Air dalam Peradaban Bali[1]
Pulau Bali tergolong pulau kecil semestinya tidak menghadapi masalah air. Mudah-mudahan tidak apalagi World Water Forum 2024 sudah dilaksanakan di Bali. Diharapkan momen penting ini memberikan semangat bersama mengelola air lebih baik lagi. Me-manage Bali yang relatif kecil secara kewilayahan semestinya tidak begitu sulit dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain atau negara-negara yang wilayahnya luas. Di sini infra struktur, sistem informasi, tingkat pendidikan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah bagus.
Di pulau ini secara tipografi wilayah tergolong lengkap: di sini ada gunung / pegunungan, hutan, sawah, tegalan, perkebunan, danau, bendungan, mata-mata air lain, sungai, biota, fauna, manusia kreatif, desa-desa, kota, pantai, dan laut. Pulau Bali termasuk dangkalan Sunda sehingga secara etnis, bahasa, biota, dan fauna lebih dekat ke wilayah Barat.
Selat Lombok memisahkan pulau Bali dan Lombok merupakan laut yang dalam membentang ke Utara hingga ke kepulauan Filipina. Di tanah yang tipografinya seperti ini berdiam manusia Bali yang dianugrahi kemampuan cita, rasa dan karsa yang tinggi melahirkan peradaban besar, suatu peradaban yang inklusif, menghargai kebhinekaan, menerima hal-hal terbaik dari luar, mengembangkan keberaksaraan, dan kerja keras.
Dari kesusastraan babad, ternyata orang-orang suci di Jawa sejak zaman Jawa Kuno banyak berkunjung bahkan menetap dan mencari pembebasan di Bali. Di era moderen, banyak pengunjung datang ke Bali untuk merasakan nuansa yang berbeda; tak jarang banyak yang datang ke Bali berkali-kali. Ini artinya pulau ini mempunyai arti tersendiri di dalam dunia spiritual.
Setelah masyarakat bersama pemerintah membangun sejak pasca kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang Bali sudah ada indikasi Bali mengalami masalah air. Ini berarti ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pembangunan tersebut. Jika musim hujan menjadi kelebihan air, seperti terjadi banjir, jika musim kemarau, mengalami kekeringan, walaupun belum suluruh Bali mengalaminya.
Banyak subak tidak berjalan lagi seperti biasanya ; banyak pura subak yang harus di-pralina karena tidak ada lagi pe-nyungsung-nya; banyak wilayah jalur hijau yang tidak utuh lagi. Sebaliknya banyak pura melanting dibuat baru karena banyak pasar dibangun terutama di wilayah-wilayah pemukiman.
Mengapa air masyarakat Bali menghadapi persoalan air? Bagaimana manusia Bali memandang air? Apa peranan air di dalam kehidupan? Bagaimana menejemen air untuk keberlangsungan peradaban ini? Masih banyak lagi pertanyaan bisa diangkat berkisaran pada air, seperti kualitas, debit, pemanfaatan, distribusi, manajemen, teknologi air, dan sebagainya.
Topik ini selalu konteksual dibicarakan karena persoalan ini sangat penting; dan diharapkan mendapat perhatian terutama dari pemegang kebijakan, pengusaha, industri, desa adat, subak, akademisi, LSM, dan masyarakat luas.
Masalah Air
Manusia semakin hari menghadapi masalah air terutama di daerah perkotaan. Ketika sektor industri dan jasa belum berkembang, manusia Bali masih merasa aman-aman saja, tidak merasa risau dengan air. Air ada di sekitarnya; mudah mendapatkannya, apalalagi memperhatikan air hujan. Anak-anak biasa berenang atau bermain di sumber-sumber air. Namun sekarang sejak industri berkembang pemanfaatan air begitu meningkat tajam. Air dikemas demikian rupa menjadi bernilai ekonomis tinggi mendekati harga minyak.
Di Bali industri pariwisata nyedot banyak sekali air tawar. Banyak subak sulit mendapatkan air bahkan kering karena harus berebut air dengan perusahaan air atau perusahaan minuman air. Bahkan ada sejumlah hotel di kawasan Nusa Dua menggunakan air laut setelah melalui proses pemurnian. Tentu teknologi ini mahal.
