SEPERTI biasa, jam 9 saya sudah standby di tempat praktik di sebuah hotel di kawasan Ubud. Bekerja di tempat seperti ini membuat saya belajar arti sebuah kedisiplinan, sapa-senyum-salam, saling menghargai, grooming/penampilan, dan bertanggung jawab.
Wacana di atas tidak hanya sekadar berada di atas kertas. Mulai dari bagian gapura hingga bagian lebih dalam kita belajar profesionalisme. Di bagian depan, misalnya, bagian security, dengan profesional biasanya ramah saat melakukan pemeriksaan suhu dengan thermometer gun serta mengarahkan ke tempat yang akan kita tuju. Tak lupa, ia juga akan cek barang bawaan kita untuk menjaga keamanan.
Sering saya berada di depan mesin absen sidik jari. Berbagai tipe karyawan sangat rajin berjalan ke mesin absen dengan tak tergopoh-gopoh. Ada juga yang datang berlarian, untung saja lantai tak semulus paha personel JKT 48. Hehe. Namun, yang begini hanya hitungan jari dan hebatnya tidak ada yang terlambat.
Dari pengamatan ini saya implementasikan di tim medis kami. Doktrinnya sederhana, yakni tidak memaklumi istilah terlambat kecuali force majeure. Pilihannya ada dua, yaitu on time atau before time. Di dunia medis, setiap keterlambatan 10 menit berakibat satu orang akan mati. Jika terjadi kondisi darurat seperti tersumbatnya jalan napas atau serangan jantung maka tindakan cepat dan tepat adalah suatu keharusan.
Saya sering bercanda kepada pasien. Hei, tahukah kalian, apa yang lebih sensitif ketimbang cewek? (maaf ya cewek-cewek). Ya, itu adalah otak. 5 menit saja tanpa oksigen maka sel-sel di dalamnya sudah irreversible/tidak bisa kembali seperti semula.
Jadi, kalau cewek semisal ngambek masih bisa kita rayu dengan bunga, amplop buat ke salon, atau paket mandi susu, dan lain-lain. Tapi otak berbeda, organ ini tak kenal kompromi apalagi disogok seperti birokrasi di negeri ini (maaf, maksudnya oknum, birokrasi yang jujur dan profesional juga banyak).
Saya ingat dahulu di bagian bius, guru-guru dan senior mengajarkan ketika akan memasang endotracheal tube (semacam pipa yang dimasukkan melewati mulut hingga trakea untuk menjamin lapangnya jalan napas sehingga pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan baik) di meja operasi atau di ruang darurat, maka dilakukan pemberian napas cadangan selama 5 menit dahulu.
Sehingga, ketika team medis memasukkan pipa tadi, cadangan oksigen di otak masih ada. Sering senior menyarankan menahan napas saat memasukkan pipa itu. Tujuannya ketika kita sudah tak kuat menahan napas, maka kemungkinan begitu pula yang terjadi dengan pasien kita. Itulah seninya kedokteran. Seru kan? Hehe.
Pandangan saya beralih ke bagian front office, di sana saya selalu disambut bidadari dan arjuna yang senyum begitu tulus dengan tangan namaste di dada. Terkadang saya jahil, saya dekati personel di sana, ternyata benar, selain tampan dan cantik, mereka juga sangat wangi. Jangan tanya kemampuan bahasa asing mereka, cas cus cas cus. Ya, penampilan indah dan skill yang high sangat penting sebagai kesan pertama.
Dari sini setiap rapat atau evaluasi selalu menggunakan bahasa Inggris. Awalnya banyak yang mengeluh, tapi saya tahu rumus kereta. Gaya dorong akan sangat besar dibutuhkan saat akan berjalan. Tantangannya memang besar di awal. Namun perhatikan saat kereta sudah meluncur, gaya yang diperlukan tentu tak sebesar di awal tadi. Terima kasih ya guru-guru Fisika saya sedari SMP-SMA .
Apakah teman-teman tahu akan jagung hibrida? Yak, ini adalah salah satu jagung inovasi yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1930-an. Namun tampaknya baru diterima lebih 20 tahun kemudian. Produk atau ide menonjol yang kemudian menjadi terkenal itu disebut difusi. Bruce Ryan dan Neal Gross, keduanya menganalisis difusi jagung hibrida tahun 1930-an.
