“Lamartin benar ketika ia berkata, ‘Orang tidak bakal jadi manusia utuh, jika tak pernah melancong dan mengubah gaya hidupnya’.”—Mahbub Djunaidi dalam Pariwisata.
SAYA SEPAKAT, sekali-dua kali orang mesti tinggalkan kampung halaman dan melongok ke sana kemari. Kata Mahbub, “dengar-dengar saja tentu kurang memadai”. Bukankah ada kearifan Tiongkok lama yang berbunyi: melihat sekali lebih baik daripada mendengar 1000 kali? Saya pikir begitu.
Beribu tahun sebelum Masehi, orang Babilon dan Phoenicia juga gemar mengembara kian kemari. Orang Polinesia lebih gila lagi, mereka merambah pulau-pulau yang membentang di Pasifik hanya naik kano dan berpedoman bintang-bintang di langit saja. Lain halnya dengan Kaisar Wu, dari abad 10 Masehi, demi batu giok dan perempuan, dia rela berkelana ke bagian utara negeri.
Marco Polo nyatanya juga tidak mau absen, ia tinggalkan Venetia pada tahun 1271. Dan dalam esainya, Mahbub Djunaidi menuliskan: “Ia (Marco Polo) cukup berkemas dan menggendong ransel, merambah Persia, Afghanistan, hingga daratan tinggi Pamir, menerobos masuk gurun Gobi, menyentuh gerbang istana Kubilai Khan dan menetap di sana hingga 20 tahun”.
Begitupun dengan saya. Pertengahan tahun 2019, meski (jauh) tidak sebanding dengan perjalanan Marco, untuk kali pertama, saya menjelajah Banyuwangi bagian selatan bersama seorang teman yang gila untuk mencari “ketenangan”, katanya. Ya, setelah menikmati malam di Pulau Merah (baca di sini: Pulau Merah: Surga di Selatan Banyuwangi) yang seperti surga itu, saya dan Dziky melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Songgon, tepatnya ke Desa Sragi.
Namun, sebelum ke Songgon—dan setelah menyantap tahu lontong—kami singgah di rumah seorang teman di Purwoharjo. Mirza, begitu kami memanggilnya. Mirza adalah alumni mahasiswa Pendidikan Seni Rupa di kampus kami, dulu. Kami mengenalnya ketika dia masih aktif di komunitas teater Putung Rokok atau disingkat KONTUR.
Dalam ingatan kami, ia memiliki tangan yang piawai menghasilkan gambar. Saat kuas di tangannya, kanvas lukis terasa bagaikan panggung sulap. Ilusinya membuat lukisan tampak sederhana, tetapi amat rumit bagi seorang amatiran. Saya pernah dihadiahi sebuah lukisan—yang sampai sekarang masih saya pajang di kamar kontrakan dan masih juga belum paham apa makna di balik lukisan tersebut. Tetapi saya suka lukisan itu. Sekarang, Mirza mengajar di salah satu SMA favorit di daerahnya.
Sesampainya di rumah Mirza, kami langsung disambut laiknya keluarga yang baru saja pulang dari perantauan. Dan kesan pertama memasuki pekarangan rumahnya, saya dibuat kagum oleh hijaunya lahan hidroponik miliknya. Ya, hidroponik adalah budidaya menanam dengan memanfaatkan air tanpa menggunakan tanah dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman. Di lahan itu hanya dua jenis tanaman saja yang ditanam: selada dan sawi.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati mie goreng buatan ibunya Mirza, ia memutuskan untuk ikut berpetualang bersama kami. Kami bertiga sepakat untuk menjelajah surganya air terjun di Banyuwangi: Songgon.
Jaswanto berpose di hutan Songgon / Foto: Dok. Dziky
Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, wilayah yang memiliki luas 300,84 km²—yang terbagi menjadi sembilan desa—itu, dilewati berbagai sungai: Sungai Kumbo, Badeng, Binau, dan Mangaran. Letaknya yang berada di dataran tinggi, di daerah kaki Gunung Raung, membuat suhunya adem—untuk tidak mengatakan dingin.
