SEORANG lelaki memanggil saya dari dalam mobil. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Barangkali ia sedang memastikan bahwa nama tersebut memang benar-benar milik saya. Dan sebelum ia kembali memanggil, saya mengangguk lalu menghampirinya. “Antarkan saya ke Lumire Hotel ya, Mas,” pinta saya kepada lelaki yang berprofesi sebagai sopir GrabCar Airport itu. Ia tersenyum dan mengangguk.
Bersama matahari sore yang panas dan menyengat, ia membawa saya keluar dari Terminal 1A Kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Umurnya mungkin sekitar 35. Oleh karena itu saya memanggilnya mas. Ia mengaku perantau dari Lampung. “Sudah lama di Jakarta, Mas?” tanya saya memecah kebekuan. Pertanyaan basa-basi yang klise sebenarnya. Tapi itu semacam pintu gerbang obrolan kami selanjutnya. “Lumayan,” jawabnya.
Sedikit demi sedikit kami saling terbuka satu sama lain. Saat saya mengatakan dari Bali, matanya tampak berbinar. “Wah, punya banyak kenalan bule dong, Mas?” katanya sembari tertawa. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Ah, bukankah itu memang bukan sebuah pertanyaan sungguhan? Saya pikir itu hanya semacam candaan yang diulang-ulang entah berapa kali oleh orang-orang saat mendengar kata Bali.
“Saya dulu kerja di salah satu pabrik di Bekasi, Mas,” katanya, sambil tetap fokus mengemudi. “Tapi kena PHK pas covid. Sejak saat itu saya mendaftar jadi driver. Ini aja mobil pinjaman—pinjam punya kerabat.” Saya hanya mengangguk-angguk, tidak menanggapinya. Bukan karena tidak bersimpati, tapi lebih karena ingin mendengarkan. Bukankah beberapa curhatan memang cukup untuk didengarkan, alih-alih ditanggapi? Saya pikir demikian.
Yang jelas, apa yang dikatakan oleh lelaki ini adalah apa yang juga dikatakan dan dirasakan banyak orang pada saat pandemi. Berkat pagebluk itu, diakui atau tidak, telah banyak membawa perubahan dan memukul banyak sektor.
Selama pandemi berlangsung atau setelahnya, kita banyak mendengar-membaca kisah-kisah sedih dari mereka yang kehilangan pekerjaan, bangkrut, dan hal-hal yang mengusik rasa kemanusiaan lainnya. Meski juga banyak hal heroik yang mampu menyadarkan dan menumbuhkan kepedulian, simpati, dan empati terhadap sesama. Kita semua tahu itu.
Sebelum kami memasuki jalan tol, lelaki itu membelokkan mobilnya ke POM bensin terlebih dahulu. Ia meminta izin untuk mengisi bahan bakar. “Mungkin agak lama, Mas. Soalnya antreannya panjang.” Saya tidak mempersoalkannya. Dan ia tahu itu.
Di sebelah barat sana, mentari bersembunyi di balik gedung-gedung yang angkuh. Sedang di jalanan dekat POM kami mengantre, kendaraan padat merayap. Tampaknya hujan sudah lama tak mengucur. Terik membakar. Sungai-sungai mengering dan jalan raya penuh debu. Gerah merambat ke sekujur badan. Persimpangan dimeriahkan klakson kendaraan yang menyalak, khas kota Dunia Ketiga yang bising dan runyam.
Saya sadar bahwa Jakarta yang saya kunjungi saat itu sudah jauh berbeda dengan tahun 1682, misalnya, saat wilayah itu masih bernama Batavia dan dikuasi VOC—yang menurut catatan seorang advokat Belanda, Pieter van Dam, dari 1.500 serdadunya hanya seperempat dari mereka yang cukup bugar untuk terlibat dalam pertempuran. Lainnya menderita sakit dan juga kepayahan karena cuaca yang panas.
