PROGRAM Modul Nusantara merupakan bagian dari Kemendikbud dalam bentuk program Pertukaran Mahasiswa Merdeka. Program ini bertujuan untuk mempererat komunikasi antar mahasiswa se Nusantara. Melalui mekanisme pendafataran dan seleksi di perguruan tinggi asalnya, mahasiswa yang dikatagorikan lolos akan mengikuti program Modul Nusantara di perguruan tinggi penerima.
Selama satu semester mahasiswa mengikuti kegiatan perkuliahan dan Program Modul Nusantara berupa 16 aktivitas yang terdiri dari 8 aktivitas kebhinekaan; 2 aktivitas inspirasi; 5 aktivitas refleksi; 1 kali aktivitas kontribusi sosial. Aktivitas inspirasi yang berkesan dilakukan oleh mahasiswa Modul Nusantara di Undiksha adalah ketika mereka dilatihkan oleh wartawan kawakan Bali Utara – Made Adnyana Ole.
Pertemuan di Yayasan Mahima bertemu Mas Ole bukan hanya membukakan wawasan mahasiswa Modul Nusantara tentang tip menjadi penulis, sekaligus membuka cakrawala mahasiswa tentang potret hiterogennya masyarakat Bali Utara yang secara historis dikenal sebagai daerah yang sangat terbuka menerima kehadiran orang luar Bali yang akhirnya terbentuk sebagai masyarakat yang unik dalam menjalin interaksinya dalam payung harmoni.
Universitas Pendidikan Ganesha di tahun 2024 kedatangan mahasiswa peserta Modul Nusantara yang ke IV. Mereka datang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, bertujuan menjalin talisilahturami antar mahasiswa se Indonesia, sembari belajar mengeksplorasi jejak-jejak kebhinekaan yang diadakan perguruan tinggi penerima, dipertemukan dengan tokoh-tokoh inspiratif, belajar melakukan refleksi atas apa yang sudah ditemukan di lapangan, dan merancang aksi kontribusi sosial.
Dilihat dari konteks penyiapan mahasiswa yang berkuliatas dibawah spirit Nusantara, program ini ibarat paket lengkap yang bukan hanya menyiapkan generasi yang punya takaran intelektualitas bidang keilmuan yang memadai, tetapi lebih jauh dari itu melatih mahasiswa menata sikap dan keterampilan sosial dan budayanya.
Pengamatan sebagai pendamping mahasiswa modul nusantara menemukan satu fakta bahwa mahasiswa yang mengikuti program ini sangat mudah cair satu sama lainnya walaupun mereka berasal dari etnis, agama dan kultur yang berbeda satu sama lainnya. Tidak ada konflik yang mereka warisi selama berkegiatan di Undiksha, sampai menjelang berakhirnya program ini pertengahan bulan Juli 2024.
Salah satu kelompok mahasiswa Modul Nusantara di Undiksha yang sedang berkegiatan adalah Kelompok Yudistira yang keanggotaannya terdiri dari 26 orang mahasiswa yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Selama berkegiatan di Undiksha mereka sangat kompak, saling support, saling berbagi mensukseskan program di kelompoknya. Puncak atas kekompakkan mereka tampak dari kegiatan kontribusi sosial yang mereka lakukan di Desa Batukaang Bangli.
Memasuki wilayah banjar adat Batukaang melalui Desa Catur, Kintamani, Bangli, udara sejuk sepanjang perjalanan dan perkebunan jeruk dengan buah yang mulai menguning menjadi pemandangan di sana sininya. Hal ini, berbeda dengan anggapan awal saya bahwa desa ini sesuai namanya Batukaang yang identik dengan kawasan berbatu dan gersang. Ternyata, sejauh mata memandang kebun-kebun penduduk bukannya dipenuhi batu karang, namun dipadatkan dengan tanaman kopi, jeruk, labu dan tanaman produktif lainnya.
Kesan selanjutnya saat memasuki pusat desa situasi sunyi senyap, lebih tepatnya penuh ketenangan. Tak dinyana, di tengah-tengah suasana sunyi dan tenang ternyata ada jiwa-jiwa yang bergemuruh lewat wajah teduh, lugu dan keceraiaan anak-anak desa Batukaang disaat mereka dipertemukan dengan mahasiswa Modul Nusantara Undiksha generasi ke IV. Tangkapan layar saya sebagai orang tua diajarkan untuk menangkap makna keluguan dan keceriaan mereka.
Di tanah lapang yang kebetulan berkedekatan dengan posko mahasiswa, mereka tampak leluasa wara wiri dan ngobrol dengan mahasiswa dengan ekpresi semangat yang haus pengetahuan. Mahasiswa pun merasa senang melayani kehadiran anak-anak desa Batukaang, karena salah satu tujuan mereka datang yach untuk “memberi” sesuatu kepada anak-anak.
Kehadiran mereka posko ditangkap sebagai keberterimaan anak-anak atas kehadiran mereka. Setelah puas atas jawaban mahasiswa, anak-anak kembali ke dunia asal mereka. Berlarian, bermain layangan, bermain sepeda menjadi potret selanjutnya dari anak-anak Batukaang. Mereka menikmati saat bermain tanpa ancaman sedikit pun. Setelah puas bermain saya kenali mereka lebih jauh. Berawal dari pertanyaan: “Apa saja yang mereka pelajari di sekolah” ? Anak-anak perempuan yang dikenal dengan Triani; Ririn dan Febi, anak-anak yang saat ini sedang duduk di SD Kls 3 dan 4 menjawab serentak : Bernyanyi, Menggambar, Bahasa Indonesia, Matematika. Setidaknya itu yang mereka sebut.