Menurut hasil-hasil penelitian di bidang ini, satu orang tamu diperkirakan menghabiskan lebih dari 3000 liter per hari (https://blogs.ntu.edu.sg/hp331-2015-20/water-resources), termasuk kebutuhan kolam renang, laundry, dapur, taman, dan sebagainya (lihat tabel pada halaman berikut). Air sudah menjadi masalah global, seperti mulai berkurangnya debit air, distribusi air yang tidak merata, mahalnya harga air, teknologi air yang mahal, kemurnian air mulai terganggu, pencemaran air, dan sebagainya.
Di wilayah provinsi Bali sendiri air sudah menjadi persoalan yang nyata. Sektor pariwisata yang sejak lama menjadi “anak mas” mendapat perhatian yang tinggi sehingga kurang pemikiran dicurahkan bagaimana kelangsungan air dan peradaban Bali ke depan. Subak-subak sepertinya tidak berdaya “melawan” perusahaan air yang mengalirkan airnya ke kawasan-kawasan pariwisata, seperti Sanur, Denpasar, Nusa Dua, Pecatu, Bukit Jimbaran, Kuta, dan sebagainya. Juga tidak bisa berbuat banyak membendung derasnya alih fungsi lahan pertanian; sementara subak sudah dinyatakan sebagai waisan dunia.
Ironis memang para tamu bisa menikmati air dengan nyamannya—karena mereka membayar— sementara penduduk Bali masih ada yang sulit mendapatkan air. Sepertinya semuanya terkesima dengan pamasukan devisa yang tinggi dari sektor pariwisata. Mereka kurang memikirkan bagaimana kalau kesejehteraan Bali meningkat namun sulit mendapatkan air. Dulu ketika dunia pariwisata mulai dibangun, air tidak begitu menjadi perhatian. Perhatian pokok bagaimana meningkatkan devisa. Euforia pariwisata mengalahkan yang lain. Air sepertinya waktu itu bukan masalah. Masalahnya hanya memindahkan air dari daerah yang surplus air ke kantong-kantong pariwisata dan pemukiman penduduk. Pipanisasi sumber-sumber air di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung dan sebagainya berjalan mulus, tanpa adanya rintangan.
Namun sekarang air bukan lagi masalah distribusi melainkan debit air yang semakin menurun. Banyak sungai sudah menurun debitnya bahkan kering. Banyak wilayah aliran sungai sudah berubah menjadi pemukiman atau tegalan karena airnya tidak lagi ada. Tidak hanya itu filtrasi air laut ke wilayah bawah tanah di Denpasar sudah menghawatirkan. Salah satu penyebabnya adalah semakin banyak adanya sumur-sumur bor yang menguras kandungan air di bawah tanah.
Kalau sekarang membicarakan air, perlu ada kesadaran kolektif bahwa air lambat laun, karena persediaan terbatas, akan menjadi bencana kamanusiaan. Ketika hal itu terjadi kebudayaan apa saja akan mandeg dan lama-kelamaan hancur atau hilang. Ketika alih fungsi lahan terus meningkat, pohon-pohon semakin sedikit, hutan lindung menjadi berkurang, penggunaan air begitu masif, apa yang harus diperbuat?
Kebudayaan Air
Air mempunyai peranan yang sangat besar di dalam hampir setiap kebudayaan. Peradaban-peradaban besar dunia lahir di wilayah-wilayah dekat dengan air. Beberapa contoh seperti peradaban Mohenjo Daro dan Harappa di lembah sungai Sindhu di Pakistan sekarang. Wilayah-wilayah di sepanjang aliran sungai-sungai dikenal dengan Sapta Sindhu: Gangga, Saraswati, Yamuna, Godhawari, dst. merupakan tempat dimana perabadaban Weda berkembang di India.
Demikian juga halnya dengan peradaban Mesir Kuno di dengat sungai Nil, peradaban Mesopotamia di dekat sungai Ufrat dan Tigris di Irak, dan sebagainya. Kerajaan besar Majapahit di dekat sungai Brantas, di Jawa Timur, Kerajaan Kutai di sungai Mahakam di Kalimantan, Kerajaan Sriwijaya di dekat sungai Musi di Sumatra, dan sebagainya. Di Bali sendiri kerajaan-kerajaan Singhamandawa pada zaman Bali Kuno diperkirakana juga di dekat sungai, pada aliran sungai-sungai seperti Pakerisan, dan sebagai ditemukan banyak situs yang menunjukkan kemajuan kebudayaan. Kerajaan-kerajaan pada Bali Madya, seperti Samplangan dan Gelgel, dan sebagainya lokasinya dekat dengan sungai atau laut. Di wilayah-wilayah tersebut ditemukan bekas-bekas pemukiman, benda-benda arkeologis dan tradisi yang memperlihatkan kemajuan kebudayaan manusia.