(Meski begitu pada kenyataannya pasukan Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja dengan kekuatan 10.000 orang gagal merebut Batavia pada tahun 1628 dan 1629.)
Jakarta hari ini adalah seperti apa yang digambarkan Remy Sylado dalam puisi “Ibu Kota, Kota Ibu”, yang penuh dosa: penjambretan, ponodongan, pemerkosaan, perjudian, pelacuran, pembunuhan. Atau “…bis kota//yang berjubel penumpangnya//bergerak antara kemacetan jalan raya//dan terobosan-terobosan tak terduga…,” sebagaimana diungkapkan Husni Djamaluddin dalam puisinya “Jakarta” (1990):
jakarta adalah bos besar
gajinya sebulan empat milyar
adapun yang babu
tinggi sudah empat puluh ribu
jakarta adalah rumah-rumah kumuh
yang mengusik tata keindahan gedung-gedung pencakar langit
jakarta adalah gedung-gedung pencakar langit
yang mencakar wajah-wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh
jakarta adalah komputer
yang mengutak-atik angka-angka nasib
dan memutar
nasib angka-angka
jakarta adalah ciliwung
sungai keringat dan mimpi rakyatnya
di situ pula mengalir
air mata ibukota
Jakarta hari ini adalah kota yang sangat berambisi, rakus, dan tak pernah berhenti melaju—kota yang seperti tak pernah tidur. Kota yang “hingar bingar sudut jalan… yang takkan pernah mati… kota yang sama… yang membuatku merasa sepi…,” kata Kunto Aji dalam lirik lagunya yang berjudul “Jakarta Jakarta”.
Juga seperti kata Slank dalam “Jakarta Pagi Ini”: Pagi sunyi gak ada burung bernyanyi… Putih embun pun kini telah terkontaminasi, yeah… Aku seperti terbang gak memijak bumi… Di antara merahnya emosi Jakarta yang semakin ternodai.
Saya memperhatikan sekitar. Satu mobil lagi, pikir saya. Tentu ini situasi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tidak sama sekali. Saya tidak pernah membayangkan bakal duduk di sebelah orang (asing) yang sama sekali tidak saya kenal dan merasa yakin akan baik-baik saja. Dan siapa yang menyangka, bahwa seorang penulis amatiran seperti saya mendapat kesempatan untuk meliput beberapa pementasan teater di Jakarta? Sebuah keberuntungan yang tiba-tiba.
Seminggu sebelum berangkat ke Jakarta, Pak Ole—sebagaimana saya akrab memanggil sastrawan dan wartawan senior Made Adnyana Ole—memberitahu saya bahwa Wayan Sumahardika, saya memanggilnya Bang Suma, meminta saya untuk ikut ke Jakarta dalam rangka meliput garapan pertunjukan kontemporer terbarunya yang akan dipentaskan di panggung Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023.
Seolah tak mau menyia-nyiakan tawaran menggiurkan itu, tanpa pikir panjang, saya mengiyakannya. Memangnya orang bodoh macam apa yang menolak pekerjaan dengan fasilitas yang memanjakan itu? Jadilah saya ke Jakarta, selama sepuluh hari. Dan bertemulah saya dengan lelaki yang kini membawa saya melaju di jalan tol menuju tempat menginap di sebuah hotel berbintang di Jakarta Pusat itu.
Selepas Magrib saya dibangunkan sopir itu. Sudah sampai, Mas, katanya. Oh, rupanya saya tidur terlalu lelap. Saya membayar ongkosnya dan bergegas turun dari mobil. Sesaat setelah lelaki itu mengucapkan terima kasih dan menancap gas mobilnya, saya menghubungi salah seorang timnya Bang Suma yang lebih dulu sampai di hotel. Saya diminta menunggu di lobby. “Saya jemput,” ujarnya melalui telepon.
Penjaga pintu hotel mempersilakan saya dengan senyum dan ucapan selamat datang yang entah sudah diulanginya berapa kali—sikap dan ucapan templet yang mungkin sudah menjadi SOP perhotelan. Saya duduk dikursi tunggu dan memastikan bahwa tidak ada barang saya yang ketinggalan di dalam mobil mas-mas Lampung tadi. Aman, ucap saya dalam hati.
