“Lukisan saya membicarakan sesuatu yang tidak terkatakan oleh puisi saya, teater, grafis, atau seni yang lainnya. Lukisan saya mengatakan tentang garis, bidang, warna, dan barik. Unsur visual ini ditumbuhkan sebagaimana fungsi estetisnya masing-masing secara mandiri maupun saling berkaitan satu sama lain. Inilah arah dalam lukisan saya.” (-Hardiman-)1
Pada akhir dekade 80-an, tahun-tahun awal dimana Hardiman berpindah dari Bandung ke Bali untuk bertugas sebagai pengajar seni rupa di FKIP Unud (kini Undiksha Singaraja), ia terlibat dalam sebuah penelitian tentang salah satu unggas endemik pulau dewata yakni jalak bali.
Berbekal pengetahuanya pada dunia fotografi ia masuk ke hutan di Pulau Menjangan, pulau kecil yang ada di ujung barat pulau Bali yang menjadi habitat jalak Bali, untuk mengabadikan image burung putih nan cantik itu yang tengah diambang kepunahannya kala itu.
Usaha awalnya untuk berjumpa si jalak bali sia-sia. Ia mengaku sulit menemui burung jalak bali di alam liar sampai kemudian ia bertemu dengan para petugas di balai konservasi jalak bali di pulau tersebut. Pada mereka Hardiman lalu berdiskusi tentang seluk-beluk dan perilaku burung jalak bali sebagai burung yang pemalu. Setelah beberapa kali mencoba ia lalu berhasil mengamati dan memotret si burung pemalu itu.
Pengalaman terlibat dalam tim penelitian jalak bali tersebut bagaikan “cinta pada pandangan pertama” Hardiman pada si jalak bali. Si burung putih pemalu itu selalu hadir dalam kanvas-kanvas Hardiman sekaligus menandai periode berkesenian Hardiman selama di Bali.
Berbekal pengamatan langsung atas jalak bali yang berkelindan dalam memorinya, serta yang terbekukan dalam media foto hasil jepretanya, menjadi bagasi visual yang kemudian Hardiman olah sebagai pokok persoalan gagasan dalam lukisanya.
Sepanjang kariernya sebagai pelukis di Bali sekaligus menjadi pengajar seni rupa selama empat dekade lebih itu, beberapa kali Hardiman sudah memamerkan karya-karya dengan gubah rupa jalak Bali ini.
Di tahun 1997 misalnya, Hardiman menggelar pameran tunggalnya di Gallery Bandung. Dalam pameran itu Hardiman menampilkan karya-karya yang didominasi oleh lukisan dengan mengangkat jalak bali sebagai subject matter-nya. “Tentang Jalak Bali”, begitu judul yang Hardiman sematkan dalam pameran tunggalnya itu.
Jean Coeteu dalam tulisan pengantar pameran tersebut memaparkan bagaimana pergerakan gagasan Hardiman dalam melukiskan jalak bali dari yang pada mulanya lebih menitikberatkan pada aspek figuratif di awal-awal tahun 90-an menuju pada aspek formalistik.
“Di dalam karya-karyanya yang terakhir, terutama dari karya-karya pada tahun 1997, nampak perubahan-perubahan yang cukup besar. Objek figuratifnya jalak, tidak lagi menjadi elemen yang dominan dari kanvas. Dia dipecah-pecahkan di dalam unit-unit berkontur yang jelas yang secara visual yang lebih penting daripada objek representasi itu sendiri. Unit-unit warna berkontur itulah yang kini seakan bergerak hidup, secara otonom dalam kanvas, bukan objek representasi sendiri”2.
Lebih jauh Jean menulis ; “Keberadaan figuratif visualnya surut. Yang tinggal dari jalak hanyalah arketip-arketip yang menempati kanvas berdasarkan logika bentuk dan warna bukan lagi berdasarkan logika dari objek figurasi. Singkatnya kendati elemen-elemen oniris nan magis masih tersisa dari figurasi pada karya-karya itu, dan amat penting dalam penentuan mutunya logika estetisnya adalah logika abstrak” 3.