Air menjadi media kebudayaan Bali dibangun dan berkembang. Pada pusat-pusat atau sentra aktivitas kebudayaan pastilah ada pusat-pusat air, seperti klebutan, pancoran, dan sebagainya. Pemilihan tempat yang akan dijadikan istana pada zaman silam pastilah memperhitungkan sumber-sumber air. Istana-istana, puri atau gerya biasanya dibangun dekat dengan sumber-sumber air. Istana penguasa dilengkapi dengan taman dimana unsur air menjadi sangat penting. Taman Ayun di Mengwi, Taman Begenda di Gelgel, Taman Tirta Gangga dan Taman Sukasada, Ujung di Karangsem, Taman Bali di Bangli, dan sebagainya membuktikan istana dilengkapi dengan sumber-sumber air. Air juga menjadi jiwa berkembangnya kebudayaan.
Banyak kisah atau ungkapan mengambil bentuk dan sifat air. Etimologi air pun banyak ditemukan, seperti yeh, toya, tirtha, odaka, wangsuh pada, kakuluh, banyun cokor, dsb. Keadaan atau bentuk air itu sendri juga mempunyai banyak istilah seperti yeh mumbul, pancoran, suwukan, klebutan, bebengan, empelan, semer, dsb. Tirtha sebagai air suci juga banyak jenisnya, seperti tirtha pengkukatan, tirtha pengentas, tirtha caru, dan masih banyak lagi.
Hal-hal tersebut memperlihatkan air menjadi mejadi bagian integral di dalam kehidupan manusia.
Sagara-Giri: Waterscapes
Sejak dulu manusia Bali memberikan perhatian yang tinggi kepada dua tempat ini, yaitu laut (sagara/pasir) dan gunung (giri/ukir)[2]. Dari pemahaman atas kedua tempat ini manajemen air dilakukan. Manajemen Sagara-Giri merupakan kearifan lokal manusia Bali di dalam memahami dan menggunakan air di dalam kehidupan baik sekuler maupun spiritual. Dua tempat ini telah menjadi kiblat di dalam kehidupaan agama dan budaya Bali. Gunung seperti Kailasha di India dipandang sebagai puncaknya dunia dimana bersemayam para dewa. Dalam konteks Bali, pada gunung tertinggi dan dipandang sebagai tengah-tengahnya dunia di sana dibangun pura, yaitu Pura Besakih. Dari sini diteruskan membangun pura-pura sesuai dengan kosmologi Hindu berpaham Siwa Tattwa.
Ketika di gunung dilakukan upacara besar dalam konteks Karya Agung Eka Dasa Rudra yang dilakukan setiap seratus tahun sekali, di laut dan di danau pun dibangun upacara besar, berupa Upacara Candi Narmada (yaitu di Danau Batur dan Segara Klotok). Bahan-bahan upacara yajna (dalam konteks Eka Dasa Rudra) tidak hanya berasal dari hutan / gunung, namun juga dari sawah dan laut. Gunung dipandang sebagai Lingga, sedangkan laut atau danau sebagai Yoni; dua konsep kerohanian yang sangat mendasar dalam ajaran Siwa Tattwa.
Pertemuan Lingga dan Yoni melahirkan kehidupan dan kebahagiaan. Keduanya dianggap tempat suci dan disucikan baik melalui tindakan tidak merusak keduanya maupun secara ritual (yajna). Ada sejumlah desa pakraman yang secara eksplisit memberikan perlindungan kepada ekosistem lingkungan. Secara ritual dikenal adanya upacara Danu Kirthi (untuk menyuciakan danau atau mata air) dan Sagara Kirthi (untuk menyucikan laut) yang dilakukan menurut perhitungan tertentu—bagian dari Sad Kirthi. Upacara Candi Narmada dalam rangkaian Karya Agung Eka Dasa Rudra di Pura Besakih juga mempunyai makna penyucian air di danau dan di laut. Keduanya ini pada dasarnya untuk air, karena air sebagai katalisator kehidupan.