Pemuda berambut keriting itu tersenyum setelah melihat saya. Ia mengulurkan tangannya dan segera saya sambut dengan menjabatnya erat. Kami berdua memang sudah lama tidak bertemu. Lalu ia mengajak saya menuju lift dan mengantar saya ke kamarnya di lantai 14. Saya duduk sebentar di sana sebelum pindah ke kamar lain.
Ah, Jakarta. Sebelum merebahkan badan dan terlelap lagi, saya sempat berangan, apa ada angin di sini? Sebagaimana tanya Umbu dalam puisi “Apa Ada Angin di Jakarta”.
***
Saya mulai merasakan atmosfir keseruan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 saat menonton pertunjukan teater bertajuk Membaca Sanghyang karya Wayan Sumahardika—sutradara muda pilih tanding dari Bali. Pertunjukan tersebut dipentaskan di PKN 2023 dalam program “Membaca Pakem” kuratorial “Laku Hidup” di IMXR (Studio 1/Black Box) Studio Produksi Film Negara (PFN), Jakarta Timur, Sabtu (21/10/2023) sore.
Sebagaimana telah saya tulis di tatkala.co sebelumnya, Membaca Sanghyang merupakan pertunjukan yang berangkat dari studi kasus ritual Sanghyang dalam hubungannya dengan kehidupan pertanian di Desa Adat Geriana Kauh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Sanghyang merupakan salah satu tarian sakral yang erat kaitannya dengan budaya agraris di Bali. Bahkan, di Desa Adat Geriana Kauh, sedikit-banyaknya hasil panen padi dikaitkan langsung dengan ritual Sanghyang yang dilakukan. Bagi masyarakat adat Geriana Kauh, tarian Sanghyang sudah mendarah daging, menyatu, dan sulit dipisahkan. Namun, pada dekade belakangan, seiring maraknya pengalihfungsian lahan pertanian, tarian Sanghyang terancam ditinggalkan.
Membaca Sanghyang adalah pertunjukan yang lengkap. Selain menghibur, juga memberikan banyak pengetahuan. Pertunjukan tersebut menyuarakan isu pertanian dan patriarki serta, secara tidak langsung, menyampaikan tentang betapa kerja pengarsipan itu sangat penting.
Di luar agenda Pekan Kebudayaan Nasional, saya melipir ke Taman Ismail Marzuki, tepatnya di Gedung Graha Bhakti Budaya. Beberapa orang mengajak saya untuk menonton pertunjukan Calon Lawan garapan Agus Noor, sastrawan dan sutradara yang terkenal itu.
Calon Lawan bercerita tentang dunia pertarungan bawah tanah yang menyebabkan ketegangan antarkelompok yang saling berebut pengaruh dan ingin menjadi pimpinan. Dalam ketegangan tersebut, muncul sosok misterius, yang mampu berkelebat lebih cepat dari bayangan. Mereka kemudian menyebutnya sebagai Pendekar Tanpa Bayangan—atau dalam beberapa dialog disebut Pendekar Sakti Tanpa Nama—yang seakan mampu mengendalikan keadaan dalam senyap.
Dua kelompok yang berseteru, kelompok Kapak Emas dan kelompok Naga Api, mencoba membangun kongsi, menyusun kekuatan bersama untuk menghadapi kekuatan yang tak terlihat itu. Guru Besar kedua perguruan tersebut sampai harus turun gunung untuk menyatukan kekuatan, terlebih ketika mulai terendus adanya kelompok rahasia Burung Putih. Kongsi terbentuk, tetapi rapuh dan gampang digoyah. Banyak yang diam-diam menyimpan ambisi dan memainkan intrik.
Berlatar pertarungan antarkelompok pendekar, Calon Lawan sebenarnya adalah pertunjukan alegori tentang berbagai peristiwa hari-hari ini, menjelang perebutan kekuasaan. Pertunjukan dengan durasi nyaris tiga jam lebih itu, menyajikan sesuatu yang berbeda, salah satunya ialah panggung yang penuh pertarungan adu jotos dan duel, seperti dalam film-film kungfu dan gengster luar negeri. Dalam hal ini, kelompok Wushu Inti Bayangan sukses menghadirkan adegan-adegan tersebut.
Sebagai sutradara, sebagaimana gaya lakon-lakon yang digarap, Agus Noor tetap menghadirkan humor, satire, dan plot yang tak terduga sebagai kekuatan pertunjukan.
Di sela-sela pertunjukan, Sri Krishna Encik tampil membawakan lagu-lagu milik penyanyi legendaris Sawung Jabo. Sempat disebutkan oleh Agus Noor bahwa selain menyambut pesta elektoral, Calon Lawan sekaligus “merayakan dan menghormati para maestro seni Indonesia” sebagai wujud “selalu berhutang budi dari apa yang dicapai dari pendahulu-pendahulu kita.”
Calon wakil presiden, Mahfud MD, yang hadir dan menonton pementasan itu, turut menjadi korban roasting para pemain—khususnya Inayah Wahid. Sedangkan pasangannya, Ganjar Pranowo, tak berhenti tertawa mendengar celetukan-celetukan satir Inaya dan tingkah konyol duet antara Cak Lontong dan Akbar.
Sampai di sini saya merasa heran mengapa Mahfud MD dan Ganjar tertawa terbahak-bahak, padahal yang Agus Noor dkk. pentaskan adalah satire atas perilaku yang mereka lakukan. Oh, mungkin, dari sini, mereka sedang atau perlu belajar untuk menertawakan diri sendiri.
Hari berikutnya saya bergegas ke Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Saya berangkat dari tempat menginap di Jakarta Timur, dekat Studio Produksi Film Negara. Waktu itu malam hari. Sebelumnya, seorang teman merekomendasikan sebuah pertunjukan yang harus saya tonton. “Pertunjukannya pasti bagus,” katanya. Pertunjukan yang dimaksud adalah nge-GLITCH? garapan sutradara Yola Yulfianti.
Namun, sebelum ke Galnas saya sempat singgah di Kota Tua. Tempat yang saya kunjungi beberapa tahun yang lalu saat masih kuliah. Tampaknya sudah banyak perubahan. Selain tampak tambah ramai juga tampak semakian gemerlap. Lampu kerlap-kerlip warna-warni dipasang di sembarang tempat—saya teringat suasana warung-warung di sepanjang Jalan Pantura.
Seorang perempuan muda mendandani dirinya seperti noni-noni Belanda dan menawarkan dirinya kepada orang-orang. “Jasa foto bersama noni Belanda,” ujarnya. Juga lapak para peramal nasib yang berserakan di mana-mana. Ini Ibu Kota, kata seorang teman, yang penuh dengan gemerlap modernitas, tapi masih ada yang percaya ramalan—untuk tidak mengatakan bualan—garis tangan dengan membayar seketeng rupiah. “Hanya orang iseng dan putus asa saja yang mungkin jadi pelanggannya,” ujar saya. Dan kami tertawa.
Di Galnas cukup ramai kala itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru. Mereka muncul dari jalan-jalan besar, gang-gang sempit dan lorong-lorong busuk Ibu Kota. Kendaraan yang semerawut, klakson-klakson, udara yang pengap, dan gedung-gedung yang gemerlap. Jakarta tampak seperti pasar malam. Dalam keramaian seperti itu, saya menyelinap mencari tempat duduk yang tepat dan nyaman untuk menyaksikan Tony Broer mementaskan Nge-GLITCH?.
