PARIWISATA merupakan salah satu sektor ekonomi terbesar di dunia, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan di banyak negara. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), pariwisata global telah berada pada kondisi pemulihan hampir 90% seperti sebelum pandemi terhitung sejak akhir 2023 lalu.
Jumlah wisatawan internasional mendekati angka satu milyar orang, meningkat sekitar 38% jika dibandingkan dengan rentang waktu yang sama pada 2022. Sektor ini menyumbang setidaknya 10% dari PDB global dan mendukung 1 dari 10 pekerjaan di dunia.
Meski demikian, seiring meningkatnya arus wisatawan global, muncul pula tantangan dalam mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Salah satu cara untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan menerapkan pajak turis. Meski begitu, ketidakseragaman sistem pajak turis antar negara telah menciptakan kompleksitas dan inefisiensi yang menghambat upaya optimalisasi manfaat ekonomi dari industri pariwisata global.
Kompleksitas Pajak Turis
Saat ini, lanskap pajak turis dunia sangat beragam. Negara-negara menerapkan tingkat pajak, basis pengenaan, dan mekanisme pemungutan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Jepang memungut pajak akomodasi sebesar 100-300 yen per malam, sementara Prancis menerapkan pajak perkotaan yang besarannya bervariasi berdasarkan peringkat hotel.
Di Indonesia, pajak hotel dan restoran mencapai 10% dari total tagihan. Variasi ini menciptakan kompleksitas bagi wisatawan dan industri pariwisata dalam merencanakan biaya perjalanan dan strategi bisnis. Wisatawan harus mempertimbangkan perbedaan tarif pajak ini ketika memilih tujuan wisata, yang bisa berdampak pada keputusan mereka.
Perbedaan sistem pajak turis juga dapat memengaruhi daya saing suatu destinasi. Wisatawan cenderung memilih tujuan dengan biaya lebih rendah, termasuk pajak yang dikenakan. Sebuah studi oleh World Economic Forum pada tahun 2017 menunjukkan bahwa destinasi dengan pajak turis yang rendah cenderung lebih menarik bagi wisatawan.
Hal ini dapat mendorong negara untuk meminimalkan pajak turis demi menarik lebih banyak kunjungan, namun pada akhirnya mengorbankan potensi pendapatan yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pelestarian lingkungan. Sebagai contoh, negara-negara di Karibia seperti Bahama telah mengurangi tarif pajak turis untuk bersaing dengan destinasi wisata lainnya, meskipun mereka sangat membutuhkan pendapatan dari pajak tersebut untuk menangani dampak lingkungan dari pariwisata.
Oleh karena itu, harmonisasi pajak turis global menjadi solusi yang semakin penting untuk diupayakan. Standarisasi tingkat pajak, basis pengenaan, dan mekanisme pemungutan dapat memberikan manfaat seperti kemudahan administrasi dan kepatuhan, perencanaan bisnis yang lebih efisien, serta pengalaman wisatawan yang lebih konsisten di berbagai destinasi. Harmonisasi pajak juga bisa membantu mengurangi dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan dengan memastikan bahwa pendapatan pajak digunakan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Perlunya Standar Global
Melihat lebih jauh ke Uni Eropa sekalipun, sejauh ini belum terjadi sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seragam untuk seluruh anggotanya, termasuk dalam sektor pariwisata. PPN di blok regional ini dikenal sebagai Value-Added Tax (VAT) dan diterapkan dengan tarif yang berbeda-beda disetiap negara anggota, mulai dari 15 % hingga 27%, tergantung pada negara dan wilayah, serta jenis produk dan jasa yang diperjual belikan.
Sebaliknya, negara-negara ASEAN tengah mengupayakan harmonisasi pajak turis sebagai bagian dari upaya integrasi ekonomi kawasan. Pada tahun 2022, ASEAN Tourism Forum (ATF) membahas kemungkinan penerapan pajak turis yang lebih seragam untuk meningkatkan daya saing kawasan sebagai tujuan wisata.
Untuk mewujudkan standar pajak turis global, diperlukan kerjasama internasional yang kuat. Organisasi seperti UNWTO dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog antar negara dan menyusun kerangka kerja standar pajak turis yang adil dan efektif. UNWTO, misalnya, bisa mengembangkan pedoman bagi negara-negara anggota tentang bagaimana merancang dan menerapkan pajak turis yang harmonis dan transparan.
Kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri pariwisata juga sangat penting. Pemangku kepentingan, termasuk perusahaan perjalanan, hotel, dan operator wisata, harus dilibatkan dalam proses perancangan kebijakan untuk memastikan bahwa kebijakan pajak yang dihasilkan praktis dan dapat diterapkan dengan baik. Meski terdapat tantangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya, upaya harmonisasi harus terus didorong demi mencapai manfaat jangka panjang yang lebih besar bagi seluruh dunia.
Kerangka kerja standar pajak turis global dapat mencakup struktur pajak yang seragam, seperti tingkat pajak yang proporsional dengan kelas akomodasi atau fasilitas yang digunakan. Misalnya, pajak bisa ditetapkan berdasarkan jumlah malam yang dihabiskan di destinasi tertentu, dengan tarif yang meningkat untuk akomodasi yang lebih mewah. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak turis juga harus dijamin, dengan mengalokasikannya secara khusus untuk pembangunan infrastruktur pariwisata, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Implementasi standar baru ini dapat dilakukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan kondisi dan kesiapan masing-masing negara. Negara-negara dengan industri pariwisata yang sudah maju bisa menjadi pionir dalam mengadopsi standar ini, diikuti oleh negara-negara lain secara bertahap.
Sistem pelaporan dan pemantauan yang ketat juga diperlukan untuk memastikan kepatuhan dan evaluasi dampak secara berkala. Penyesuaian dan perbaikan harus terus dilakukan untuk memastikan standar pajak turis global dapat berkontribusi optimal bagi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
Konklusi
Pada akhirnya, harmonisasi pajak turis global bukanlah hanya sekadar upaya menyeragamkan sistem perpajakan, melainkan langkah penting untuk memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari industri pariwisata dunia.
Dengan kolaborasi internasional yang kuat dan komitmen bersama, kita dapat menciptakan standar baru yang menjamin keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata global.
Tantangan dalam mewujudkan harmonisasi ini memang besar, namun manfaat yang dapat diperoleh jauh lebih besar, baik bagi wisatawan, industri pariwisata, maupun negara-negara di seluruh dunia. [T]