Apa yang dihadirkan oleh Hardiman dalam pameran tunggalnya yang berjudul “Tentang Jalak Bali” pada tahun 1997 itu dan menilik apa yang dipaparkan oleh Jean Coeteau selaku penulis pengantar pameran tersebut menunjukkan bagaimana visi ataupun konsep yang Hardiman anut sebagai seorang pelukis. Hal ini telah tersirat pada statemen Hardiman tentang lukisan dan bagaimana Ia melukis yang penulis kutip di bagian awal tulisan ini yakni “membicarakan sesuatu yang tidak terkatakan oleh puisi saya, teater, grafis, atau seni yang lainnya” 4.
Apa yang dimaksud Hardiman sebagai membicarakan sesuatu yang tak terkatakan oleh puisi ataupun bentuk seni yang lain, berarti dalam lukisannya Hardiman sedang membicarakan kekhasan wahana lukisan, apa yang segera bisa kita cerap rasakan ketika melihat sebuah lukisan pada sebidang kanvas adalah persepsi kita tentang warna, garis, bidang, ruang serta elemen elemen esensial lainya yang terhampar pada sebuah lukisan.
Hardiman, Jalak Bali #1, Acrylic pada canvas,, 30 x 40 cm, 2020
Hardiman sebagai pelukis sadar betul pada kekuatan yang esensial itu, sehingga secara sadar pula ia menempatkanya sebagai sebuah keyakinannya atas makna dari sebuah lukisan. Begitupun saat melukis jalak, yang terpenting bagi Hardiman bukan tentang apa itu jalak, melainkan bagaimana jalak dilukiskan. Jalak begitupun objek objek lain dalam lukisan lukisan Hardiman adalah titik berangkat dari upayanya untuk mencari esensi dari lukisan itu sendiri.
Visi dan konsep Hardiman sebagai pelukis yang sampai kini masih Ia yakini, tentu sangat kuat dipengaruhi oleh latar biografi estetik Hardiman. Ia terlahir dari proses studi melukis secara akademik di Bandung yang dikenal sebagai locus tempat suburnya ideologi estetik formalisme dalam medan seni rupa Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai mazab Bandung, atau yang oleh Hardiman sebut sebagai dialek Bandung.
Sebagaimana ia sering jelaskan kepada penulis dalam beberapa kesempatan berbincang dengannya;
“Saya yakin bahwa kesenilukisan saya sangat besar dipengaruhi lingkungan kesenirupaan saya di Bandung. Tahun 70an akhir hingga pertengahan 80an saya tinggal dan studi di IKIP Bandung. Lingkungan Bandung ini sangat mengepung pilihan Bahasa visual saya. Itulah dialek Bandung yang saya rasakan dari guru saya Popo Iskandar, Oho Garha,Hidayat, Nanna Banna, dan Bambang Sapto. Juga dari lingkungan Bandung lainnya seperti Ahmad Sadali, AD Pirous, Syamsudin Bimbo, Ummi Dahlan, Heyi Mamun, dll. Seni rupa Bandung tahun 70, 80an itu bagi saya adalah dialek visual yang menurunkan ikon-ikonnya dalam daya serap visual saya. Karena itulah lukisan bagi saya adalah persoalan visual belaka. Hal lain di luar itu hanyalan bumbu yang menghilangkan unsur pokok. Saya mungkin seorang formalis yang hanya percaya pada persoalan visual saja.” 5
Berbekal bagasi pengalaman dalam mencerap ideologi estetis di Bandung tahun 70-an hingga 80-an yang ia dapatkan selama masa studi di Bandung itu, terutama pada kesadaran Hardiman dalam menempatkkanya sebagai anutan estetik yang tetap ia yakini sebagaimana pernyataanya yang menyatakan diri sebagai seorang formalis yang hanya percaya pada persoalan visual saja, tentu saja dapat terbaca dalam lukisan-lukisanya sampai hari ini. Termasuk ketika ia ke Bali pada akhir tahun 80-an untuk mengabdikan diri sebagai pendidik seni lalu berjumpa dengan jalak Bali sampai pada ketertarikanya untuk melukiskan dalam karya-karyanya.