Penonton berbaju merah muda itu berdialog dengan seorang dalam layar yang diletakkan di halaman depan Galeri Nasional, sebagaimana dituliskan Dian Yuliastuti di majalah Tempo. Sosok dalam layar tersebut mengenalkan diri sebagai Ai. Ia tahu segala hal tentang perempuan muda yang mengaku bernama Salira Ayatusyifa tersebut. “Aku punya data tentangmu,” ujar Ai.
Suara laki-laki itu kemudian memerintahkan Aya—panggilan Salira Ayatusyifa—dan semua penonton memindai sebuah kode bar. Kode bar itu mengarah pada tautan video milik Pusat Studi Urban-Lap Seni dan Tekno Institut Kesenian Jakarta. Di dalamnya tampak gerak-gerak beberapa manusia dalam sketsa hitam-putih yang lalu berubah menjadi sosok laki-laki. Pertunjukan sudah dimulai, ujar saya dalam hati.
nge-GLITCH?—pertunjukan yang bagi orang awam terkesan absurd itu—merupakan pertunjukan teater tubuh yang berkolaborasi dengan Lab Seni Teknologi Institut Kesenian Jakarta dan Lab. Tubuh ISBI Bandung serta mendapuk Tony Broer dan Salira Ayatusyifa sebagai performers. Pertunjukan tersebut termasuk dalam program “Membaca Pakem Teknologi Diri” Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang digelar di Galeri Nasional pada Minggu (22/10/2013) malam.
Malam itu, Broer dan Salira tampil dengan sangat total. Mereka berdua menunjukkan gerak tubuh dan ekspresi yang tak biasa—yang bagi seorang awam: aneh. Broer dan Salira seolah sedang melakukan apa yang oleh Jerzy Grotowski disebut sebagai konsep “memaksa aktor harus mengeluarkan seluruh ekpresi yang bisa dilakukan di pentasnya”. Broer dan Salira tampil bebas, kuat, sublim—bahkan seperti tampil tanpa beban. Seperti tak ada cerita, tapi sarat makna.
nge-GLITCH? mencoba menyuarakan isu tentang pertempuran antara tubuh digital dan tubuh manusia. Ya, sejak perkembangan teknologi digital, pertemputaran itu menjadi sangat nyata, menjadi tantangan hidup sehari-hari yang harus dihadapi. Dan saya pikir, ini sangat tepat dipentaskan di depan mata kepala orang-orang Jakarta, khususnya.
Apa yang hendak disuarakan Yola Yulfianti dalam nge-GLITCH? sebenarnya sudah dituliskan Arief Budiman (1941-2020) dalam esainya yang berjudul Tentang Seni—yang dimuat di majalah Horison, No. 5, November 1966. Kata Arief:
“Manusia adalah sebagian dari alam. Dia hanya dapat menangkap dirinya dalam hubungannya dengan alamnya. Sikap berhadapan dengan alam secara formil tidak akan dapat menghasilkan tanggapan tentang alam secara sejati, di mana keduanya saling menutup diri.
“Karya-karya teknologi tidak mengekspresikan alam—karenanya tdak mengekspresikan manusia. Dia lebih-lebih mengekspresikan kemenangan manusia terhadap alam—tapi ini justru yang membuat manusia makin terasing dari kenyataan dirinya sebagai bagian dari alam, karena dalam teknologi manusia tidak berhubungan dengan dirinya sebagai suatu pribadi.”
Pada sore berikutnya, saya menonton pertunjukan Gema Ladang garapan sastrawan dan sutradara Silvester Petara Hurit dari Flores Timur di IMXR (Studio 1/Black Box) Studio Produksi Film Negara (PFN), Jakarta Timur, Rabu (25/10/2023). Gema Ladang merupakan pertunjukan yang berangkat dari khazanah lokal, nyanyian khas yang membangkitkan gairah berladang, syukuran panen, juga ratapan kepedihan tatkala beras “memaksa” masuk ke Flores dan menggantikan jagung sebagai makanan pokok.