Ketika wilayah-wilayah ini terganggu kesuciannya, tanda-tanda “gumi panes” muncul dan dirasakan oleh masyarakat; para pemuka atau tokoh agama mulai melihat sastra untuk melakukan penyucian secara niskala. Ketika danau-danau dan laut-laut di Bali tercemar dampaknya akan sangat meluas termasuk pelaksanaan agama Hindu. Di wilayah pegunungan bisanya terdapat hutan (wana) atau kawasan hijau, seperti aliran sungai, semak-semak, perkebunan atau persawahan. Di wilayah pantai juga kawasan hijau, di sana ada hutan bakau, semak-semak, pandan, kelapa, dan sebagainya. Ketika industri pariwisata sudah menjamah wilayah-wilayah ini, keasrian, kesucian, dan keaslian menjadi rentan dengan pencemaran, apalagi risk management di bidang ini belum dilaksanakan dengan baik. Pikiran umum manusia Bali apalagi pelaku pariwisata bahwa wisatawan datang membawa dollar.
Dari sini mereka berpikiran kreatif untuk mengkemas apa saja agar manjadi bernilai ekonomis. Mereka lupa di samping dollar mereka juga membawa dampak-dampak negatif baik bersifat sakala maupun niskala. Pariwisata sebagai ilmu atau kajian maupun sebagai bisnis tidak mempunyai cara atau metode bahkan filosofi untuk meminimalkan atau menghilangkan leteh secara sakala maupun niskala. Pemerintah mentargetkan berjuta-juta wisatawan ke Bali, namun tidak mentargetkan bagaimana meng-handle kesucian pulau ini.
Ketika wisatawan berkunjung memasuki sebuah pura siapa yang menjamin kesucian tubuh dan pikiran mereka terjaga, walaupun di depan pura sudah ada larangan apabila sedang datang bulan atau cuntaka bagi wanita tidak diperkenankan memasuki pura; belum menghitung yang tergolong cuntaka kematian, dan sebagainya. Dua kali ledakan bom di Bali yang tidak pernah kita harapkan telah terjadi, secara niskala boleh dipandang sebagai peringatan agar manusia Bali tidak melupakan kesucian lahir bathin di dalam berbisnis pariwisata.
Banyak kesusastraan mendapat inspirasi dari kedua tempat ini. Misalnya di dalam teks Kakawin Nitisastra (I:10)[3] menyebutkan bahwa hutan menjaga singa, demikian juga singa menjaga hutan. Jika salah satu saja tidak berperan maka rusak semuanya. Ketika tidak ada hutan singa akan masuk ke wilayah pemukiman dan bisa dibunuh oleh manusia. Demikian pula jika hutan tidak ada yang menjaga, orang akan seenaknya memasuki hutan atau merusak hutan. Di sini ada hubungan mutualisme, “take and give”. Banyak karya sastra bertemakan gunung dan laut. Demikian juga karya-karya seni pahat, patung, tari, teater, wayang, tabuh, seni suara, dan sebagainya mendapat inspirasi dari gunung dan laut.
Di kedua tempat ini ada kehidupan, kompleksitas, dan juga simplisitas. Di sana ada keramaian dan juga kesepian, tergantung bagaimana seseorang memandangnya. Jika arus peredaran air diperhatikan ternyata ada siklus yang berkesimbungan antara laut, gunung, matahari, angin, dan sebagainya. Yang menarik betapa pun banyaknya ada aliran sungai ke laut, laut tidak pernah penuh. Air laut melalui proses penguapan karena panas matahari berubah menjadi mendung akibat hembusan angin dan akhirnya menjadi hujan turun di daratan.
Hutan-hutan biasanya ada di ketinggian atau pegunungan menahan air, sehingga tidak ada banjir, tanah longsor sehingga distribusi air menjadi terkendali, teratur bisa dimanfaatkan oleh manusia terutama di musim kemarau. Hutan atau wilayah hijau menjadi wilayah penahan dan resapan air. Banyak bencana banjir atau tanah longsor terjadi karena air tidak bisa ditahan disamping kondisi tanah memang labil. Tanah-tanah yang gundul atau tanah yang tertutup oleh beton, aspal dan sejenisnya tidak bisa menahan air ketika hujan tiba.