Bagaimana Hardiman melukis jalak bali sejak awal kedatanganya ke Bali sampai kini menarik untuk dicermati.
Kurator Rizki Ahmad Zaelani dalam ulasan kutratorialnya pada pameran tunggal Hardiman yang berjudul “Harakat Warna Hardiman” di Galleri Zen1 Kesiman pada tahun 2023, memaparkan tentang hal ini.
Dalam esay kuratorialnya Rizki Zaelani menuliskan; “Pertemuan atau temuan Hardiman dengan dan tentang burung jalak Bali tentu saja memiliki yang penting. Siapakah atau apakah burung jalak Bali itu? Apakah tentang dirinya? Atau soal budaya dan masyarakat Bali? Pertanyaan itu bisa kita simpan dan manfaatkan sepanjang kita menikmati dan menghayati ekspresi lukisan-lukisan seri jalak bali Hardiman. Burung jalak jelas bagian dari masalah jati diri Hardiman. Ia kini punya kampung halaman yang dibangun dan ditinggalinya sebagai rumah dan studio berkarya, kota Singaraja Bali. Seri karya jalak Bali, saya rasa tidak bisa dipisahkan dari karya sebelumnya yang berkaitan dengan gagasan pengalaman dirinya yang membangun atau mengkontruksi siapa dirinya di Bali” 6.
Lebih jauh lagi Rizki Zaelani melihat adanya hungungan ataupun kesadaran simbolik yang terlihat dalam seri lukisan jalak Bali Hardiman dengan diri dan eksistensinya kini sebagai pelukis di Bali. Ia menyebutkan bahwa Hardiman telah berhasil menata tanda tanda simbolik jalak bali dan mencoba mengundang kita untuk masuk ke dalam tanda tersebut, karena Hardiman telah berupaya menjadikan nyata nilai dari hijrahnya Hardiman dari Bandung ke Bali berhadapan dengan budaya yang terasa baru baginya7.
Hardiman, Jalak Bali #4, Acrylic pada canvas,, 30 x 40 cm, 2019
Apa yang dianalis oleh Rizki Zaelani ini ketika mengulas karya-karya pada pameran tunggal Hardiman tahun lalu (2023) seturut pula dengan apa yang kerap Hardiman paparkan kepada penulis dalam beberapa kali kesempatan berbincang dengannya.
Secara eksplisit Hardiman kerap kali bercerita bahwa ada banyak hal yang mengimpresi dirinya ketika pertama kali datang ke Bali khususnya ke kota Singaraja. Salah satu yang mengimpresinya adalah pada persoalan warna. Di makanan tradisional, di arsitektur, di pakaian dan pada ikon ikon budaya Bali lainya ia melihat adanya warna yang khas, warna yang berbeda dengan apa yang dulu sering Ia lihat di Bandung8.
Warna-warna itu yang kemudian berpengaruh dalam karya-karyanya dan semakin Ia sadari dan ingin Ia eksplorasi lebih jauh dalam karya-karyanya. Kesadaran tentang warna ini semakin menguat ketika Ia memutuskan untuk mulai aktif kembali melukis pasca dirinya mengalami serangan stroke pada tahun 2012.
Pada periode ini Hardiman menghabiskan hari harinya dengan melukis selain tetap mengajar. Puluhan lukisan telah Hardiman kerjakan selama periode ini yang menunjukkan bagaimana semangat dan gairahnya dalam berkarya tak pernah surut bahkan semakin produktif walaupun gerak tubuhnya kian terbatas karena serangan stroke ataupun pada usia yang kian menua. Namun sekali lagi , burung jalak Bali masih kerap hadir menjadi objek-objek dalam lukisannya.
