We can draw our breath once more
Freely and full
And human life, as quite, at our feet
Manusia memiliki satu naluri, yaitu untuk mengada (being). Namun, pada suatu saat nanti, kita akan mati. Bagian-bagian tubuh kita yang merupakan ciri kehidupan akan tanggal dan kita menjadi-tiada. Manusia, karena memiliki kesadaran yang terarah keluar, dapat memahami aku-yang-mengada dan aku-yang-akan-menjadi-tiada – dan merasa menjadi “terkutuk” karenanya.
Untungnya, masih ada pilihan-pilihan jalan keluar dari keniscayaan yang menakutkan ini. Walaupun pada akhirnya “aku” akan lebur ke dalam tiada, tetapi sementara “aku” masih “ada”, “aku” masih memiliki potensi-potensi yang dapat kugunakan untuk mempertanggungjawabkan keber-ada-anku.
Salah satu pilihan jalan keluar yang paling masuk akal adalah seni – jika bukan agama. Melalui seni, sang seniman mendayagunakan seluruh potensi kemanusiaannya – sebuah keadaan ideal yang disebut sebagai “aktualisasi diri”. Melalui seni, sang seniman mampu menanggung kesunyian dan kemuraman yang muncul sebagai akibat tak terelakkan dari keber-ada-an.
Melalui seni, sang seniman juga sekaligus mempertanggungjawabkan keber-ada-annya. Sang seniman, dengan cipta-rasa-karsa yang khas manusia, sanggup membuktikan tanggung jawabnya bahkan dengan cara yang bisa kita akan saksikan bersama mulai malam ini selama tiga hari berturut-turut, membuka penyekat batas lebar-lebar, bernafas bebas, dan mendalami keber-ada-annya.
Untuk itu acara ini menjadi penting.
Ketika dalam proses perumusan tema festival ini, kami mencoba menelusuri persoalan-persoalan yang ada di sekitar ekosistem seni, khususnya dunia musik karawitan Bali. Sampai kami menemukan beberapa catatan sejarah karawitan Bali, bahwa begitu sedikit komponis perempuan di Bali. Jika pun ada, perempuan biasanya hanya tampil sebagai sekeha tabuh saja. Maka, program ini menjadi penting artinya dalam rangka menstimulasi sekaligus merefleksikan capaian kontemporer segenap komponis perempuan Bali. Boleh jadi, ini merupakan program pertama kalinya dalam sejarah kerawitan Bali yang khusus menampilkan karya komponis perempuan.
Pada gelar pelaksanaannya, Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram akan mengedepankan karya-karya para komponis perempuan. Festival ini akan menyibak segenap isu tentang ke-perempuan-an di dalam dan di luar dunia musik. Festival akan digelar selama tiga hari ini, salah satunya akan menampilkan gong mebarung serta narasi tentang gamelan kebyar di Bali Utara, yang—secara geografis—letaknya begitu jauh dengan bandara dan pusat kota di Bali Selatan.
Acara Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram diselenggarakan oleh Sanggar Gamelan Wrdhi Cwaram di bawah naungan Yayasan Suara Asia Pasifik. Perlu saya perkenalkan juga pada kawan-kawan semua, Yayasan Suara Asia Pasifik merupakan sebuah lembaga yang dikelola secara swadiaya sejak tahun 2003 oleh Bapak Wayan Gde Yudane untuk mendorong pengembangan praktik artistik para seniman pertunjukan, khususnya di bidang musik eksperimental dan gamelan kontemporer. Yayasan Suara Asia Pasifik, membina sejumlah kelompok, ruang, dan platform seni, diantaranya adalah (1) Kubu Art Space sebagai ruang kreatif seniman yang terletak di Ubud; (2) Roras Ensemble yang merupakan kelompok ansambel musik; dan (3) Sanggar Gamelan Wrdhi Cwaram.
Acara ini didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi serta LPDP Kemenkeu RI melalui platform Dana Indonesiana kategori Penciptaan Karya Kreatif Inovatif. Serta berkolaborasi dengan lembaga yakni Mulawali Institute, Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya Br. Paketan, Sanggar Seni Wahana Santhi, Bumi Bajra, Sanggar Seni Citta Usadhi, Sanggar Seni Palwaswari, Sekaa Black Kobra, STAHN Mpu Kuturan, Tatkala.co, Sanggar Sembroli, Sanggar Lemah Tulis, Kelompok Sekali Pentas, Jelana Creative Movement, Napak Tuju dan Citranala Records. Untuk itu izinkan saya untuk berterima kasih pada segala pihak yang mendukung acara ini.
Tentu di dalam penyelenggaraan festival ini kami berharap sekat-sekat yang selama ini menjadi bayang-bayang di dalam dan di luar musik, bisa berubah menjadi lanskap yang lebih terbuka, di mana musik dan komponisnya sama-sama bisa bernapas bebas.
Saya perempuan dan tidak ada yang Istimewa karena itu. Kalaupun ada, maka saya merasa istimewa karena saya bisa berdaya dengan menulis puisi. Dan sebagai penutup, saya akan membacakan nukilan puisi saya ini.
Timur dan Barat bersatu dalam diriku.
Tetapi yang manakah Timur sebenarnya
Dan yang manakah Barat sebenarnya?
Segalanya membaur dan mengabur.
Satu kakiku menapak bilah-bilah pelog dan slendro
Dan kakiku yang lain bertumpu
Pada biola, piano, dan cello.
Tetapi ketika penabuh gamelan dalam diriku
Mulai mengayunkan tangannya, yang kudengar
Tetap juga kemeriahan kebyar.
Barangkali seluruh nada dan irama dunia
Kelak akan hadir seluruhnya
Di bale-bale bengong
Sebagai sunyi semata-mata.
Salam,
Pranita Dewi
- Artikel ini adalah sambutan dari Pranita Dewi selaku Manajer Sanggar Wrdhi Cwaram yang dibacakan pada Pembukaan Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya Singaraja, 31 Mei 2024.