Ratapan tersebut dapat disimak dalam adegan berikut. Lima perempuan berbusana Flores sedang memilah dan membersihkan jagung di nyiru masing-masing. Sesekali mereka menampi, menggoyangnya, menghentakkannya ke atas ke bawah—dan itu membuat debu yang menempel di bulir-bulir jagung, beterbangan. Sementara mereka sibuk membersihkan jagung dari kerikil dan kotoran lainnya, datang seorang laki-laki berpakaian asing, bersepatu, dan berwajah angkuh.
Lelaki tambun dengan kepala plontos itu membawa secontong beras di tangan kirinya lalu menebarkannya ke seluruh lantai pertunjukkan. Tak hanya itu, lelaki itu juga memasukkan beras ke dalam nyiru para perempuan Flores yang berisi jagung dengan congak dan angkuh.
Seorang gadis yang duduk di sebelah saya menangis sesegukan saat menyaksikan adegan semena-mena tersebut.
Bertahun-tahun orang timur “dipaksa” makan beras. Mereka harus meninggalkan umbi-umbian, sorgum, dan jagung sebagai makanan pokok atas nama kemajuan dan status sosial yang lebih tinggi. Bertahun-tahun wilayah timur Indonesia disebut sebagai daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan ter ter lainnya. Dari sini Silvester berhasil memperlihatkan “kejahatan” yang diperbuat atas nama kemajuan.
Selain Gema Ladang, saya juga menonton pertunjukan Pangan dan Kata-Kata yang Tak Cukup—yang dipentaskan oleh Jacko Kaneko, Mohammad Wail, dan Ninok Sulistyowati. Karya ini digelar di Black Box Studio 1 Produksi Film Negara pada Kamis (26/10/2023) sore dalam program Laku Cipta pada gelaran Pekan Kebudayaan Nasional 2023.
Pangan dan Kata-Kata yang Tak Cukup berangkat dari pembacaan atas pangan dan tubuh, yakni persepsi orang-orang terhadap tubuh yang kerap disejajarkan dengan simbol kekotoran, noda, dan materi. Akibatnya, persepsi tersebut membentuk anggapan bahwa makanan yang bersentuhan langsung dengan tubuh dianggap telah tercemar—meskipun pada kenyataannya, tubuh berkaitan erat dengan pangan. Bahkan, kaitan tersebut, dalam proses pengolahan makanan secara tradisional, misalnya, tubuh menjadi ukuran, dan kebersihan bukan semata-mata tentang yang materi atau yang fisik.
Dari beberapa gedung yang menjadi tempat penyelenggara program Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 di kawasan Produksi Film Negara (PFN), Jakarta Timur, tampaknya Ex-Lab Studio PFN menjadi tempat yang paling sedikit dikunjungi—tentu saja jika dibandingkan dengan IMXR (Black Box Studi 1) atau tempat Dapur Bangsa diselenggarakan. Padahal, di gedung yang terletak tepat di sebelah tenda Dapur Bangsa itu, terdapat beberapa seni instalasi—yang menarik—yang dipamerkan.
Pameran seni instalasi tersebut diselenggarakan dari tanggal 20-29 Oktober 2023.
Saat memasuki ruangan Ex-Lab dari pintu samping, saya hanya mendapati beberapa volunteer yang sedang bertugas di sana. Tak ada satu pun pengunjung yang mampir atau sekadar menengok-nengok. Tetapi, anggapan itu ternyata salah, saat saya masuk ke ruang pameran, meski hanya lebih sedikit dari jumlah jari tangan, ternyata ada juga pengunjung di ruang tersebut. Beberapa dari mereka sedang terpaku mengamati seni instalasi yang dipajang di dekat pintu, lainnya asyik berfoto, dan sedikit yang menonton video di layar yang dipasang di beberapa sudut ruangan.
Saya mengedarkan pandangan, dan ikut terpaku pada seni instalasi yang terbuat dari besi—berbentuk seperti tower air—dan kain dengan berbagai macam gambar: tumbuhan, wayang, manusia, transportasi, dan hewan. Saya mendekat. Membaca narasi yang tertera di sebelahnya, dan mengetahui bahwa seni instalasi tersebut bertajuk “Mata Tenggelam” karya Gegerboyo dari Yogyakarta.