Ketika hujan tiba jalan-jalan aspal malah menjadi aliran air, karena got penuh atau tersumbat. Konsep pemukiman orang Bali dikenal dengan desa adat memberikan ruang yang lebar kepada penyerapan air sehingga banjir bisa ditanggulangi. Di dalam konsep Tri Angga disebutkan Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Ketiganya merupakan tempat terbuka yang bisa menahan atau meresap air. Apalagi Palemahan tempat perkebunan atau jamban merupakan tempat terbuka yang ramah dengan air. Namun sekarang banyak pekarangan atau natar rumah atau pura dibeton sehingga resapannya sulit terjadi.
Pasar: Titik Temu
Dengan memahami waterscapes di Bali, pemahaman bisa dilakukan lebih lanjut di bidang sosial dan budaya. Hasil atau produk dari kedua tempat ini ternyata bertemu di pasar. Manusia Bali yang hidup di pesisir dan pegunungan bertemu di pasar. Pasar baik berlokasi di kota-kota maupun desa-desa menjadi perjumpaan dua budaya bahari dan pegunungan. Pasar mencerminkan isi pesisir dan pegunungan. Penduduk dari wilayah pegunungan perlu garam atau ikan asin berasal dari wilayah pesisir.
Demikian juga penduduk pesisir memerlukan bahan-bahan seperti sayuran, buah-buahan, beras, dan sebagainya yang dihasilkan di wilayah pegunungan. Di pasar ada perjumpaan, komunikasi, barter, dan pendidikan. Bagi seorang penguasa dinamika pasar, barang-barang yang dijual di pasar, pebisnis terlibat di pasar merupakan sebuah ukuran kemajuan sebuah kerajaan. Penguasa pergi ke pasar untuk mengetahui sejauh mana kemajuan masyarakat. Di dekat istana pastilah ada pasar. Ada istana di Bali disebut dengan kata ‘pasar’, seperti Denpasar di Bandung dan Bangli.
Diperhatikan lebih lanjut ternyata pertemuan ini juga direfleksikan di dalam kehidupan sosial, budaya, dan agama. Bagi kebanyakan orang Bali pastilah tahu makanan sejenis sambal dikenal dengan “uyah lengis”. Uya produk laut sementara lengis produk pegunungan. “Uyah lengis” merupakan sambal yang sangat sederhana dan menyehatkan.
Dengan hanya nyantap “uyah lengis” orang Bali bisa makan nasi atau ada tambahan sayur atau lauk lainnya. “Uyah” mengandung banyak unsur karena laut dikatakan sebagai perjumpaan dari begitu banyak elemen atau unsur dibawa oleh aliran air sungai ke laut, karena itu ia mempunyai daya kuratif suatu penyakit. Uyah menjadi bumbu dasar dalam setiap racikan bumbu. Betapapun bagusnya racikan bumbu sebelum ada garam yang terlibat seolah-olah racikan tersebut tidak bernilai.
Di samping menjadi bagian dari santapan, uyah legis juga menjadi bahan persembahan di dalam menghaturkan banten (sesaji). Demikianlah banten disebut rayunan, sodaan, dan seterusnya belum pas jika belum ada unsur-unsur laut, seperti garam, gerang, dan sebagainya; dan unsur-unsur pegunungan, seperti saur, kacang, komak, mentimun, terung, dan sebagainya. Apa pun jenisnya, tetap saja uyah lengis menjadi syarat minimal sebuah soda (banten).
Agama Tirtha dan Bhatara Tirtha
Dalam kehidupan agama, air memegang peranan yang sangat besar. Boleh dikatakan agama Hindu akan tidak bisa berlanjut jika air tidak ada lagi tersedia. Bagaimana agama ini bisa dilaksanakan dengan baik jika tidak ada air atau airnya semua tercemar? Masalah “global warming” yang mengakibatkan permukaan air laut meninggi akibat meleburnya es di kutub, sementara di darat persediaan atau debit air menurun, sangat serius bagi keberlangsungan umat Hindu. Global warming jika diperparah oleh ulah manusia yang tidak menghiraukan air dan lingkungan hijau tentu akan mempercepat Bali mengalami water shortage dalam waktu yang dekat ke depan. Air menjadi sangat mahal.
