AWAL tahun 1998. Ketika nilai dolar bergerak naik dan kekuasaan rezim despotik Soeharto di ujung tanduk, saya menempati rumah mungil 21 meter persegi. Rumah yang saya dapatkan dengan cara mencicil tiap bulan, dengan cicilan sebesar sepertiga gaji saya. Gaji yang tidak begitu besar. Karena perusahaan tempat saya bekerja sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Rumah pertama saya itu mimpi indah yang menjadi kenyataan. Bagaimana tidak, sejak kecil saya tidak pernah punya kamar pribadi, alih-alih rumah. Tapi saat itu saya mampu memiliki rumah sendiri. Rumah yang baru sanggup saya cicil setelah bekerja selama 13 tahun. Dengan persekot sebesar Rp 2,5 juta, dari hasil menjual sepeda motor satu-satunya.
Kenangan indah? Tidak. Tidak ada kenangan indah jika sebelum akhir bulan gaji sudah habis. Pahit. Karena berbagai kebutuhan sehari-hari dan membantu ibu. Saya harus bermain akrobat setiap akhir bulan, agar kehidupan bisa berjalan.
Menjelang menikah pada April 1998, saya membeli televisi Sony 14″ dengan cara kredit di koperasi karyawan. Kotak ajaib itu menjadi satu-satunya benda berharga di dalam rumah.
Setelah menikah kondisi finansial rumah tangga kami relatif stabil, karena ada tambahan penghasilan dari istri. Saya bisa membeli sepeda motor bekas dengan harga murah, untuk transportasi ke kantor.
Apakah kami bahagia? Tidak. Tepatnya, saya tidak tahu. Saya hanya menjalani kehidupan yang kadang masih terseok-seok.
Setahun kemudian anak pertama saya lahir. Kami butuh ART untuk menjaga anak. Atas bantuan kerabat mertua, kami mendapat ART yang ternyata sangat sayang pada anak kami.
Mariyam nama perempuan beliau itu. Dia berasal dari keluarga buruh tani miskin.
“Saya ingin membeli televisi untuk Emak,” katanya, pada suatu malam ketika dia sedang menonton sinetron.
“Saya kasihan Emak, jika ingin melihat televisi harus ke rumah tetangga,” lanjutnya setengah bergumam.
Dua bulan kemudian, saya mampu membeli televisi lagi. Televisi yang sudah menghibur keluarga kami selama hampir 3 tahun itu saya berikan kepada Mariyam. Kami membawa ke desanya, sekalian mengantar mudik menjelang lebaran.
Mariam menikah setelah ikut kami selama 7 tahun. Kami sekeluarga datang ke pernikahannya. Tentu saja kami sangat kehilangan, utamanya anak sulung saya. Tapi kehidupan harus tetap berjalan. Sejak itu kami sangat jarang bertemu lagi.
Sebelas tahun lalu Mariam beserta anak dan suaminya berkunjung ke rumah kami. Kebetulan mereka datang ke hajatan kerabatnya yang tinggal di Gresik. Setelah itu, kami kehilangan kontak. Saya dengar mereka masih mendompleng di rumah mertua Mariyam.
Kemarin sore, ketika saya sedang mencari angin di beranda rumah kami di desa, ada Taruna warna hitam berjalan pelan di depan rumah. Setelah berhenti, sopirnya, lelaki berumur sekitar 45 tahun, keluar kemudian membuka pintu pagar. Disusul perempuan dewasa dan dua gadis remaja.
“Maaf, siapa ya?”
“Saya Mariyam, Pak.”
Saya perhatikan wajah perempuan itu. Ternyata benar! Mariyam! Usia telah menggerus ingatan saya.
Saya segera memanggil seisi rumah agar keluar menyambut mereka. Dua anak saya dan ibunya segera berhamburan di beranda. Kami melepas kangen.
Saya menangis saat Mariyam berkisah tentang berbagai peristiwa saat dia masih bersama kami. Bagaimana pun juga dia ikut membesarkan anak sulung saya.
“Televisi pemberian Bapak masih saya simpan,” ujarnya.
Mariam menyampaikan, dia dan suaminya membuka usaha pembuatan kandang ayam. Usahanya cukup maju sehingga mereka bisa membeli sepetak tanah dan membangun rumah ala kadarnya. Televisi pemberian saya itu, katanya, masih aktif meskipun sesekali butuh perbaikan.
Rumah mereka ternyata hanya sekitar 15 kilometer dari rumah kami di desa. Esoknya kami sekeluarga berkunjung ke sana. Rumah tumbuh yang sangat sederhana dan belum selesai dibangun.
Menurut suami Mariyam, tanahnya seluas 200 meter persegi. Sepertiganya untuk bangunan rumah. Halaman belakang rumah untuk memelihara ayam aduan. Sedangkan halaman depan berfungsi sebagai bengkel kerja. Bambu berbagai ukuran untuk bahan membuat kandang ayam, bertumpuk di bawah pohon waru yang rindang.
“Itu televisinya, Pak,” kata Mariam seraya mengarahkan telunjuknya di pojok ruang tamu.
Saya kembali menangis.[T]
BACA esai-esai lain dari penulisMADE WIRYA