EMPAT hari jelang hari pencoblosan pada Rabu, 14 Februari mendatang sekaligus hari terakhir kampanye bagi peserta pemilu, situasi kebangsaan tampak tidak baik-baik saja. Seminggu belakangan ramai-ramai civitas akademika perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia menyatakan sikapnya perihal demokrasi bangsa yang dianggap kini terancam keberadaannya. Para akademisi tersebut menyatakan bahwa demokrasi Indonesia hari ini sedang terancam, tentu oleh ulah para penguasa yang terlihat sedang menyalahgunakan kekuasaannya untuk “berkuasa kembali”.
Pemilu 2024 menjadi ajang pemilu keenam yang diselenggarakan oleh Indonesia pasca reformasi. Dalam berbagai studi, demokrasi sebuah negara akan masuk ke tahap matang ketika telah berhasil menyelenggarakan 7 (tujuh) kali pemilu tanpa ada gesekan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Pemilu tahun ini sejatinya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai demokrasi dan institusi demokrasi.
Pada tahap ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah lebih mapan, stabil, profesional, serta mandiri. Pemilu sebagai instrumen penting demokrasi dalam proses pergantian kekuasaan seharusnya dijalankan oleh sumber daya yang mampu menjalankan tata kelola dan manajemen pemilu secara terbuka, pasti, transparan, dan partisipatif guna mencerdaskan pemilih.
Reformasi sebagai milestone demokrasi Indonesia sudah berlalu 25 tahun lalu. Tetapi kehidupan demokrasi Indonesia tampak seperti jalan di tempat. Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Democracy Indeks yang disusun pada tahun 2021 menyebutkan bahwa Indonesia masih berada di dalam kategori Flawed Democracy atau sederhananya dapat disebut “cacat demokrasi”.
Bahkan oleh Freedom House, demokrasi Indonesia masuk ke dalam kategori Partly Free atau semi bebas—kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak berasosiasi dan berorganisasi, serta aturan hukum adalah variabel yang mendapatkan skor di bawah rata-rata global. Menguatkan hasil riset dua lembaga tersebut, Titi Anggraeni seorang pemerhati demokrasi yang saat ini sebagai Dewan Pembina Perludem menyebutkan bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk pasca reformasi karena tidak mampu memberikan kepastian hukum dalam setiap tahapannya.
Cacat Etika
Alih-alih medekatkan asa demokrasi yang semakin matang, realitas hari ini sudah jelas jauh panggang dari api. Banyaknya permasalahan dan polemik yang dihadirkan penyelenggara pemilu itu sendiri justru menjadi pemicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga yang disebut-sebut sebagai lembaga mandiri dan independen tersebut. Mulai dari tahapan verifikasi partai politik peserta pemilu yang cukup menyita perhatian publik karena ada dugaan kecurangan yang mengakibatkan lolos dan tidaknya partai politik sebagai peserta pemilu 2024, pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang belakangan diketahui menyalahi kode etik, hingga perbedaan pandangan KPU dan Bawaslu menyikapi telah terkirimnya surat suara di Taiwan di luar jadwalnya—perbedaan tersebut menjadi aneh karena dua lembaga tersebut berpedoman pada undang-undang yang sama.
Ketidakpercayaan publik semakin terakumulasi dengan keluarnya vonis-vonis pelanggaran etik kepada garda terdepan penyelenggara demokrasi. Misalnya terbuktinya Ketua KPU RI dan Anggota lainnya melanggar etik penyelenggara pemilu karena meloloskan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, padahal belum dilakukan revisi terhadap PKPU pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, seluruh hakim MK juga divonis melakukan pelanggaran etik berat karena dianggap telah membuka ruang intervensi dari pihak-pihak tertentu. Namun alih-alih memilih untuk menyatakan permintaan maaf ke publik, pihak-pihak tersebut lebih memilih bungkam, bahkan mantan Ketua MK Anwar Usman mengajukan gugatan ke PTUN untuk mengembalikan jabatan Ketua MK kepada dirinya.
Dalam debat capres dan cawapres pun perihal etika kerap kali diangkat—setidaknya oleh paslon 1 dan 3 untuk menyerang paslon 2 yang dianggap diuntungkan karena putusan MK yang berhasil memuluskan jalan putera sulung Jokowi sebagai cawapres. Pada debat capres yang diselenggarakan oleh KPU RI tersebutlah keluar kata-kata “Ndasmu Etik” dari salah satu capres.
Menurut penulis, ungkapan tersebut adalah standing position capres tersebut dalam memandang etika. Dugaan penulis, capres tersebut memandang etika bukanlah aspek penting dalam berpolitik. Penulis jadi ingat pandangan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) soal etika. Ia menyebutkan bahwa etika adalah aspek yang membedakan manusia dengan binatang. Artinya aspek etik seharusnya menjadi poin pertama yang harus dijunjung paling utama tinimbang aspek kepentingan untuk berkuasa.
Preseden Buruk
Munculnya pernyataan sikap dari civitas akademika perguruan tinggi dan organisasi pergerakan, sampai aksi-aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang kini mulai ramai tentu saja tidak “ujug-ujug”, semua pasti ada pemicunya. Mulai dari munculnya pernyataan Presiden bahwa dirinya diperbolehkan oleh undang-undang untuk berkampanye, jajaran menteri yang secara terang-terangan melakukan kampanya di saat menyandang tugas sebagai menteri, terjadinya pelanggaran etik berat di MK sebagai rumah penjaga konstitusi bangsa, pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu, dugaan politisasi bansos oleh Presiden, hingga dugaan tidak netralnya ASN, TNI, dan Polri telah terakumulasi dan berhasil memantik amarah publik. Bahkan amarah publik pun tidak membuat parlemen untuk merespon dugaan abuse of power dari cabang kekuasaan eksekutif. Kira-kira kemana mereka? Ohh, iya. Mereka sedang sibuk berkampanye untuk memenangkan paslon-nya dan juga dirinya.
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah tindakan yang jelas-jelas menciderai semangat demokrasi Indonesia. Demokrasi seharusnya menghadirkan kesetaraan, keadilan, serta inklusivitas terhadap seluruh warga negaranya. Namun berkaca pada apa yang terjadi hari ini, ketiga aspek tersebut tampaknya belum dijalankan secara penuh oleh negara. Masing-masing cabang kekuasaan seharusnya memberi penghormatan satu sama lain dan menghindari praktik-praktik intervensi satu sama lain.
Namun terlepas dari pelbagai persoalan yang menguatkan riset EIU yang memasukkan Indonesia ke dalam kategori Flawed Democracy, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih harus datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya. Karena seperti kata Romo Magnis, bahwa pemilu bukanlah ajang untuk memilih yang terbaik, tetapi pemilu adalah ajang untuk mencegah yang terburuk untuk berkuasa. [T]
- Baca esai-esai politik TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA lainnya DI SINI