanya. Biasanya, karena penari hanya datang sendiri, banyak pengibing yang akhirnya semena-mena memperlakukan penari. “Biasanya pengibing lebih berani kalau kami datang tanpa membawa teman atau kelompok penabuh,” ujarnya.
Meski kondisinya demikian, sejauh ini, Joged Bumbung—khususnya dari Denpasar—sudah dipentaskan di seluruh Bali melalui Sekaa Joged Bumbung Gita Semara. Bahkan, I Made Yoga Suputra mengatakan, pada tahun 2000-an sekaa-nya pernah tampil di TIM, Jakarta.
Menurutnya, Joged Bumbung Gita Semara selalu dinanti karena masih sarat akan nilai-nilai tradisi—walaupun ada beberapa instrumen tambahan seperti simbal, itu pun berfungsi sebatas untuk meramaikan penampilan—tidak sampai erotis. Namun, meski begitu, Yoga mengatakan bahwa di Denpasar Joged Bumbung tidak begitu diminati seperti di Tabanan, misalnya.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole