“Singa itu tak pernah benar-benar kembali. Tugu itu juga tak ada yang memperhatikan lagi. Apakah singanya masih ada atau tidak. Semua masyarakat kota singa sibuk mencari uang untuk biaya hidup sehari-hari. Mereka tak pernah peduli pada apapun lagi. Setelah pandemi semua menjadi giat bekerja kembali demi menebus hutang-hutang yang menumpuk tanpa henti. Semua harus bergulir demi sesuap nasi. Dan perkara singa yang datang dan pergi. Siapa yang mau peduli! Masyarakat kota seolah-olah tak peduli lagi. Tak perlu singa, tak perlu tugu, bahkan pemimpin pun tak perlu lagi. Pemimpin kota ini hanyalah pemimpin seolah-olah—seolah-olah ada, seolah-olah bekerja, seolah-olah memelihara kota, semuanya seolah-olah.“
BAGAIKAN sebuah pertunjukan monolog di kerumunan yang hening, Kadek Sonia Piscayanti membacakan cerita pendek Kisah dari Negeri Tanpa Singa. Cerpen itu, yang ia tulis sendiri, dibacakan di depan peserta Workshop Menulis Cerita, rangkaian acara Mahima March March March di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu, 17 Maret 2024.
Masih panjang sebenarnya cerita tentang singa dan kota yang ia bacakan. Sebuah cerita yang terlanjur disimak serius oleh saya dan peserta workshop lainnya. Semua larut dalam hening mendengarkan Sonia yang bak seorang nenek yang sedang mendongeng kepada cucu-cucunya.
Peserta yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa itu dibius oleh Kisah Dari Negeri Tanpa Singa—bertabur lihai ekspresi wajah pencerita (Sonia). Cerpen itu merupakan cerita pendek ketiga yang ditulis Sonia tentang pengalaman imajinernya tentang “Tugu Patung Singa” di Kota Singaraja—sebuah patung singa yang konon mitosnya bisa bergerak sendiri di malam hari.
“Bagi saya tugu itu bukan sekadar tugu. Tugu itu memang harus ada di situ. Saya membayangkan jika suatu hari tugu itu nggak ada maka perasaan kita sebagai warga kota itu akan berubah”—alasan Sonia kenapa menulis cerita tentang itu.
Sementara di lain sisi, saya sendiri hanya sibuk memikirkan tentang: bagaimana Sonia bisa menulis cerita seperti itu? Dari mana ia mendapatkan ide cerita yang di luar nurul?
Mungkinkah dari mitos tentang patung singa itu, akan tetapi cerita yang ia bangun dalam cerpennya jauh lebih gawat dari mitos patung singanya. Sonia menulis singanya hilang, bukan sekadar bergerak. Amat darurat bukan?
Tetapi perlu digari bawahi, seorang Kadek Sonia Piscayanti bisa saja menulis semua manusia di bumi ini hilang atau semua lelaki berubah jadi kucing. Semau-maunya dan sebabas pikirannya. Tidak ada yang mustahil untuk ditulis bagi seorang penyair seperti Sonia. Penulis iya, sastrawan iya, akademisi juga iya. Tak perlu dijelaskan track record-nya dalam kepenulisan.
Nah, pertanyaanya, bisakah kita meramu cerita seperti Sonia? Yang sudah menulis sedari zaman cinta monyet. Sedangkan kita, terbiasa menjiplak kata-kata bijak yang lewat di Tiktok. Menulis status Facebook aja perlu bertapa tujuh hari tujuh malam. Bisakah kita membangun cerita seperti Sonia? Sedang kita ini dibilang penulis aja nanggung, penyair juga bukan, apalagi akademisi—tamat aja belum.
Peserta workshop menulis cerita | Foto: Rusdy
Ternyata menulis cerita tak semudah bersilat lidah depan pacar atau ngegosipin politikus di tongkrongan. Tak selancar curhatan teman yang sedang gegana (gelisah galau merana).
Tapi sebelum negara api menyerang kamu bosan membaca tulisan saya. Coba pikirkan kenapa kita harus menulis cerita?
Ada ungkapan “orang hebat lahir dari pemikiran gila.”
Sebelum nanti jadi hebat, sekarang pikiran gila apa yang ada di benakmu? Saya tidak bermaksud mengajak untuk berandai-andai menjadi orang hebat. Maksud saya, kita bisa saja berpikir sehebat Sonia. Atau punya imajinasi liar yang melebihi Djenar Maesa Ayu, misalnya.
Kisah hidup yang kita alami bisa saja jauh lebih berdrama dari film Korea, imajinasi kita bisa saja lebih seru dari film Harri Potter. Namun, tetap saja itu masih dalam benak pikiran.“Ide boleh hebat. Tapi kalau tidak dituliskan tetap saja tidak akan menjadi apa-apa,” ungkap Sonia.
Besok atau beberapa jam lagi kepala kita bisa saja ketiban durian runtuh atau beradu bentur dengan banteng, bisa saja tetiba amnesia. Kita tak bisa mengatur ingatan dan imajinasi untuk tetap bertahan di dalam kepala. Akan ada aja bagian yang hilang atau terlupakan.
Jikalau pun jadi cerita dari mulut ke mulut, memangnya ada berapa mulut yang mampu bertutur meneruskan tentang apa-apa yang kita rasakan dan pikirkan? Ada berapa telingan yang mampu terjangkau? Tentu tidak banyak dan tak akan bertahan lama.
Untuk hal itu Sonia mencoba memberikan alasan yang sederhana. “Cerita itu bisa untuk mengenang orang-orang yang kita sayangi.”Selain itu, Sonia yakin walaupun sebuah cerita yang dituliskan belum relate dengan apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain kini. Akan tetapi, suatu waktu bisa saja ceritanya menyentuh dan menggugah orang-orang.
Jika sebuah cerita ditulis, maka tak sulit pula untuk tersebar luas. Menjangkau orang-orang yang tak pernah kita kenal dan tahu. Cerita akan hidup dan bermekaran di mana-mana. Esok atau lusa, kini atau nanti. Aseeekkk.
Lagi pula, jika tidak terbiasa bertutur atau berbicara menyampaikan isi pikiran, maka siap-siaplah terbata-bata atau bingung dengan kata apa yang harus keluar. Jangan heran jika cerita yang seharusnya lucu bisa jadi boring, cerita yang menegangkan bisa jadi datar, cerita yang sedih bisa jadi biasa—kalau tak terbiasa menyampaikan sebuah cerita.
Menulis bisa jadi cara merapikan lagi bahasa dalam menyampaikan sesuatu. Dengan menulis kita bisa belajar menentukan dan mengevaluasi bagaimana cocoknya sebuah cerita berawal dan berakhir. Ada waktu untuk menentukan kata-kata dan alur cerita. “Kamu menuliskan cerita itu karena yakin tidak ada cara lain lagi selain menulis agar orang sampai pada cerita yang ingin kita ungkapkan,”kata Sonia.
Saya pikir, yang paling penting selain mengabadikan kenangan bersama orang tersayang adalah mengabadikan diri yang pernah hidup. “Menulis cerita itu karena kalau kita tidak menuliskannya maka cerita itu akan dibawa sampai mati,” kata Sonia lagi.
Wah, sayang bangat nggak sih. Bisa jadi ada satu juta cerita dalam dirimu, tapi karena tidak ditulis itu akan sirna bersama jasadmu kelak. Kok jadi gawat gini yah?
Oke, epribadi. Balik lagi ke persoalan awal. Bagaimana kita bisa selancar Sonia dalam menulis cerita? Ingat baik-baik! Menulis cerita tak segampang mendengarkan cerita.
Saya pernah duduk tertegun mendengarkan cerita ulasan sepak bola dari seorang teman kos. Bak komentator ulung. Strategi menyerang dan bertahan kedua klub bola dikupas sampai ke akar-akarnya. Rekam jejak semua pemain, mungkin sampai penonton yang ada di tribun dia hafal. Sayangnya, ketika saya menyarankannya untuk menulis cerita itu, dia seketika berubah menjadi anak SD yang baru mengenal S-P-O-K (Subjek/Predikat/Objek/Keterangan).
Menulis satu kalimat saja malah nanya balik ke saya, “Seperti apa kata-kata yang harus ditulis, Rus?” Padalah ia tinggal mentraskrip apa yang baru saja keluar dari mulutnya.
Persoalan utama teman yang satu itu memaksa ingin menulis dengan kata-kata dan kalimat yang luar biasa hingga luar binasa—luar kendali bahkan. Seandainya bisa, ia ingin memakai kata-kata di universe lain.
Saya kira benar juga kegelisahan seorang kawan dulu, Anif Ahmad Alhaki namanya. Ia sempat menulis di laman tatkala.co, “Pada saat menulis, saya sering sekali menggonta-ganti kata, menggonta-ganti kalimat, seakan-akan bahasa saya harus harus harus bahasa luar biasa bahkan kalau bisa bahasa luar angkasa. Tidak hanya sekedar bahasanya saja yang harus luar biasa, tapi isinya pun saya wajibkan di luar perkara.” Begitu tulisnya beberapa tahun lalu pada era ia sedang berusaha menyaingi Puthut EA.
Saya pun demikian. Sedari dulu banyak hal yang ingin saya tulis sebagai secarik cerita. Tapi balik lagi, keinginan saya hanya kristal angan-angan. Terhenti karena bingung memikirkan bagaimana alur dalam kepenulisan cerita, bagaimana membangun dan menghidupkan kembali pengalaman diri dalam sebuah cerita. Kata apa yang harus saya tulis pertama. Bagaimana rangkaian kalimatnya. Rasa-rasanya pengen service otak biar cair. Susahnya tak bisa diajak berkompromi.
Sampai pada tulisan ini dimuat, saya masih sepakat dan percaya dengan Mahfud Ikhwan, ia tidak sedang bercanda dengan ungkapanya, “Yang gampang itu menumis, menulis sih tidak.” Perkataan ini amat serius bagi saya.
Permasalahan ini memang kerap kali terjadi pada seorang pemula dalam menulis. Tulisannya seolah-olah harus disertai rujukan yang banyak, harus menurut ini/menurut itu, dikutip dari sana-sini, dan kalau bisa tulisannya penuh istilah asing—bila perlu kamus dan Googletidak mampu menjangkauanya. Saya pun demikian.
Begitulah, epribadi. Kita kembali saja ke seorang Kadek Sonia Piscayanti, yang berbaik hati dan tidak sombong menyampaikan hal yang perlu untuk kepemulaan kita dalam menulis. Barangkali memang perlu kita tahu sebagai seorang pemula.
Pengetahuan gratis ini Sonia bagikan cuma-cuma lewat workshop menulis yang saya ikuti. Bisa jadi ini tidak penting bagi orang lain, tapi setidaknya penting bagi saya—sepenting tulisan ini harus selesai.
Seperti Salat, Membaca Adalah Tiang—Menulis
Kira-kira kenapa Pramodya Ananta Toer bisa menulis cerita yang membuat orang berandai-andai menjadi sosok Minke—saking heroiknya cerita Minke di Novel Bumi Manusia yang ia tulis. Atau, bagaimana Seno Gumira Ajidarma membuat orang berandai-andai pula ingin mencuri matahari tenggelam seperti sosok Sukap dalam cerpennya.
Dan kenapa dua orang di atas seolah bisa dengan lancar mengarang ratusan halaman hanya dengan sekali kedipan mata. Jangan-jangan di otaknya Pram dan Seno tertanam chip. Kata-kata bisa keluar begitu saja sesuai keinginan. Ide-ide bisa mengalir deras dari tangan mereka.
Percaya atau tidak, mereka berdua bisa seperti itu karena telah membaca ribuan karya dan tulisan orang lain. Di otak mereka sama sekali tak ada chip dan hal-hal aneh lainnya. Otaknya penuh dengan buku. Tidak ada istilah over kapasistas bagi otak Pram dan Seno, mereka melahap buku sedari duduk di bangku sekolah dasar.
Peserta workshop menulis cerita foto bersama Kadek Sonia | Foto: Rusdy
Ada ungkapan “membaca” adalah cara memasukkan pengetahuan dan “menulis” adalah cara mengeluarkan kembali pengetahuan. Untuk menulis sehebat Pram dan Seno, ya kita harus baca tulisan mereka. Untuk awal-awal bisa saja tulisan kita meniru gaya tulisan mereka—sampai kita bisa menemukan gaya kepenulisan sendiri.
Untuk menemukan kata-kata yang tidak biasa maka perbendaharaan kata harus banyak. Membaca adalah cara paling ampuh menambah cadangan kosa-kota. Jika salat adalah tiang agama, maka membaca adalah tiang menulis.
“Perbanyak membaca!”pesan singkat yang serius dari Sonia.
Hindari Hal-Hal yang Klise
Klise adalah bahasa atau kata-kata yang sering kali dipakai. Sesuatu yang sudah dianggap “biasa” memang kerap “tidak menarik” lagi—sama seperti doi.
Pada suatu hari, lalu kemudian, setelah itu, akhirnya dan ungkapan lain yang dianggap klise seperti itu, tak akan merusak kebaruan bahasa cerita jika komposisinya pas. Namun tetap saja, tidak mudah menempatkan komposisi kalimat yang enak dibaca. Bagi pemula, menyusun ungkapan cerita yang terbebas dari kata-kata klise seperti itu terlampau sulit.