Songgon termasuk daerah yang memiliki banyak wisata alam yang bertemakan petualangan. Mulai dari arung jeram sampai tempat perkemahan. Di kecamatan ini pula terdapat wisata hutan (wanawisata) bernama Rowo Bayu yang, dengar-dengar, memilki nilai sejarah sebagai tempat bertapanya Raja Blambangan, Prabu Tawang Alun II. Wilayahnya yang terdiri dari pegunungan di bagian utara dan barat, membuat banyak sekali air terjun: Air Terjun Lider, Telunjuk Raung, Selendang Arum, Temcor, dan Air Terjun Pameton.
***
Kami berangkat dari rumah Mirza sekitar pukul duabelas siang. Mampir sebentar ke sebuah toko klontong untuk membeli ketela rambat dan singkong—atau dalam bahasa lokal disebut sabrang. Jupe, motor Jupiter Z generasi 3 keluaran tahun 2006 yang kami (saya dan Dziky) kendarai, melaju terburu-buru, mencoba mengejar Beat-nya Mirza. Sepanjang jalan Kecamatan Cluring menuju Sumberarum, Desa Sragi, Songgon, motor legendaris itu tampil percaya diri. Tujuan kami adalah: Air Terjun Temcor.
Air Terjun Temcor merupakan salah satu destinasi wisata yang berada di lereng Gunung Ijen. Air terjun yang bertempat di Sumberarum, Desa Sragi, Kecamatan Songgon ini, memang belum dikenal banyak orang. Walaupun demikian, cukup populer di kalangan penduduk asli Banyuwangi. Lokasinya yang membelah persawahan, berbeda dengan curug lain yang berada di pedalaman hutan belantara, menbuat air terjun ini memiliki topografi cukup unik.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya kami sampai di lokasi. Membayar tiket, masing-masing orang lima ribu, dan karena kami bertiga berencana untuk berkemah di sekitaran air terjun, kami mengeluarkan biaya tambahan sekitar lima puluh ribu rupiah. Itung-itung sebagai biaya keamanan, kata Mirza.
Kami memarkir sepeda motor di bawah pohon. Kemudian tracking melewati pematang sawah, mengikuti air irigasi. Dari bibir jurang sudah terdengar suara dan terlihat air terjun dari kejauhan. Sungai kecil di atasnya mengalir membelah area persawahan lalu jatuh ke jurang membentuk air terjun.
Udara di Dusun Sumberarum ini sejuk sekali. Bumi di sekitarnya yang semakin memanas, Sumberarum tampak menjadi salju di tengah gurun pasir—yang tetap beku, di tengah neraka. Ya, bumi memang semakin memanas. Goddard Institute for Space Studies (GISS), lembaga penelitian semesta milik NASA, mencatat suhu bumi naik 0,8 derajat Celcius sejak 1880, seratus tahun setelah dimulainya Revolusi Industri, ketika era pertanian berubah menjadi pengolah barang di pabrik.
Sebab, dua pertiga kenaikan tertinggi dimulai sejak 1975 sebesar 0,15-0,2 derajat Celsius per dekade. Perubahan iklim tengah terjadi, akibat aktivitas manusia dan segala penghuninya. Ia bukan mitos, seperti diyakini mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Majalah ForesDigest edisi Januari-Maret 2019 mencatat, iklim yang berubah tak sekadar soal suhu yang naik. Perubahan iklim bisa terlihat dengan jelas dari kian banyaknya jenis badai yang melanda belahan-belahan dunia dalam 50 tahun terakhir. Badai, banjir, salju yang ekstrem, dan musim kering berkepanjangan yang merenggut korban jiwa selalu tak sama di tiap-tiap era.
Orang tua kami di kampung tak lagi memakai primbon untuk menghitung musim dan menyesuaikan tanaman dan waktu panen di sawah dan ladang. Primbon, yang berasal dari perhitungan-perhitungan kuno berdasarkan pengalaman sehari-hari, tak lagi sesuai atau bisa memprediksi perubahan cuaca. Setiap tahun ada perubahan-perubahan waktu tanam karena palawija tak sesuai lagi dengan iklim yang berganti. Musim hujan tak lagi terjadi pada kurun September-April, tapi di bulan-bulan kering antara Mei-Agustus.