Mengingat sentralnya eksistensi dan peranan air, agama ini juga pernah disebut sebagai Agama Tirtha, sedikitnya oleh peneliti seperti Dr. Hoykaas. Agama Air dan Air Agama. Agama yang selalu mengalir sesuai makna ‘saraswati’ itu sendiri. Hal ini memang sangat jelas tercermin di dalam kitab suci Weda dan kesusastraan Weda belakangan. Pemujaan keada Sapta Gangga/Sapta Sindhu (yaitu Gangga, Saraswati, Yamuna, Godawari, dst.)[4] memperlihatkan betapa air tidak hanya dilihat secara fisik namun secara spiritual. Air mempunyai kekuatan vitalitas, spiritualitas, penyembuhan, dan budaya. Betapa subur wilayah-wilayah yang dilalui oleh sungai-sungai ini, belum lagi menghitung sungai-sungai di India Selatan, seperti sungai Krishna, Mula, dan sebagainya.
Di dalam teks-teks tattwa berbahasa Sanskerta dan Jawa kuno disebutkan kosmologi Hindu terdiri atas atas sejumlah konsep sperti Sapta-dvÍpa (tujuh pulau), yaitu JambudvÍpa, ÏaÉkhadvÍpa, KuÐadvÍpa, KrauñcadvÍpa, ÏalmalÍdvÍpa, GomedhadvÍpa, dan PuÒkaradvÍpa; Sapta-parvata (tujuh gunung), yaitu (1) Kulu-parvata,(2) AraÆya-parvata,(3) HiraÆya-parvata,(4) Ela-parvata,(5) Hari-parvata, (6) Kinnara-parvata, dan (7) BhÁrata-parvata; Sapta-samudra (tujuh samudra), yaitu (1) LavaÆa (lautan garam), (2) KÒÍra (susu), (3) Dadhi (susu asam), (4) Sarpi (mentega), (5) IkÒu (air tebu), (6) SurÁ (alkohol), and (7) SvÁdu (endapan air tebu); Sapta-tÍrtha (tujuh sungai suci), yaitu (1) NarmadÁ,(2) Sindhu, (3) GaÉgÁ, (4) SarasvatÍ,(5) AirÁvatÍ,(6) ÏreÒÔhanadÍ,dan(7) ÏivanadÍ[5], dan lain-lain. Di sini hal-hal di atas tidak semata-mata dimaknai fisik namun juga spiritual. Para rsi membayangkan dunia ini terdiri atas lapisan-lapisan baik ke atas terdiri atas tujuh lapisan dikenal dengan Sapta Loka dan ke bawah tujuh lapisan dikenal dengan Sapta Patala.
Konsep Sapta ini juga terdapat di dalam mikrokosmos (Bhuwana Alit). Para sulinggih di Bali melalui proses yoga, memuja Sapta Sindhu/Sapta Gangga dan dimohonkan kehadiran dan kekuatannya untuk meyucikan dan memberikan air kehidupan (amrta) kepada umat. Setelah pemujaan berlangsung, air suci dipercikkan dan diminum oleh para pemedek (umat). Jika air belum dipercikkan seolah-olah upacara (yajna) belum selesai.
Jika proses pembuatan/penyiapan tirtha ini diperhatikan, air suci (tirtha) menjadi wujud / manifestasi Tuhan / dewa-dewi yang secara nyata dirasakan oleh pemedek. Proses arga patra sulinggih di dalam membuat / mempersiapkan air suci memperlihatkan bahwa tirtha merupakan wujud ida bahara itu sendiri, beliau Bhatara Tirtha. Kekuatan jnana seorang sulinggih sangat menentukan kekuatan / kemujaraban / keefektifan tirtha di dalam pelaksanaan suatu yajna. Air suci tidak hanya dapat menyucikan secara rohani juga penyembuhan/pengobatan.
Bukti-bukti peradaban lembah-lembah sungai ini di India memang memperlihatkan kemajuan yang besar di berbagai bidang, seperti kesusastraan teknologi, spiritualitas, agama, sastra, seni-seni, arsitektur, dan sebagainya. Kota-kota kuno, seperti Waranasi (Benares) di pinggir sungai Gangga, Prayaga (Allahabad) di pinggir pertemuan tiga sungai suci (yaitu Gangga, Yamuna, dan Saraswati)—disebut Sanggam Tri Weni, Indraprastha (Delhi sekarang) di pinggir sungai Yamanu, Nasik di pinggir sungai Godawari, dan masih banyak lagi. Kesusatraan Weda lahir di wilayah-wilayah bantaran sungai-sungai ini. Di sepanjang sungai Gangga menurut kitab Mahabharata, Ramayana, dan Purana-purana banyak ada tirtha, yaitu suatu titik dimana umat melakukan penyucian dengan mandi dan sembahyang di sana. Tradisi melakukan tirthayatra berlangsung hingga kini di India.
