TABRAK lari di simpang Pantai Happy Singaraja, kejadian yang menewaskan tiga remaja itu, tidak akan pernah aku lupakan sampai saat ini. Itu kisah yang akan selalu aku banggakan dan ceritakan sebagai salah satu pencapaian dalam hidupku. Tunggu. Maksudku bukan tragedinya yang kuanggap pencapaian, tapi tindakanku saat membereskan mayat-mayat itu.
Aku masih ingat betul. Kejadian yang merenggut tiga nyawa sekaligus itu—mimpi buruk yang tidak diinginkan setiap orang—tejadi pada Kamis, 22 Juni 2023. Peristiwa itu berjarak 3 tahun 6 bulan setelah aku resmi menjadi bagian dari anggota PMI, Palang Merah Indonesia, bukan Pekerja Migran Indonesia.
Pada saat periswita mengerikan itu terjadi, aku sedang asyik menikmati wifi gratis di markas PMI Buleleng di Kendran, Jl.Yudistrira No. 3 Singaraja, belakang Rumah Sakit Umum. Bangunan sederhana itu dilengkapi dengan TV, kulkas, kasur dua buah (lengkap dengan bantal dan selimut), dua kamar mandi, dan dapur umum yang bebas digunakan. Alih-alih seperti kantor, markas PMI Buleleng lebih cocok disebut rumah.
Ada loker pakaian terbuat dari kayu berjejer yang diletakkan di samping kanan dan depan tempat tidur. Di sanalah tempat kami menaruh pakaian dan barang-barang pribadi kami. Sayangnya, pada saat itu, aku tidak dapat tempat, jadi hanya menumpang di loker kawanku.
Selain itu, ada juga jemuran besar dan mesin cuci yang sudah berkali-kali diservis karena tidak sengaja kami rusak. Nyaris setiap hari ada saja yang mencuci di sana. Parahnya, tidak hanya empat atau lima setel pakaian, tapi sampai dua kresek besar pakain kotor.
Seperti sudah menjadi tradisi, setiap malam atau setelah kantor tutup, kecuali Sabtu dan Minggu, kami mengantre untuk mencuci di sana. Bahkan kami sampai mendapat julukan “KSR Pantingan”—Perkumpulan Anak Kost Kere yang Suka Gratisan. Tapi entah mengapa kami tidak malu, justru bangga dengan julukan itu. Konyol memang.
Anggota PMI memang boleh menggunakan fasilitas dan menginap di markas, asal ikut serta bertanggung jawab menjaga dan membersihkannya. Kalau tidak, pasti diamuk kepala markas kami. Made Pasek Yasa, namanya. Aku biasa memanggilnya Kak Pasek.
Tetapi, ini bukan tentang markas PMI yang sudah aku anggap sebagai rumah sendiri, ini tentang pengalaman pertamaku dalam menjalankan tugas menjadi anggota Palang Merah Indonesia.
***
Malam itu, sembari menunggu pakaianku selesai dilumat mesin cuci, bersama relawan lainnya, aku bergurau, bernyanyi, menikmati kebersamaan. Kami terjaga sampai dini hari. Banyak hal kami ceritakan, mulai dari soal percintaan sampai pengalaman-pengalaman menjadi relawan PMI. Sayangnya aku tidak terlalu banyak menceritakan soal pengalaman menarikku di PMI. Ya, karena aku memang belum punya banyak.
Karena sudah larut, aku dan dua kawanku—Ariani dan Febi—memutuskan untuk menginap di markas PMI. Tidak butuh waktu lama, saat badan menyentuh kasur, kami langsung terlelap. Belum lama mata terpejam, di tengah hening malam, tiba-tiba terdengar suara telepon dari dalam kantor.
Di sana gelap, aku saja tidak berani menoleh. Tapi suara dering yang khas itu sudah kadung membangunkan kami. Padahal, kami sangat menghindari suara itu, kecuali kalau lagi boke. Tetapi malam itu suara telepon terasa lebih merdu dan lebih memikat daripada suara Elvy Sukaesih. Meski demikian, aku tidak terlalu mempedulikannya, prioritasku kala itu hanya tidur. Bukan angkat telepon!
Malam itu markas terasa lebih sepi dari biasanya. Aneh. Biasanya di markas tidak pernah sesepi itu. Tidak tahu mengapa, saat itu, hanya ada aku, kedua kawanku, dan seorang staff laki-laki yang biasa menjadi supir ambulance. Dan tak lama kemudian, dengan keadaan mengantuk, aku dan kedua kawanku dibangunkan.
“Bangun. Bangun. Ada kecelakan.” Suara itu pelan, nyaris tak terdengar. Seseorang menggoyang-goyangkankan kakiku. Seseorang itu kemudian bergegas menggunakan pakaian lapangan. Ia terlihat sangat terburu-buru. Sedangkan aku masih dalam keadaan setengah sadar.
Aku langsung melihat handphone yang berada di dekat bantalku. Pantas saja, jam 2 pagi ternyata. Itu waktu di mana aku seharusnya masih menikmati bunga tidur. Saat itu sebenarnya aku malas bangun. Tubuhku masih lemas, aku tak sanggup membuka mataku dan menggerakkan anggota badanku. Aku ingin tidur!
Tetapi entah kenapa aku malah memaksakan diri, perlahan-lahan membuka mataku. “Sialan!” umpatku. Ternyata hanya aku yang bangun. “Aku tidak membawa pakaian lapangan,” kataku kepada orang yang membangunkanku kala itu, dengan nada mengeluh.
Dia dengan enteng mengatakan, “Pakai apa saja yang ada. Cepat!”
“Arghhhhh!” aku merasa kesal.
Aku mengenakan celana training hitam sebetis, dengan garis putih memanjang di sampingnya—celana yang aku kenakan sejak kemarin. Beruntung, aku sempat mencuci pakain malam itu. Jadi, langsung saja kuambil baju biru berlengan panjang dengan gambar boneka beruang dan dihiasi bola-bola berbulu dari benang itu. Aku tidak menyangka, baju lucu itu akan kubawa mengambil mayat. Walau masih belum kering, masih lebih baik daripada kulitku terkena bercak darah, pikirku saat itu.
Karena kekurangan personil—kedua kawanku enggan untuk ikut. Takut, alasan mereka. Mereka pikir aku tidak takut? Ah, sudahlah—dengan menaiki ambulance aku bergegas menuju tempat kerja salah seorang relawan yang masih terjaga.
Suara sirine ambulance, yang tidak asing di telingaku, terasa menakutkan. Sepanjang perjalanan menuju TKP, aku tidak berani mengatakan apa-apa dan tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku kosong. Sedangkan di lokasi, saat aku sampai, dari jauh terlihat kerumunan warga dan sekelompok remaja, sepertinya mereka teman para korban. Polisi sudah lebih dulu tiba di sana.
Sial, pemandangan apa yang aku lihat ini? Ada dua mayat lak-laki yang terlihat masih muda tergeletak di bibir jalan beraspal. Yang satu berada di depan beton, satunya lagi terkapar agak jauh dekat pohon kamboja.
Kondisi badannya sudah tidak lagi utuh. Darah mereka bercampur di jalan, luber ke mana-mana. Peristiwa ini, sebagaimana telah disinggung di awal, merengut tiga nyawa; dua meninggal di tempat, satu meninggal saat dibawa ke rumah sakit, sedang satunya masih bisa selamat dan sedang dirawat kala itu.
Di malam yang terasa sangat dingin itu, lebih dingin dari malam-malam biasanya, jalan terlihat samar-samar. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ah, apa ini? Aku ditempatkan di situasi macam apa ini? Aku harus bagaimana?
Seseorang memintaku untuk mengambil kantong mayat. Aku berhenti melamun dan segera mengerjakan perintahnya. Saat korban pertama diambil, aku bergegas membuka pintu ambulance dan mengambil kantong mayat lalu membuka resletingnya, mendekatkannya pada tubuh korban.
Aku membantu membenarkan tubuh korban agar bisa masuk kantong. Lalu dengan tangan bergetar aku segera menutupnya lagi. Dengan dilapisi sarung tangan medis, tanganku berlumuran darah. Aku memakai masker, tapi bau amisnya masih tercium. Darah itu belum pekat, mungkin karena belum lama.
Sesaat setelah itu, aku bergegas menuju korban yang satunya. Sial…Sial! Kepalanya sudah hancur. Sedangkan isi kepalanya berserakan, menyatu bersama darah yang menggenang di jalan. Aku membantu mengambil isi kepala yang lembut bak jelly itu. Lalu memasukannya ke dalam kantong mayat. Kemudian menggotongnya bersama seorang kawan.
Saat kami kepayahan menggotong, seorang kawan lainnya sibuk mengambil dokumentasi. Aku akan sangat marah jika ia tidak memfoto diriku. Lumayan kan, buat diposting di media sosial.
***
Kedua mayat itu kami bawa ke rumah sakit. Pikiranku kosong lagi. Tapi aku tidak merasa jijik, justru merasa bingung dengan situasi ini. Aku sempat ragu dengan pengalaman yang kudapat dari pendidikan dan pelatihan di Palang Merah Indonesia (PMI) selama kurang lebih 3 tahun ini. Tiba-tiba ingat membawaku ke masa awal aku masuk PMI.
Dulu, aku begitu bangga saat memberikan materi dan praktik bagaimana menjadi relawan PMI kepada anak-anak sekolah. Mereka mengganggapku guru. Aku dihormati karena mereka kira, selama kurang lebih 3 tahun menjadi anggota PMI, pengalamanku sudah segudang. Padahal, sebenarnya, sekali pun aku belum pernah terjun ke lapangan.
Aku senior. Dan itu benar. Tapi bukan karena pencapaian, namun karena aku lebih tua dari mereka saja. Lucu sebenarnya kalau mereka tahu aku belum pernah terjun langsung kelapangan. Saat itu, aku membayangkan, meraka pasti meragukan kelayakanku menjadi pemberi materi. Aku tahu teorinya, tapi nyaris tak pernah punya pengalaman praktik di lapangan.
Benar. Mengenai hal ini, sebenarnya bukan karena aku tidak berani, tapi tidak pernah ada kesempatan. Aku ikut PMI sejak duduk di bangku SMA, tepatnya tahun 2018. Awalnya tidak ada ekspetasi apa pun saat aku bergabung. Aku ikut karena diajak teman dekatku. Baru setelah merasa tertarik, aku bertahan dan bahkan ikut seleksi satuan inti PMI—dan aku lolos.
Pendidikan dan pelatihan menjadi satuan inti PMI tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Aku mengira hanya akan duduk mendengar materi dan menjalankan praktik sesekali. Tapi ternyata tidak. Selain itu, kami juga harus siap mental dan fisik.
Kami dicaci, dimaki, push up, sit up, jongkok bangun setiap hari, makan dihitung, minum dihitung, jalan pun dihiung. Pokoknya, seketika kami berubah menjadi para militer. Senior meminta kami untuk mandi di sungai, kemudian merayap di genangan lumpur. Awalnya aku mempertanyakan semua itu. Untuk apa aku melakukannya?
Namun, sekarang aku mengerti. Pelatihan itu semata-mata supaya relawan terbiasa menghadapi situasi sulit dan tidak terduga—seperti yang aku rasakan malam itu, saat membantu membereskan korban kecelakaan, kejadian yang belum pernah terbayangkan akan kualami. Aku mengira, situasi seperti ini hanya laki-laki saja yang bisa membereskannya. Tapi ternyata aku salah. Sebagai kaum perempuan, aku juga bisa melakukannya.
Sesampainya di markas, ada perasaan lega, aku merasa hidup lagi. Aku segera mandi dan mencuci pakaian yang kugunakan. Di luar, kawanku sedang mencuci ambulance sampai tidak ada sisa darah.
Darah yang bercampur dengan air itu menimbulkan bau yang tidak sedap, bau amis yang tidak tertahankan. Aku tidak kuat menciumnya, merasa mual dan ingin muntah. Aku bergegas kembali ke dalam dan melanjutkan tidur. Akhirnya, ada kisah yang bisa aku ceritakan dan aku banggakan. Ini pencapaian besar dalam hidupku.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.
Editor: Jaswanto