WAKTU menunjukkan sekitar jam setengah sebelas. Matahari merangkak pelan mengubun-ubun. Sementara ombak pantai Masceti masih tetap rindu membuncahi karang-karang. Di bawah pohon ketapang yang berdiri teguh dengan dahan dan ranting serta daun yang lebat, Ida Padanda Made Sidemen menghentikan langkah bersama sang istri untuk berteduh.
Pendeta yang baru saja didiksa oleh guru spiritualnya itu sedang menempuh perjalanan panjang dari Karangasem menuju Sanur, tanah kelahirannya. Perjalanan dari Karangasem ke Sanur dengan ayunan langkah demi langkah pasti sulit dibayangkan saat ini. Namun demikian, Ida Padanda Made Sidemen melakoninya dengan sadar dan sabar. Kadang, perjalanan yang lambat memang membuat kita bisa mengamati sesuatu dengan lebih rinci, penuh, dan sungguh-sungguh.
Pantai Masceti agaknya sengaja dipilih oleh Ida Padanda Made Sidemen untuk beristirahat kala itu. Sebab, menurut keterangan sejumlah pustaka seperti Dwijendra Tattwa, Bali Tattwa, dan Babad Catur Brahmana, leluhur Ida Padanda Made Sidemen yaitu Dang Hyang Nirartha sebelum moksa sempat anglanglang kalangwan ‘menikmati keindahan’ bersama bhatara yang berstana di pura tersebut. Dalam riuh dan tabuh ombak laut itulah Ida Padanda Made Sidemen berdialog bersama istrinya. Apalah bahan obrolan pendeta yang baru saja disucikan itu selain tentang kawikuan ‘kependetaan’
Ida Padanda Made Sidemen menyampaikan tiga jenis wiku kepada istrinya yaitu Wiku Taluh, Wiku Mayong, dan Wiku Raksasa. Sebelum sampai pada perbedaan, apakah persamaan di antara ketiga pendeta itu?
Persamaannya terletak pada status. Bahwa mereka secara formal sudah berguru pada tiga orang pendeta termasuk juga telah diberi tempat utama sebagai sulinggih dengan berbagai kewenangan oleh gurunya. Dari persamaan itu, perbedaan sudah bisa dibayangkan dari gelar wiku itu sendiri.
Pendeta yang dikenal luas berumur hingga 126 tahun tersebut menjelaskan bahwa jika seorang wiku hanya sampai pada tingkatan pengetahuan lahiriah atau aji wahya dan tidak menemukan sesuatu di kedalaman diri yaitu ‘isi shunya’ maka mereka disebut golongan Wiku Taluh (tan katĕmu pakedĕpaning sang bhiksu, puput aji wahya, ri dalĕm nora kapanggih, wiku taluh, tan anarĕp ninggar shunya). Kata aji secara leksikal bermakna pengetahuan, sedangkan kata wahya berarti keduniawian. Dengan demikian, aji wahya bermakna pengetahuan tentang keduniawian. Bagi seorang pendeta, pengetahuan tentang keduniawian tentu penting, tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan yang disebut dengan aji dyatmika ‘batiniah’.
Apabila kita menjadikan Kakawin Arjuna Wiwaha sebagai rujukan, putra Pandu itu tidak hanya memuja Shiwa dengan cara yang wahya saja, tetapi juga dyatmika (wahya dhyatmika sĕmbah inghulun i jӧng ta tan hana waneh). Kenapa Arjuna memuja Shiwa dengan wahya dan dhyatmika? Sebab Shiwa dianalogikan seperti api di dalam kayu dan minyak di dalam santan. Pemujaan secara wahya hanya sampai pada kayu dan santan, tetapi tidak menembus yang lebih halus yaitu benih api dan minyak yang ada di dalamnya. Intinya, agar tidak disebut Wiku Taluh seseorang mesti sampai pada penemuan shunya atau Shiwa di dalam dirinya.
Selanjutnya, Ida Padanda Made Sidemen juga menyatakan bahwa jika ada seorang wiku yang tidak menemukan bayangan dewa, pitara, dan bhuta di dalam tubuh maka pendeta itu disebut dengan Wiku Mayong (tan kapangguh bayangan dewa ring tanu, pitara, len bhuta, wiku mayong araneki). Kata mayong dalam teks-teks Dasa Nama ‘kamus sinonim Bali’ berpadanan dengan manjangan. Kenapa pendeta yang seperti itu dihubungkan dengan kijang? Jika mengacu pada teks Adiparwa, kita tahu bahwa figur manjangan dijadikan penyamaran oleh Resi Kindama ketika hendak bersanggama dengan istrinya, sebelum akhirnya dipanah oleh Pandu. Adakah Wiku Mayong yang disebutkan oleh Ida Padanda Made Sidemen mengacu pada Wiku Siluman?
Kita tidak tahu pasti kebenarannya jika hanya mengandalkan satu rujukan. Namun demikian, yang penting dari ungkapan Ida Padanda Made Sidemen ini adalah sebisa mungkin seorang pendeta menemukan dengan terang dewa, bhuta, dan pitara di dalam dirinya sehingga tidak disebut sebagai Wiku Mayong.
Terakhir, pendeta yang banyak menulis karya sastra dan juga topeng serta pralingga itu menjelaskan istilah Wiku Raksasa kepada istrinya. Yang diidentifikasi sebagai Wiku Raksasa adalah pendeta yang materialistis atau hanya memperhitungkan sasantun (buat sasantun, sinanggah wiku raksasa). Tentang jenis Wiku Raksasa ini, keberadaannya terasa semakin nyata di tengah-tengah kita saat ini.
Itulah dialog yang bisa kita intip dari perbincangan Ida Padanda Made Sidemen di tepi pantai Masceti. Ketiga jenis wiku yang dijelaskan oleh Ida Padanda Made Sidemen kepada istrinya itu dapat dimaknai sebagai bentuk otokritik atau kritik diri.
Apalagi tujuan kritik selain untuk mendiagnosa krisis yang kemungkinan besar terjadi dalam perjalanan menjadi seorang wiku. Dan Ida Padanda Made Sidemen sudah menyadarinya sejak awal, ketika baru didiksa oleh guru nabenya. Di tengah silang sengkarut persoalan kawikuan di Bali, figur seperti Ida Padanda Made Sidemen yang sederhana tetapi banyak karya untuk kehidupan semakin kita rindukan. [T]
BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA