TIDAK terasa Ramadan tahun 2024 sudah di depan mata. Rasanya tinggal menghitung hari, seperti melihat matahari yang mulai muncul dari timur, perlahan-perlahan namun berlalu. Tidak sedikit orang yang merasakan hal ini. “Perasaan baru kemarin, ini kok sudah Ramadan lagi.” Begitu celotehan seorang kawan seusai mengisap rokoknya.
Memang benar. Barangkali kita terlalu sibuk dengan dunia yang fana ini. Sampai-sampai kita sering kali luput dengan hal yang penting bagi umat Islam diseluruh dunia ini. Bulan Ramadan adalah bulan penuh ampunan—bahkan doa orang yang penuh dosa seperti saya ringan saja diampuni.
Ramadan merupakan bulan suci yang selalu ditunggu-tunggu oleh umat Islam—walaupun mungkin tidak semua. Di mana bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan Allah ini, seringkali menjadikan diri kita merasa dekat dengan kebaikan-kebaikan dan pantang melakukan kemaksiatan.
Beberapa tahun belakangan ini, saya menjalankan ibadah puasa Ramadan di tempat yang istimewa, yakni di Bali—tempat eksotik yang memanjakan mata para turis. Selain eksotis, Bali juga terkenal dengan pluralismenya. Barangkali ini juga termasuk salah satu keistimewaan Pulau Seribu Pura ini.
Kalau membahas soal ini, sering sekali saya teringat kata-kata Gus Dur bahwa Bali memang tempat paling pluralis di Indonesia. Kelima agama—yang resmi diakui pemerintah—hidup damai dan saling toleran satu sama lain, dan nyaris tanpa ada perpecahan, meski kadang ada sedikit riak-riak itu.
Tapi, selama enam tahun hidup di Bali, tepatnya di Buleleng, alih-alih menemukan pertikaian, justru malah lebih banyak mendapati keharmonisan.
Contoh paling sederhana, hampir setiap bulan Puasa di Buleleng, tentu juga di tempat lain, saat menjelang berbuka, banyak sekali warung atau pasar kaget yang menjajakan sembarang kudapan.
Saat Ramadan, di beberapa tempat di Buleleng sangatlah ramai, apalagi saat sore hari. Banyak orang menghabiskan waktu untuk sekadar jalan-jalan atau mencari makanan dan minuman untuk menu berbuka puasa. Kita sering menyebut kegiatan itu “ngabuburit”.
Orang ngabuburit bisa tersebar di mana-mana, tapi biasanya paling banyak di tempat-tempat permukiman umat Islam, seperti misalnya di Jalan Jeruk Kampung Anyar—yang sering saya kunjungi.
Di Jalan Jeruk Kampung Anyar banyak kuliner yang tersaji. Mulai dari jajanan kue basah, kolak buah, aneka es, gorengan, serta menu berbuka lainnya, yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.
Semua kudapan sangat terjangkau—bahkan beli 2000 perak pun dilayani sama penjualnya. Hal ini tentu sangat membantu mahasiswa perantau seperti saya di tengah harga sembako yang makin hari makin melambung.
Sebagai mahasiswa yang minim buget, tentu saja saya senang menghabiskan waktu sore di sana. Bahkan, kadang, saya ke sana bukan untuk membeli makanan buka puasa, tapi sekadar jalan-jalan saja—karena bagi saya, kalau tidak bisa belanja, jalan-jalan saja sudah cukup.
Dan ini yang indah, pembeli bukan hanya dari kalangan Muslim saja, tapi juga orang Hindu dan umat beragama lainnya. Banyak rekan kampus saya yang non Muslim tak jarang ikut memborong jajanan di sana. Sebuah wajah pluralisme yang harmonis.
Sampai sini saya berpikir bahwa kesenangan, keceriaan, kegembiraan Ramadan sepertinya memang bukan hanya untuk orang Islam saja, tapi untuk semua yang hidup di muka bumi.
Tapi tampaknya wajah harmonisasi antarumat beragama di Buleleng, saat puasa, tidak hanya muncul di pasar kaget di dalam gang, seperti Jalan Jeruk saja. Wajah itu juga tampak pada saat salat Tarawih—salah satu ibadah di bulan Puasa yang hukumnya sunah yang biasanya dikerjakan saat sehabis salat Isya.
Pasalnya, saat salat Tarawih di Bali, banyak Pecalang—semacam petugas keamanan adat yang notabene mayoritas Hindu—yang membantu Banser atau Kokam dalam mengamankan dan menjaga umat Islam saat beribadah di masjid dari gangguan-gangguan yang mungkin tak terduga. Meski terkenal dengan kota yang toleran, tidak ada salahnya juga melakukan pengamanan, ibarat sedia payung sebelum hujan.
Hal tak biasa itu, setidaknya bagi saya yang dari Jawa, saat pertama kali menginjakan kaki di Bali, saat baru masuk kuliah, sempat membuat saya bertanya-tanya. “Kenapa di masjid ada Pecalang?” Belakangan saya tahu bahwa mereka sedang membantu, memastikan, dan menjaga ketertiban, keamanan, kenyamanan umat Islam saat beribadah.
Pada akhirnya saya paham bahwa Bali tidak hanya sekadar yang saya bayangkan sebelumnya—atau bayangan masyarakat Indonesia pada umumnya—yang menganggap Bali hanya memiliki keindahan alam saja, tapi lebih dari itu, selain banyak keunikan kultur budaya yang menarik, juga memiliki sesuatu seperti yang saya jelaskan di atas.
Sampai di sini, saya berharap, bulan Ramadan tahun ini bisa menjadi tonggak awal perdamaian seluruh umat yang ada di dunia. Karena, di bulan suci—yang penuh berkah—tahun ini, umat Hindu juga akan merayakan Hari Raya Nyepi. Ini sesuatu yang baik, yang saya percaya bukan sebuah kebetulan belaka, yang perlu kita renungi bersama.[T]