Tepat di sampingnya, instalasi tenda kanvas dan stensil cahaya, berdiri, seolah menarik kaki saya untuk mendekati dan mengamatinya. Instalasi itu bertajuk “Jalan Selamat”, karya Hananingsih Widhiasri, seniman dari Semarang, Jawa Tengah.
Jalan Selamat adalah instalasi berbentuk tabung dengan berbagai gambar dan warna yang mencolok. Ada beberapa petani yang sedang memikul hasil bumi sebagai persembahan. Ada anak muda yang sedang bermain bola. Ada pula dua perempuan yang bernyanyi dan menari. Semua itu adalah ekspresi kegembiraan warga desa saat melakukan tradisi sedekah bumi.
Naik ke lantai dua, terdapat beberapa instalasi yang menampilkan ekspresi kota urban. Keramaian ruang pameran memang bersumber dari beberapa karya instalasi di lantai ini. Ada musik disko, ada musik dj. Semua saling bertabrakan, seperti pasar malam—ramai dan penuh cahaya lampu.
Dari sekian banyak seni instalasi yang dipamerkan di lantai dua, entah kenapa, saya memilih karya bertajuk “Input Output” dan “Kabel Kusut”. Mungkin karena letaknya di dekat tangga, di satu sisi, mungkin juga karena tampilannya yang mudah dibaca, di sisi lainnya.
Input Output merupakan seni instalasi karya Duta Adipati (Jakarta). Karya ini terdiri dari besi, manekin, layar LED, pengeras suara, kabel, lampu LED, dan seni video. Instalasi ini termasuk bagian dari kuratorial Temujalar PKN 2023 sub program TARKAM. A.K.AP.
Di tangan Duta, manekin itu tampak ganjil. Bagian badan, tangan, dan kaki tak menyatu, terpisah seperti habis dimutilasi. Kabel lampu LED dililitkan di tubuh manekin, sedangkan di kanan kirinya, terdapat pengeras suara. Yang menarik, tepat di dada manekin, diletakkan dua buah telepon genggam yang menyala menampilkan seorang remaja lelaki yang sedang live TikTok. Tubuh manekin tampak ramai dengan kerlap-kerlip lampu LED, seperti warung-warung di pinggiran Jalan Pantura.
Kabel Kusut juga mencoba merekam bagaimana Jakarta telah dijerat, dililit, diteror oleh kabel-kabel fiber optik yang menjuntai kusut dan tiang listrik yang miring ke jalananan. Kedua hal yang semrawut itu, ditampilkan secara artistik, apa adanya, oleh Reinaldy Firza dan Rama Hilal S (Jakarta). Sebagai seniman, mereka berdua menggambar sosok manusia tersengat listrik dan seorang lelaki yang berteriak, berekspresi ketakutan. Tak hanya itu, visual kabel-kabel semrawut dan tiang listri berwarna merah juga dihadirkan.
Sampai di sini, selain menyajikan banyak pertunjukan dan pameran, PKN 2023 juga berusaha mengeksplorasi kekayaan kuliner Nusantara. Di Gedung Perum PFN, misalnya, PKN menghadirkan kreasi—sebagaimana di sebut di atas—“Dapur Bangsa”.
Pada tanggal 20-29 Oktober 2023, tenda besar yang didirikan tepat di belakang IMXR Studio (Black Box/Studio 1) PFN itu, nyaris setiap hari, tak pernah sepi pengunjung. Mereka, para pengunjung itu—yang terdiri dari seniman, budayawan, volunteer, dan masih banyak lagi—yang berkesempatan hadir di PKN secara langsung, rela antre dan berdesak-desakan demi mencoba kekayaan kuliner Nusantara.