Penyair Sapardi Djoko Damono—seperti yang tertulis dalam majalah Fores Digest—mesti membuat satu puisi lagi untuk menyesuaikan perubahan iklim ini. Ketika ia menulis Hujan Bulan Juni pada 1994, musim masih sesuai dengan penanggalan primbon. Dalam sajak itu, Sapardi menggambarkan bahwa hujan bulan Juni sebagai ketabahan karena air jatuh dari langit itu salah masa: rintiknya menghapus jejak kemarau yang panjang.
Tapi kini, hujan bulan Juni bukan lagi metafora untuk ketabahan karena pada pertengahan tahun itu di beberapa daerah justru sedang banjir. Di Jakarta, pada Juni 2018, tinggi banjir mencapai satu meter.
Jaswanto dan Dziky di hutan Songgon / Foto: Dok. Dziky
Jarak antara puisi Sapardi dengan hari ini tak sampai 30 tahun. Dalam kurun itu cuaca berubah, iklim berganti dan penanggalan primbon tak berlaku lagi. Perubahan-perubahan cuaca yang pendek itu menunjukkan bahwa ada yang sedang berubah di alam semesta. Celakanya, perubahan itu ke arah yang lebih buruk.
Deforestasi, naiknya jumlah penduduk, makin atraktifnya mesin dana produk-produk industri membuat karbon dioksida sebagai gas yang terbuang dari proses produksi itu, terperangkap di atmosfer kita sehingga memancar kembali ke bumi menaikkan suhu. Alam telah mengajarkan tentang segalanya dan memberikan banyak hal kepada kita. Hanya saja, perlakuan kita terhadapnya layaknya tuan dengan seorang budak—entah dengan tindakan atau melalui bahasa.
Padahal, begitu banyak contoh bagaimana lewat bahasa penghormatan kepada alam bisa dilakukan. Chairil Anwar menuliskan: “Beta Pattiradjawane, hutan pala, serta apa di pantai”; Ebiet G Ade yang tak mau kalah, yang mengajak kita “bertanya kepada rumput yang bergoyang”; Eka Kurniawan dalam novel Lelaki Harimau dengan “senja, kelapa, bunyi falsetto laut, badai jinak, ganggang, dadap, dan semak lantara”; memberikan contoh penghormatan kepada alam lewat bahasa.
Atau Henry David Thoreau dalam Waden, misalnya. Tinggal di dalam hutan sebagai bentuk perlawanan kepada industrialisasi yang membuatnya muak, sastrawan Amerika Serikat itu mengaitkan fase-fase spiritualnya dengan tanda-tanda alam.
Hutan, bagi Thoreau, “tempat bagiku untuk hidup bebas.” Kejumudan spiritualnya digambarkan lewat air danau yang membeku. Dan, pagi serta sinar matahari adalah “sebuah undangan menyenangkan untuk bisa menjalani hidup yang jauh dari kerakusan.”
***
Pada malam di dalam tenda, setelah menyalakan api, membakar umbi dan menikmatinya di tengah udara sejuk Sumberarum, kami bertiga duduk diam dengan pikiran masing-masing. Di luar tenda tampaknya sudah mulai gerimis. Suasana di sekitar sangat sepi. Hanya terdengar suara nyaring serangga malam, gemericik air, dan suara ranting-daun yang bergesekan. Sungguh, tempat yang cocok untuk menghindar sejenak dari hiruk-pikuk kota dan perdebatan orang-orang.
Malam itu, kami bertiga mencoba untuk membuang diri, menepi, meminggirkan diri bersama sepi, mengasingkan diri bersama sunyi. Agak berlebihan kami mengaggap diri seperti Pandawa, yang menyepi untuk mengalahkan musuh dalam diri. Atau mengembara seperti Musa menemui Khidlir sang penjaga rahasia. Seperti Yunus yang ditelan samudera; dan Muhammad yang gigil memeluk firman-Nya.