Kehidupan kita terlanjur terbiasa dengan kata-kata template. Tentu kita bukan penyair seperti Chairil Anwar—yang untuk mengatakan kesepian saja, ia mengungkapkannya dengan mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Kita bukan Zainuddin dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, yang bisa mengungkapkan penolakannya dengan kalimat: “Pantang pohon pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.”
Mampus kita dikoyak-koyak klise.Lalu bagaimana orang biasa yang hidup serba biasa seperti kita bisa menulis cerita yang tidak klise? Sungguh bertanya pun kita masih klise.
Di sela-sela kami menyimak Kadek Sonia Piscayanti yang sedang gigih memahamkan soal menulis cerita. Tanpa aba-aba, seorang peserta laki-laki di pojok mengankat tanganya. “Bagaimana menulis cerita dengan bahasa yang tidak biasa?” tanyanya. Sedikit kaget Sonia menjawab, “Bermeditasi.”
Entah ini jawaban pasrah atau apa. Tetapi, saya mencoba menerka yang dimaksud Sonia, barangkali menulis dengan bahasa yang tidak biasa itu perlu proses—tidak bisa serta-merta terjadi begitu saja.
“Drama, puisi, cerpen, dan novel itu hampir sama, kekuatannya ada di pemilihan kata. Kalau sudah terbiasa memilih kata, kita bakal tau mana kata-kata yang cocok untuk sebuah tulisan. Kepekaan terhadap kata-kata berasal dari pikiran yang terus dilatih. Pikiran-pikiran unik itu harus dirangsang,”lanjut Sonia.
Nah, PR kita selanjutnya adalah memikirkan cara merangsang pikiran. Silakan pikir sendiri. Rangsang sendiri. Ingat! “Pikirkan cara merangsang pikiran”, bukan “Pikirkan yang ‘merangsang’ seperti dipikiranmu saat ini.” Dasar otak gorong-gorong.
Sebelum Orang Lain Terkejut, Kejutkan Dirimu
Sebentar, ini bukan maksudnya kamu harus pura-pura kaget lebih dulu di depan orang lain sebelum orang itu seolah-olah ikutan kaget. Nggak gitu. Bukan, bukan itu maksudnya. Ini bukan soal kaget-kagetan biasa.
Ini tidak jauh beda dengan kemampuan pemilihan kata. Mampuhkan ungkapan dalam cerita menyentuh emosional orang. Orang bisa ikutan sedih, marah, dan tertawa sewaktu membaca sebuah cerita karena untaian kata di dalam tulisan menembus perasaannya. Bahasa perasaan banyak dimainkan.
Dan satu-satunya orang pertama yang harus memastikan tulisan itu punya daya tarik emosional adalah diri kita sendiri. Sederhananya, tulisan cerita itu harus terus dievaluasi. Jika kamu sendiri saja muntah membaca tulisanmu, bisa dipastikan orang lain alergi dengan tulisan itu.
“Sebelum tulisanmu menyerang mental orang lain, pastikan mental diri sendiri dulu yang terserang,” tutur Sonia. Bila perlu, agar terlihat serius menyerang, tidak apa-apa bekali aja dengan parang atau kapak. Menyerang-kan sudah itu.
Cuman terkait kejut-kejutan yang satu ini, tidak semua orang punya level keterkejutan yang sama. Perlu diperhatikan keterkejutan seperti apa yang ingin dicapai.
“Ketika kamu dirayu dengan ‘kau cantik bagaikan rembulan di malam gelap’ dan membuatmu girang setengah mati. Keterkejutanmu itu udah low level sekali. Perlu diasah lagi level surprisenya,” ujar Sonia.
Saran saya, untuk lelaki yang pengen melatih gombalan dahsyat yang mampu membumihanguskan hati wanita, coba perbanyak nonton akun ig @garenbj. Dijamin deh pokoknya. “Kata-kata hari ini”-nya garenbj bisa langsung dipraktekkin ke doi. Bikin dia klepak-klupuk seperti kupu-kupu hutan.
Oke. Cukup sudah, epribadi. Untuk mengakhiri celotehan ini, saya ingin mengutip perkataan Kadek Sonia Piscayanti pada sebuah diskusi buku Komunitas Mahima 5 tahun lalu:
“Menulislah karena menulis adalah bagian dari mengabadikan pikiran. Pikiran kita setiap waktu terus berubah. Kita akan melihat perbedaan pikiran kita yang ada di setiap masa jika kita rajin menulis pikiran kita setiap waktunya.” Itu.[T]