Ada juga dengan produk iPod yang diluncurkan tahun 2001 dan mencapai puncak penjualan di tahun 2008 sekitar 55 juta. Wow, kok kita bahas tentang ekonomi ya? Begitulah alam, perpustakaan terbesar. Kita bisa belajar dari alam dan apa yang sudah terjadi.
Beralih kemudian ke bagian cullinary. Di sini saya mendapati staff begitu disiplin membersihkan meja dan kursi, gelas-gelas dan piring, hingga mengangkat galon untuk air minum karyawan lainnya. Saya ingat kata senior SMA yang jadi general manager/GM di sebuah hotel, “Back side must be same as front side’“.
Tapi terkadang, saya berpikir apa sih yang kita dapatkan dari sebuah hasil kerja keras? Uang? Istri yang cantik? Mobil? Pristise? Oh, ternyata jawabannya simpel, hasil dari sebuah kerja keras adalah “kerja keras”. Bingung? Coba tarik napas dan bayangkan lalu cermati leader yang ada di dekat teman-teman
Dilema
Sebagai tim medis di periode pandemi ini tentu begitu banyak tantangannya. Teman-teman di perhotelan sedang ditempa begitu besar cobaan. Ya, pariwisata adalah urat nadi perekonomian Bali. Tak terhitung karyawan dirumahkan, tak terhitung villa, hotel, restoran, bahkan hotel “ambruk”.
Tak jarang saya kedatangan ibu-ibu yang menangis setelah bertengkar dengan suaminya karena beban utang menumpuk namun pendapatan jauh berkurang. Kala itu matanya terlihat lebam dan memegang perut. Setelah diperiksa ternyata kecurigaan maag. Setelah melihat mata suaminya, tampaknya ada sesuatu yang tak beres.
Saya minta suaminya keluar sejenak. Lalu saya tanya apakah ada problem sebelumnya di rumah? Ternyata benar, mereka sehabis bertengkar dan menyebabkan ibu ini mengalami maag. Akhirnya kami suntik dan berikan minum.
Obatnya kami siapkan, lalu suaminya kami berikan kesempatan untuk memberikan kepada istrinya. Saya berikan kesempatan mereka mengorek-orek masa indah mereka saat pacaran. Di sinilah cinta, kesetiaan, perjuangan diuji. Apakah hanya terpikat dengan elok tubuhnya, atau berjalan beriringan di masa pandemi.
Lima belas menit saya berikan waktu mereka berdua. Syukurlah, mereka bisa saling merangkul dan saling minta maaf. Mungkin obat lambung saya bekerja 8-12 jam, namun perhatian dan memaafkan akan menjadi “obat” yang sangat ampuh—yang bertahan lebih lama dibanding obat buatan pabrik itu.
Tapi, saya lebih sedih lagi saat terpaksa memberikan keputusan untuk isolasi mandiri atau karantina kepada mereka. Dilema. Duh, anak mereka makan apa? Apalagi beberapa manajemen membuat keputusan untuk melakukan pemeriksaan lab yang tak tepat sasaran, tak tepat timing sehingga menimbulkan luka baru. Sehingga saya rasa mereka perlu mendapatkan pendampingan sehingga uang tak “terbakar” percuma di suasana yang serba sulit ini.
Namun, di masa-masa sulit seperti pandemi lalu, agaknya saya harus berterima kasih kepada seluruh desa adat dan pecalang di Bali. Kita masih ingat, di bulan Maret-April 2020, Bali begitu dipuji di kancah nasional karena kekompakannya menjaga masyarakat dari pandemi. Pun demikian saat di tengah PPKM darurat, peran dari desa adat, pecalang, para sulinggih, sangatlah vital sehingga kita perlu rangkul beliau-beliau itu.
Terima kasih bapak/ibu yang tengah berjuang bersama, terima kasih teman-teman di perhotelan. Semoga cobaan dan penderitaan itu menjadi pelajaran bersama dan Bali lebih siap lagi ke depannya.
Di perhotelan saya belajar tentang hospitality dan perencanaan untuk membuat klien puas. Terima kasih teman-teman di perhotelan. Salam dan rahayu.[T]
BACA artikel lain dari penulis dr. Putu Sukedana