Hal ini juga terjadi di Bali bahwa disepanjang sungai-sungai, danau atau pantai banyak ada petirthan yang disucikan bahkan dikramatkan. Ketika upacara di pura, misalnya, Ngenteg Linggih selesai, dilakukan upacara Tirtha Yatra ke air /laut dan ke gunung sehingga sering sisebut Nyegara Gunung. Tradisi penghormatan kepada air di India berlangsung hingga sekarang. Pada mandira-mandira besar di India, biasanya di halaman paling luar sebelum masuk pintu masuk disebut gopura (dalam konteks India Selatan, misalnya di mandir Menakshi di Madurai, Tamil Nadu) terdapat kolam besar tempat umat mandi menyucikan diri sebelum masuk areal pura. Peradaban Mohenjo Daro dan Harappa memperlihatkan adanya kolam (tank) besar tempat melakukan penyucian.
Di dalam konteks Bali, yang ada bahwa setiap pura mempunyai beji, misalnya Pura Besakih di segara Klotok, Klungkung, Pura Batur di segara di Petitenget, Badung, dan sebagainya. Pura-pura yang dibangun baru kadang-kadang kurang memperhatikan hal-hal ini. Di zaman silam, membangun pura memikirkan beji-nya yang biasanya asri, hijau, suci, dan dikramatkan. Sering pura beji dipandang sebagai pura pesanakan bersama dengan pura-pura yang lain terkait dengan pura bersangkutan.
Karang kekeran pada wilayah beji memang mendesak dilakukan agar kebersihan, kemurnian, kesucian, dan kesakralannya bisa terjaga. Bisa saja karang kekeran ini lambat laun tidak diperhatikan alias dilanggar karena manusia Bali tidak peduli lagi akibat fokus diberikan pada pemerolehan materi. Aktivitas berkaitan dengan pura, adat dan sebaginya dipandang sebagai aktivitas budaya. Nanti lama-kelamaan agama dipisahkan dari budaya sehingga ada ruang untuk menggarap ruang / lahan secara lebih luas lagi. Tanda-tanda ke arah itu sudah menggejala.
Keterlibatan air di dalam kehidupan agama memang sangat besar mulai dari membersihkan diri, alat upacara/upakara, tempat upacara hingga penyucian secara niskala peranan air sangat besar. Pada upacara melasti / mekiis di sana peranan air sangat nyata, apakah air danau, air sungai, air kelebutan, suwukan, mumbul, pancoran, atau air laut. Bayangkan kalau air-air ini tercemar atau akses ke tempat-tempat ini sulit atau dilarang karena masalah-masalah ekonomi atau politik. Berbagai jenis benda cair digunakan di dalam kegiatan ritual, seperti arak, tuak, berem, susu, mentega, susu asam, madu parka, air kelapa, dan berjenis-jenis air suci (tirtha) baik dari sumber air itu didapat atau tata-cara air suci tersebut dipersipakan / dibuat oleh sulinggih. Dalam setiap upacara, misalnya perabuan jenazah (ngaben), berbagai jenis tirtha digunakan, seperti tirtha pengentas, tirtha pura dalem, tirtha kawitan, tirtha, pemrelina, dan sebagainya.
Hampir setiap pura mempunyai beji, seperti disebutkan di atas, yaitu tempat dimana ida bhatara mesucian. Beji ini biasanya berlokasi di suatu tempat yang hijau, ditumbuhi pohon-pohon atau semak-semak, ada sumber / mata air, suasananya asri, dan disucikan oleh masyarakat. Masyarakat umum biasanya mandi di sebelah teben dari tempat beji tersebut. Beji-beji ini sekarang kurang mendapat perhatian. Konservasi wilayah hijau yang memungkinkan air tetap terjaga dan mengalir sangat kurang mendapat perhatian. Aliran sungai tidak hijau lagi seperti dulu akibat alih fungsi lahan. Kondisi ini memperparah debit air yang sudah mulai munurun.