Saya terpana, saat mereka diminta menyanyikan lagu yang biasa dilagukan ketika belajar di sekolah. Syair yang dilagukan berasal dari lagu Di Sini Senang, Di sana Senang yang memang sudah sangat akrab di telinga anak-anak Indonesia pada umumnya. Namun di Batukaang, melalui asuhan Ibu Guru Handayani yang bertugas sebagai guru SD di desa Batukaang telah berhasil memberikan perenungan kritis tentang arti pentingnya membangun perdamaian.
Gambar : 01: Ririn dan Triani Semangat Menyanyikan Lagu Di Sini Teman, Di Sana Teman | Dokumentasi: Sendratari, Batukaang, Juni 2024
Saat bernyanyi, kedua anak ini yang sedang duduk di bangku kelas IV sangat bersemangat mendendangkan syair berikut ini.
Di sini teman,
Di sana teman,
Di mana-mana kita berteman
Tak ada lawan
Tak ada musuh
Semuanya saling menyayangi
Ref. 2 X
Tidak ejek-ejekan
Tidak pukul-pukulan
Saling tolong dan sayang dengan teman
Syair aslinya yang berjudul Di sini senang, Di sana Senang, lebih ditujukan untuk membangkitkan semangat secara individual. Berbeda halnya tatkala syair nya diubah kearah tujuan membangun jiwa-jiwa sosial yang mengedepankan arti sebuah pertemanan. Lagu ini digaungkan oleh anak-anak di kawasan yang tergolong jauh dari hiruk pikuknya dunia hiburan yang sarat dengan gaya hidup hedonis yang akan sanggup meninabobokkan anak-anak dari situasi kenikmatan dunia.
Apa yang didendangkan anak-anak di Desa Batukaang adalah salah satu contoh potret dunia anak yang didambakan oleh banyak pihak di banyak tempat. Atau dunia anak-anak yang polos, jujur dan mudah menyalurkan rasa sayang dengan sesama. Dunia yang emoh kekerasan. Ibarat sebuah mimpi, ternyata hal itu, ada pada dunia anak-anak. Menariknya, pada saat menyanyikan ref nya, merek aperagakan dengan saling berpegangan tangan untuk memastikan bahwa mereka sanggup saling menyayangi.
Gambar 02: Senyum Tulus Ririn, Febi dan Triani Mewakili Arti Pertemanan | Dokumentasi: Sendratari, Batukaang, Juni 2024
Tanpa mereka sadari, apa yang mereka tunjukkan menguatkan keyakinan saya bahwa sangatlah penting meletakkan dasar-dasar yang kuat pada anak-anak tentang pentingnya menanamkan arti harmoni di tengah masyarakat yang berbhineka.
Walaupun hanya bertemu 1 – 2 jam, senyum tulusnya telah sanggup membangun kekaguman saya tentang cara mereka menjaga keceriaan yang bukan hanya menghibur, namun ketulusan mereka berteman telah mampu menohok kesadaran saya sebagai orang dewasa yang terkadang tidak bisa melepas sikap egois terhadap teman. Ternyata, belajar dari dunia anak-anak membuka ruang kesadaran tentang apa artinya harmoni.
Rasa kagum saya tidak berhenti dari syair yang mereka dendangkan, ternyata berlanjut di saat mereka diberikan tantangan menggambar di atas pot gerabah tentang potensi desanya. Melalui bantuan mahasiswa modul nusantara – Nala dan Okta – keduanya adalah calon guru SD (mhs PGSD) disiapkan alat melukis di atas pot gerabah – mereka mulai melukis. Anak laki-laki yang semula sibuk bermain sepeda dan main layang-layang, akhirnya tertarik bergabung dengan anak-anak perempuan untuk melukis.
Gambar 03: Mbak Nala sedang Menyiapkan Alat Melukis; Anak Laki-laki dan Perempuan Bersiap-siap Melukis | Dokumentasi : Sendratari, Batukaang, Juni 2024
Sebelum melukis mereka diberikan clue agar melukis jenis hasil perkebunan yang ada di desa Batukaang. Konsentrasi mereka pada produksi jeruk, buah kopi dan buah strawberry. Ketiganya mereka sangat kenal dan mereka tuangkan ke dalam lukisan di atas gerabah. Semangat awal mereka sudah tampak lewat langkah mencampur warna agar menghasilkan warna yang sesuai dengan buah yang akan mereka lukis. Keterampilan mencampur warna dilatihkan melalui mbak Nala, dan mereka sangat antusias atas pengalaman baru ini.
Melalui alat seadanya yakni lidi sebagai pengganti kwas, bahkan mereka menggunakan tangannya saat melukis. Dalam hitungan waktu yang tidak lama, anak-anak ini telah berhasil menorehkan identitas desanya melalui karya seni. Lukisan mereka memang bukan karya yang hebat, tampak objeknya hal yang biasa, bersifat keseharian.
Namun, cara mereka menempatkan pentingnya menjaga pengetahuan tentang hasil bumi di desanya itu poin penting yang mungkin tidak bisa disamakan dengan lukisan kelas dunia. Sikap mereka, antusias mereka yang masih tergolong anak-anak sudah bisa menemukan cara menghargai tumbuhan yang ada di sekitar mereka adalah sesuatu yang patut dihargai. Lagi-lagi, saya haru mengakui bahwa cara anak Batukaang menghargai apa yang ada di desanya merupakan embrio kader pembangunan desa yang berakar pada bumi yang dipijaknya. [T]
Gambar 04: Hasil karya Anak-anak Batukaang yang Menggambarkan Potensi Desanya | Dokumentasi : Sendratari, Batukaang, Juni 2024
- BACA artikel lain dari penulisLUH PUTU SENDRATARI