MEMASUKI Galeri Taman Budaya NTB terasa seperti memasuki sebuah labirin yang jalan masuknya sama dengan jalan keluar. Hari itu, penikmat pameran dapat melihat beberapa lukisan dalam tiap lorong, melihat satu lukisan seperti melihat satu alam tersendiri. Saya membayangkan diri berubah menjadi astronot, mengunjungi satu planet ke planet lain yang kadang punya warna serupa, kadang juga sensasi yang berbeda.
Pameran seni rupa “Eksplorasi Estetika” yang diadakan oleh Lombok Art Community 25 Februari hingga 2 Maret 2024 menampilkan 50 lukisan dari 23 seniman. Bisa dibilang kadar pameran tidak merata karena ada karya yang banyak, ada juga yang sedikit, seperti adanya 12 lukisan kaligrafi karya Munawir Hadi, dan masing-masing satu lukisan karya Moh. Nanag Kosim, Hanik, Dhiya’, Aryandana, Fikri Haikal, Sartiadi, dan Alfan.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul menjadi buntu karena tidak ada katalog, catatan kuratorial, biodata dan narasi yang biasanya ada di depan pameran. Untungnya, ada seorang seniman yang menghampiri, dia meminta tanggapan tentang lukisan dan pameran ini. Dari satu interaksi itulah saya diperkenalkan dengan beberapa seniman lain yang hadir. Saya mengamati pengunjung lain yang juga dihampiri oleh seniman.
Mereka menceritakan proses, arti simbol yang dilukis, bagaimana mereka bisa melukis, dan sebagainya. Mereka benar-benar sadar akan kekurangan pameran ini, mungkin oleh sebab itulah mereka menjadikan pameran ini interaktif antara penikmat lukisan dan para seniman. Obrolan-obrolan kami terasa seperti tegur-sapa khas ketika di pedesaan, mereka sangat ramah dan terbuka pada berbagai komentar.
Ada dua hal yang dominan dalam pameran ini: lukisan tentang Lombok dan lukisan tentang kaligrafi. Tentu tidak ada yang seragam, dibuat dengan teknik-teknik yang berbeda.
Poetra Morison-Amor ti-200×100-akrilik on canvas | Foto: Nuraisah
Lukisan tentang Lombok—adat, baju tradisional, daerah wisata, dan sebagainya—dapat dilihat dari suatu visual mencolok yang tanpa ragu atau pasti membuat penikmat tahu bahwa lukisan tersebut tak jauh mengenai Lombok. Sukti melukis “Ulek Nyongkol” dan “Gendang Beleq” yang menangkap suatu peristiwa adat, orang-orang menggunakan pakaian tradisional. Begitu juga dengan Dhiya’ melukis “Gumi Nina” dengan fokus potret perempuan yang menggunakan baju tradisional di depan rumah adat, hanya saja membuat penikmat bertanya-tanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh perempuan itu.
Sebagaimana Dhiya, Mawardi juga melukis perempuan dalam “Putri Mandalika Berkuda”, di sana terlihat seorang perempuan berkuda di atas awan tepat di depan rumah adat. Ilham Mugni melukis “Tameng Muter”, dua lelaki menggunakan baju tradisional. Tabbari melukis “Ulean Sampi”, menangkap momen seorang lelaki yang membawa sapinya pulang, rumah adat Lombok berbaris di sepanjang jalan.
Selain perempuan dan pakaian tradisional, ada juga yang melukis rumah adat; Muzhar, Zaen Sasak, Alfan, Lalu Dendy Aghestha Randa, dan Sarbini yang semuanya menggambarkan ragam rumah adat sasak dengan berbagai sudut pandang yang jauh.
Terakhir, Lombok juga dilukiskan pemandangan daerah wisatanya. Suasana itu dapat kita selami dalam lukisan yang dibuat oleh M.Farisian Arrazi, dan lukisan-lukisan pantai yang dibuat Mawardi dan Sarbini dalam “Perahu dan Pantai”.
Agus Setiadi Taranggono- Give Peace a Chance- 100×150- akrilik on canvas | Foto: Nuraisah
Beberapa pelukis menggunakan tokoh terkenal, seperti Tabbari melukis tokoh islam NTB juga tokoh artis di atas kanvas yang terbuat dari daun, Agus Setiadi Taranggono melukis pembalap motoGP, dan Muzhar yang memadukan pembalap motoGP yang sedang menjadi sopir delman. Julukan Lombok sebagai 1001 masjid jadi makin menggema ketika melihat lukisan lain Muzhar mengenai masjid berjudul “Keutamaan 3 Masjid” yang menghubungkan masjid di Lombok dan masjid yang ada di Palestina, begitu juga Zaen Sasak melukis “Al-Aqsa” dan Meldin melukis “Palestina dan Masjidil Aqsa”.
Lukisan kaligrafi dengan beragam bentuk dan gaya dilukis oleh Tabbari yang memadukan objek dengan ayat dalam Al-Quran, kaligrafi Mansur yang menempel pada benda-benda, Yunani memadukan Al-Haq dengan tarian Turki dan ke’alam’an yang kabur, dan 12 lukisan karya Munawir Hadi yang dapat dilihat jelas kaligrafinya seolah timbul atau muncul dari latar lukisannya. Sedangkan Aryandana melukis “Kiswah Ka’bah” yang tentu dominan dengan kaligrafi.
Ada juga lukisan pemandangan taman berjudul “Sudut Taman” oleh Sartiadi, lukisan abstrak yang dibuat oleh Amrin Fane “Dibalik Nur” dan “Gersang”, lukisan Hanik “Kebebasan Tak Terbatas” berwarna terang dengan bentuk bola-bola mata. Lukisan Fikri Haikal “Bunga Lily” dengan objek bunga lily dan kupu-kupu yang terbang. Lukisan Moh. Nanag Kosim “Perdamaian” menyimbolkan 3 calon presiden yang saling berpelukan dengan latar teknologi yang di‘hidup’kan.
Sukti-Ulek Nyongkol-100×90-oil on canvas | Foto: Nuraisah
Sebagai penutup sekaligus pembuka pada pameran ini, goresan kekanakan penuh warna oleh Poetra Morison dan lukisan simbolis yang halus dan rapi oleh Agus Setiadi Taranggono.
Menikmati 50 lukisan dalam satu waktu dan satu tempat terasa sangat melelahkan, seperti menikmati berbagai satu tempat indah dalam berbagai sudut dengan waktu satu hari. Begitu keluar dari galeri, saya seperti astronot yang kembali mendarat di planet tempat muasal. Sembari bertanya-tanya, apa yang menjadikan judul eksplorasi estetika dalam pameran ini? Apakah mengejar estetika dengan standart tertentu atau pencarian estetika dalam diri seniman sendiri? [T]
Editor: Adnyana Ole