Agenda Air dan Bali sebagai pulau Taman
Bagaimana manusia Bali mengagendakan air di dalam proses pembangunan? Ini dipandang penting dan mendesak sehingga ada kepastian peradaban ini bisa diselamatkan oleh manusia Bali itu sendiri. Agenda ini bisa pada skup pusat, provinsi, kabupaten, dan desa-desa adat. Tata Ruang Desa nampaknya belum ada. Bagaimana kawasan hijau ini dijaga? Jika air dan kawasan hijau bisa ditata dengan baik mewujdukan Bali sebagai pulau Taman, atau Denpasar sebagai kota Taman menjadi semakin cepat terwujud. Kita akan bisa melihat pulau Taman yang asri dan moderen namun tidak meninggalkan tradisi.
Pembangunan-pembangunan yang cepat di wilayah provinsi Bali dalam beberapa hal menjauhi cita-cita menjadikan Bali sebagai pulau taman. Lahan-lahan untuk taman baik skala besar seperti karang embang yang ada di setiap desa, sawah atau tegalan, telajakan sudah semakin menipis. Dimana saja di desa jika ekonominya bergeliat, mulai ada toko, bengkel, garase, konter HP, stand pedagang kaki lima, dan sebagainya, telajakan-nya mulai menghilang. Bisa dibayangkan betapa indah Bali atau Depasar sebagai Kota Taman dimana disepanjang jalan ada taman dengan bunga jempiring sebagai maskot kota, di Bangli penuh dengan bunga pucuk bang sebagai maskot kabupaten.
Untung saja di kota Denpasar, misalnya, masih ada setra / kuburan, pura, dan puri yang masih mempunyai lahan hijau. Pohon-pohon besar seperti beringin, kepuh, kepah, dan sebagainya sudah sangat jarang. Kota Denpasar wajahnya tidak lagi sepenuhnya Bali, telajakan hilang sama sekali. Arsitektur Bali tidak kelihatan dari jalan. Banyak bangunan hotel atau perusahaan tidak lagi taat azas menggunakan stil arsitektur Bali. Proses melemahnya unsur-unsur air, lahan hijau, dan arsitektur Bali terasa halus, lepas dari perhatian kita, dan menganggap hal itu biasa-biasa saja. Idiom pembangunan adalah perubahan menjadikan masalah air ini sulit dipecahkan. Namun siapa tahu pemimpin Bali ke depan benar-benar orang Bali yang memahami Bali dan berdedikasi menjaga dan melestarikan peradaban Bali ke depan. Air menjadi agenda bersama ke depan.
Penutup
Air berperan sangat besar di dalam pembentukan peradaban Bali. Bukti-bukti arkeologis dan teks memperlihatkan manusia Bali sejak dulu memberikan posisi yang tinggi kepada air. Di dalam perkembangannya air tidak hanya dilihat secara fisik namun juga spiritual. Di balik air terdapat kekuatan yang mempu memberikan kesucian, kecerdasan, kesehatan, dan kebahagaiaan. Agama Hindu yang ditradisikan di Bali apalagi, memberikan posisi yang sangat fundamental kepada air di dalam praktek keagamaan. Di dalam kehidupan sehari-hari air memegang peranan yang sangat besar. Namun dengan meningkatnya alih fungsi lahan, berkembangnya industri dan pemukiman, muncul sejumlah masalah air. Dari kondisi ini diperlukan tindakan yang nyata dan sistematis untuk menyelamatkan peradaban ini ke depan. Kalau bukan kita siapa lagi.
Catatan dan Referensi
[1] Revisi makalah dalam Rembug Sastra Purnama Badrawada di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, Bali, 9 Juni 2017.
[2] Lihat Sagara-Giri: Waterscapes of Bali, a Philosophical Reflection with Reference to Tutur Texts (makalah) disajikan dalam the International Seminar“ Waterscapes in Bali and Beyond : Shifting Paradigms of Pollution and Purity, ” Universitas Hindu Indonesia in Collaboration with Heidelberg University, Germany, Denpasar- Bali, 22-24 September 2015.
[3] Lihat IBG. Agastia, Niti Sastra (Ajaran Kepemimpinan) (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2015), hal. 6.
[4] Lihat IB. Putu Suamba, Saraswati di dalam Weda dan Purana (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2015), hal. 79-98
[5] IB. Putu Suamba, Javanese Saivism: A Philosophical Study of Tattva Texts (Delhi: BR. Publishing Corporation, 2016), hal. 351-352.