Selain karena penasaran dengan rasa berbagai masakan yang dihidangkan, satu hal yang penting adalah, semua masakan bisa dicoba tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, alias gratis, sepuas-puasnya. Dan salah satu hidangan yang ramai diserbu pengunjung waktu itu adalah kuliner khas dari Maluku Utara: sambal dabu-dabu beo, dabu-dabu tamate dule, baku ngelo, pisang mulu bebe, dan kerupuk tradisional khas Bacan bernama kamplang—yang terbuat dari percampuran ikan tuna segar dengan tepung sagu.
“Dapur Bangsa”, sebagai sebuah program nasional, merupakan program yang bagus dan harus dipertahankan. Tak hanya sebagai ruang sosialisasi, Dapur Bangsa juga dapat menjadi ruang eksplorasi lebih lanjut terkait kekayaan kuliner Nusantara.
Hal tersebut sejalan dengan tema PKN tahun itu, “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”. Benar. Upaya merawat Bumi memang ikut menentukan pelestarian kebudayaan di Tanah Air. Beragam praktik kebudayaan melebur dengan tradisi leluhur dalam menjaga alam. Pekan Kebudayaan Nasional 2023 turut menggaungkan budaya peduli Bumi agar tidak diabaikan dalam rencana pembangunan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Fitra Arda mengatakan, sebagaimana disampaikan di laman Kompas.id, pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan pranata sosial semestinya menjadi bekal dalam merencanakan pembangunan.
Oleh karena itu, melalui gelaran Pekan Kebudayaan Nasional, dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan, Pemerintah Republik Indonesia sudah berada dalam rel yang tepat. Ini adalah bentuk dari keseriusan pemerintah dalam hal mengurus kebudayaan—walaupun masih banyak yang harus dipikirkan dan dikerjakan. Faktanya, arah-tujuan kebudayaan kita masih belum jelas-terang-benderang.
Dari sejak era Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, Surat Kepercayaan Gelanggang 1950, ataupun geger Manifes Kebudayaan di tahun 1963, dan bahkan hingga era keterbukaan informasi hari ini, sebagaimana telah ditulis Irfan Afifi dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Kebudayaan: Visi Kemanusiaan dan Ketuhanan”, kita sebagai bangsa tak pernah kunjung menemukan rumusan dan tawaran final atas keterbelahan “kebudayaan” kita antara di satu sisi ingin terus terhubung, atau setidaknya masih terus dihantui dan digelayuti denyut kearifan tradisi masa lalu dan struktur pandangan dunia lama yang hingga hari ini masih terus-menerus bertahan.
Maupun di sisi yang lainnya sebuah dorongan untuk menatap dan menyongsong dan menjemput ketertinggalan menuju masa depan yang telah digariskan “pusat” tata modernitas global yang imperatif nilai-nilainya bahkan telah menjadi matra dan seruan yang beredar dalam bahasa formal tata kelembagaan modern kita maupun telah menjadi cakapan informal dalam keseharian biasa hidup kita.
Sejak tahun 2018, PKN telah menjadi wadah belajar, pengembangan inovasi, apresiasi karya, pertemuan antarseniman dan budayawan, serta telah banyak melahirkan karya dan seniman muda di Tanah Air. Meskipun masih banyak yang harus dievaluasi, tetapi, sebagai warga negara, kita harus mendukung dan mengapresiasi usaha besar dan mulia ini.
Saya berharap, Pekan Kebudayaan Nasional akan selalu ada di setiap tahun, sampai kapan pun. Sebab, menurut saya, ini merupakan ajang yang bisa dipakai sebagai corong yang dapat menyuarakan suara-suara lain dari daerah—yang seolah sudah terlalu lama tidak mendapat tempat di ubin Ibu Kota. Membaca Sanghyang dan Gema Ladang saya pikir dua dari sekian banyak suara dari daerah yang patut didengarkan dan dipikirkan ke depannya. Itu.[T]
BACA artikel lain terkait PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL 2023 atau artikel lain yang ditulis JASWANTO di sini.