Lima Kurma, Telur, dan Tepung
Saat sahur tiba..
Ibu terlihat gelisah–khawatir
Di depan tungku hanya melihat
Ada dua telur, dan sekantong tepung
Dari plastik kecil
Aku merasa kesedihan itu ada di dalam batin ibu sangat dalam
Aku menghampirinya dekat dekat. Tapi, kesedihan justru menghilang
begitu cepat dari wajahnya. Begitu cepat,
Sangat mungkin ibu menyembunyikan itu dariku. Sangat mungkin,
Sedihnya yang tak ku mengerti 15 tahun yang lalu,
Selalu disembunyikannya sampai hari ini–jika Ramadhan menjelang?!
Ibu berdiri. Menunjukan sesuatu–tangan ibu;
Terampil membuat keduanya menjadi makanan lezat
Seperti martabak di pinggir jalan raya utama. Ada nasi goreng juga ibu buat
Tercium wanginya lezat masih hangat untuk kami makan sahur
Berpuasa—berbahagia.
Saat berbuka tiba..
Berganti Abah tampak yang bersedih
Melihat ibu hanya memandangi ada lima kurma
Di tudung saji di dapur
Sebelum tenggelam dari air mata hampir
Jatuh di wajah ibu. Ia pergi sebentar tanpa pamit
Entah ke pada siapa. Entah kemana Abah hendak pergi–
Diam diam
Abah pulang membawa roti tawar sesudah itu,
Memperjelas wajah ibu sebenarnya tersenyum,
dan bukan sedang bersedih melihat tudung saji–mengingatku
Membawa susu saset dan satu botol sirop.
Sebelum azan maghrib tiba–abah datang tepat waktu
Aku senang,
Segera ibu menyambut. Membuka pintu,
Membuka tudung bahagia: Diambilnya kurma dan
Dibaginya kami satu satu. Dan roti, segelas sirop.
Kami berbuka—berbahagia.
2024
Aku Orang Kotor Membelah Langit Mereka dengan Marah
tak kutemukan tubuh ‘Bumi’ hidup telanjang
di dalam pikiranku
sebab aku mencintainya. bukan saja sebab birahi,
tapi memang dengan cinta–dengan harapan.
tapi aku sedang marah!
melihat mereka juatru membiarkan tubuh ‘Bumi’ telanjang
dan menyucikannya dengan doa selalu setelah—
dan itu adalah pelacuran…pelacuran…pelacuran…
melacurkan diri ke pada tuhan mereka setelah—
dan Tuhan seperti menikmatinya: Tuhan selalu membiarkan doa
lolos mereka setelah—walau langit sudah kotor
Walau bumi dibuatnya kotor.
sebab itu aku marah. marah marah. dengan sajak orang kotor sepertiku,
biarlah sendiri. biarlah membelah langit dari doa doa culas mereka
pula dengan kotor. dengan marah. dengan marah marah,
sendiri,
sajaku menyelinap menggugatnya datang mencari,
O Tuhan/Tuan/Nyonya—Penyihir,
keluarlah kau di mana? Keparat!
2024
Memotong Hari
Aku ingin memotong hariku
mematikannya hanya setengah
dan dengan setengahnyalah aku hidup
lebih padat lebih baik
Aku ingin memotong hariku
membuang yang mati setengahnya lari
pada trotoar dekat warung tempat mereka
menyalakan rokok dan memancing cinta
agar pula hidup–sama sama hidup
Pada pendatang wajah wajah tak serupa di sana–
hari baik atau keberuntungan yang muncul. Atas merekalah
perempuan di dalamnya–penjajak. Atau pencinta dapat bertemu
2024
Ingatanku Kepada Kematian
Seorang tua menceruk kematiannya pada
kertas bertuliskan—sajak abadi sebelum mati.
Pada sebuah surat kecil—puisi lima bait. Seakan ia tahu
sebentar lagi maut akan datang padanya. Sebentar lagi.
Hingga teringatlah aku kepada kematianku sendiri—kapan?!
Jika memang waktuku masih panjang. Dalam menghabiskannya
umur hidup–penuh remuk tulang dada oleh nasib buruk
tanpa henti hentinya datang;
Mesti menceruk apa jika aku sudah tua nanti? Dan kepada siapa
kematianku mesti dikabarkan?
2024
Abu—Nyonya Ayu
“Kekasih, lagu apa yang sedang kau dengar–dan suka?”
Kekasih menjawab, “Abu. Ya, ‘Abu’. Dari Nyonya Ayu. Ya!”
Sebentar aku mencari–untuk didengar pula,
Dan lekas aku bertanya terakhir di hari itu.
“Apakah ‘Abu’ kau bayangkan aku?”
Kekasih menjawab pula dalam terakhir di waktu yang sama
“Tentu bukan. Sangat bukan!”
Aku terdiam—
setengah ingin mati hidup penuh malu,
segera kuganti menyesali lagu kudengar itu–
dengan ‘Juwita Malam’.
“..aku terpikat masuk perangkap!”
2024