Maka dalam momentum pameran tunggalnya yang bertajuk “Hardiman; Sekali Lagi Jalak Bali” Hardiman secara khusus menampilkan seri karya-karya jalak-nya. Ada satu pertanyaan yang segera menyergap kita ketika menyimak pameran tunggalnya kali ini yang menampilkan objek jalak Bali jika dibandingkan dengan pameranya pada tahun 1997 (Tentang Jalak Bali) yang secara khusus juga menampilkan objek jalak Bali?
Hal- hal yang segera dapat kita saksikan adalah pada karya-karyanya kali ini adalah pada aspek warna. Warna-warna yang hadir dalam karya-karyanya kini memperlihatkan permainan warna-warna yang bernada lebih kontras, dari karya pada pameran Tentang jalak Bali pada tahun 1997.
Disamping itu kehadiran tekstur juga makin dominan dalam karya-karyanya serta bagaimana Hardiman semakin menjauh dari tampilan figurasi utuh atas jalak Bali. Kecenderungan visual yang semakin menguat yang tanda tanda kehadirannya mulai terasa pada pameran tunggal Tentang Jalak Bali pada tahun 1997.
Hardiman, Jalak Bali #3, Acrylic pada canvas,, 30 x 40 cm, 2020
Pada akhirnya dalam pameran tunggal Hardiman ; Sekali Lagi Jalak Bali adalah sebuah momentum yang menegaskan bagaimana visi berkesenian Hardiman yang khusuk menggumuli aspek formalisme sebagai landasan konseptual dalam karyanya. Kekhusukan Hardiman pada wilayah formalisme dengan titik berangkat pada persoalan figuratif ini (jalak Bali sebagai objek) sesungguhnya bisa menjadi catatan tersendiri dalam melihat bagaimana perkembangan dan kemunculan formalisme pada karya-karya perupa Bali generasi 70-80 hingga 90-an.
Jika berbicara formalisme maupun modernisme dalam karya seni rupa maka ingatan kita hanya akan langsung tertuju pada seni abstrak. Namun jika kita cermati dan gali lebih jauh kehadiran formalisme dalam seni rupa Bali juga terlihat pada segelintir karya-karya perupa Bali pada generasi tersebut mengolah dan mengeksplorasi figur ataupun objek representatif namun dalam kerangka melepaskan konsep maupun argumentasi mereka atas narasi ataupun aspek konteks di luar seni rupa.
Kekhusukan Hardiman sebagai seorang formalis ini menarik untuk dicatat dalam perkembangan dunia seni rupa Bali.
Akhir kata penulis ingin menutup tulisan pengantar pameran ini dengan satu kutipan statemen Hardiman tentang visinya sebagai pelukis;
“Tak masalah bagi saya. Ini (formalisme) mungkin masa lalu dalam konsep seni rupa kontemporer. Tak masalah. Bukankah prinsip “apapun boleh” dalam seni rupa kontemporer yang artinya formalis pun boleh?” 9
Selamat berpameran Guru…….
Catatan;
1. Statemen Hardiman
2. Lihat tulisan pengantar pameran Jean Coeteu pada katalog pameran tunggal Hardiman di Galeri Bandung, tahun 1997
3. Ibid
4. Statemen Hardiman
5. Ibid
6. Lihat tulisan kuratorial Rizki Ahmad Zaelani pada katalog pameran tunggal Harakat Warna Hardiman di Galeri Zen1 Kesiman, pada 2023
7. Ibid
8. Pernyataan ini kerap kali disampaikan kepada saya selaku penulis pameran dalam beberapa kali perbincangan dengan beliau.
9. Statemen Hardiman
- Artikel ini adalah catatan kuratorial Pameran Tunggal Perupa Hardiman, 5 Maret hingga Mei 2024 di The Gallery Maya Sanur