MASIH basah dalam ingatan kita akan kabar “berpulangnya” sosok sastrawan dan seniman Bali Frans Nadjira. Kini, kabar duka itu kembali menyapa jagat sastra Indonesia—itu datang secara tiba-tiba, tak ada yang bisa memprediksi.
Kabar duka itu datang dari RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Seorang penyair yang juga budayawan, Prof. Abdul Hadi Wiji Muthari (WM), meninggal dunia pada Jumat, 19 Januari 2024, pukul 03.36 WIB di usia 78 tahun.
“Telah wafat ayahanda kami Abdul Hadi WM pada pukul 3.36 dini hari. Jenasah akan disemayamkan di rumah duka: Vila Mahkota Pesona Jatiasih, Bojong Kulur dari RSPAD Gatot Subroto. Dan rencananya akan dimakamkan di taman pemakaman setempat ba’da salat Jumat. Mohon doa dari teman-teman semua ya,” tulis Gayatri Wedotami, putri sulung Abdul Hadi WM, di Grup Serah (Serikat Alumni Sejarah) Unpad. Gayatri memang alumni jurusan sejarah Unpad.
Dalam dunia sastra, WM dikenal sebagai penyair yang karya-karyanya kental dengan unsur sufi atau muatan religiusitas. Itu tidak mengagetkan sebenarnya, sebab, di luar kesusastraan, di tempatnya mengabdikan ilmu di Universitas Paramadina, ia kerab menyumbang pemikiran dalam bidang filsafat dan kesusastraan Islam, khususnya yang bertema sufi.
Ketertarikannya dalam dunia sufisme, telah menggerakkan dirinya untuk melakukan penelitian tentang sosok Hamzah Fansuri yang dihidup pada abad ke-16 Masehi—yang mungkin tidak banyak intelektual mengkajinya. Bisa jadi, minatnya terhadap sufisme ini berangkat dari tanah kelahiraanya, Sumenep, Madura, yang kental dengan nuansa Islam-nya.
Tak main-main, intelektual Islam cum budayawan kelahiran 24 Juni 1946 itu, pernah mencetuskan gagasan “Sastra Profetik” kisaran tahun 1976—yang menurut sastrawan Zawawi Imron disebut sebagai sebuah “gagasan bersar”.
“Bersama Mas Kuntowijoyo dan Sujiro Satoto, ia menghidupkan kembali sastra sufi, agar sastra kembali ke akar, kembali kepada kebersihan hati, kembali ke akar budaya Indonesia, tidak perlu berkiblat ke barat,” ujar Zawawi Imron, sebagaimana dikutip dari Tempo, Jumat (19/1/2023).
Sastra Profetik, menurut Zawawi, bermula dari perlawanan Abdul Hadi WM terhadap gaya kepemimpinan Soeharto di masa Orde Baru dulu. Saat itu, Soeharto, yang mendapat julukan Bapak Pembangunan Indonesia, dinilai terlalu mementingkan pembangunan fisik—yang tampak dan praktis. “Sedangkan pembangunan batin hanya diucapkan saja. Konkretnya tidak jelas. Dia [Abdul Hadi WM] ingin memberi roh bahwa manusia bukan hanya raga, tapi juga jiwa,” sambung Zawawi.
Atas keseriusannya di bidang sastra dan kebudayaan, bersama Zawawi dan Ahmad Fudholi Zaini, Abdul Hadi WM mendirikan Pesantren Budaya di tanah kelahirannya pada 1990. Pesantren yang memacak nama “An-Naba”—merujuk pada QS. An-Naba—itu tak sekadar mengajarkan ilmu agama, tapi juga mengajar cara bertani, melukis, mendesain, membuat kaligrafi, mengukir, dan drama. Barangkali ia memang mengambil spirit salah satu ayat dalam QS. An-Naba yang “… menumbuhkan dengannya biji-bijian, tanam-tanaman, dan kebun-kebun yang rindang.”
Sayangnya, kenang Zawawi, tak sampai setahun, pesantren itu mandek lantaran, setelah menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada, Abdul Hadi WM mengambil program doktor filsafat di Universitas Sains Malaysia di Penang. Adapun Zawawi terkendala masalah jarak.
“Dari rumah saya ke pesantren cukup jauh dan enggak punya kendaraan. Sayang memang, padahal konsep pesantren itu sangat bagus,” kata Zawawi. Kemudian, sekitar delapan tahun setelah Pesantresn An-Naba berhenti, konsep tersebut diadaptasi oleh penyair di Yogyakarta dengan mendirikan Pesantren Budaya Ilmugiri di Imogiri, Bantul.
Abdul Hadi WM pernah memeroleh hadiah sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand. Ia juga merupakan salah satu juri tetap bersama Sutardji Calzoum Bachri, Maman S Mahayana di Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Melalui buku-buku puisi yang telah ditelurkannya, yakni Meditasi, Laut Belum Pasang, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang, dan lain-lain, adalah bukti bahwa ia merupakan penyair yang produktif.
Terkait kepulangannya ke-Asal, cukup menorehkan duka mendalam bagi tokoh-tokoh sastra seperti Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Kurniawan Junaedhie, Suyadi San, Ulfatin Ch, Aspar Paturusi, Fanny J Poyk, Yahya Andi Saputra, Ratna Ayu Budiarti, Ons Untoro, dan masih banyak lagi.
Kini, Prof. Abdul Hadi WM sudah benar-benar “sangat dekat” dengan Tuhan, sebagaimana tertuang dalam puisi terkenalnya yang berjudul “Tuhan Kita Begitu Dekat”:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.[T]