“Menyepi itu penting, supaya kamu benar-benar bisa mendengar apa isi dari keramaian,” begitu kata Cak Nun.
Di sini, di hutan, atau di gunung, di atas sana ada kesunyian yang hampir sempurna. Tak ada deru mesin yang bising, urusan kerja, birokrasi yang boborok, konflik internal-eksternal agama, baliho-baliho caleg, dan masalah-masalah yang seperti hendak membunuhmu saat ini juga.
Tentang mengasingkan diri, saya teringat sosok Isaac Newton yang baru berusia 20 tahun ketika Wabah Besar London melanda. Saat itu dia belum mendapat gelar “Sir” dan belum mengenakan wig formal putih yang besar. Newton hanyalah seorang mahasiswa di Trinity College Cambridge, London.
Pada Januari 1665, tepat saat wabah turun ke London, Newton mendapat gelar sarjananya. Universitas Cambridge ditutup pada 7 Agustus 1665 dan mendorong para cendekiawan residennya untuk melarikan diri ke pedesaan yang berpenduduk kurang padat. Newton kembali ke pertanian keluarganya di Woolsthrope Manor sampai Universitas dibuka kembali pada akhir 1666. Saat itulah Newton melepaskan kejeniusanya, tulis penulis biografi Philip Steele.
Di tengah ancaman Wabah Besar London, epidemi wabah yang berlangsung selama 1665 – 1666—catatan kota dalam Britannica menunjukan sekitar 68.596 orang meninggal dunia karena wabah, meskipun jumlah kematian sebenarnya diperkirakan melebihi 100.000 orang—Newton menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mengubah dunia.
Selain Newton, saya juga teringat “Sang Pembangkang Amerika”, siapa lagi kalau bukan Henry David Thoreau. Kesukaanya terhadap kesendirian mendorongnya mengisolasi dirinya di sebuah pondok kecil milik Emerson—mentornya—di Walden Pond.
Ia hidup sangat sederhana di hutan itu selama dua tahun (1845 – 1847), menjauhi kehidupan ‘normal’ masyarakat yang dinilainya sudah terlalu jauh menyeburkan diri pada pola hidup materialistik. Dari pengalamannya di sana, ia lantas menulis sebuah mahakarya berjudul Walden (1854). Buku ini menceritakan hari-hari yang ia jalani di sana, yaitu sebuah perenungan spiritual dengan mendekatkan diri kepada alam sambil mempelajarinya. Thoreau menemukan jiwanya di sana. Dengan mengasingkan diri, ia jadi punya banyak waktu untuk berpikir dan mempelajari alam di sekitarnya.
Dan jangan lupakan filsuf modern kita, Rene Descartes, yang pernah mengasingkan diri selama 22 tahun di Belanda. Ia menguji semua yang dipikirkannya selama pengasingan tersebut, seperti berobat tanpa biaya, berusaha meningkatkan usia yang panjang, dan terakhir mengambil sudut pandang berbeda dari setiap kondisi manusia.
Oh, sekadar menyebut satu contoh lagi, Nabi Muhammad yang mengasingkan diri di Gua Hira untuk mendapatkan pencerahannya. Kemudian menjadi pemimpin umat manusia menuju jalan kebenaran. Namanya selalu diagung-agungkan, bukan hanya oleh umatnya, tapi juga manusia yang tak seiman dengannya.
Tentu saja masih banyak tokoh yang mendapatkan pencerahan dari pengasingannya. Mengasingkan diri dari kerumunan. Menyepi agar tahu apa sebenarnya isi keramaian. Dan di saat seperti ini, dengarkanlah sukma kita. Barangkali, sudah lama sukma kita ingin mengajak bercakap-cakap, tetapi kita terlalu sibuk.
Namun, di dunia yang semakin ramai ini, tak banyak orang yang menyukai dunia yang sunyi, sepi, dan menyendiri. Semua orang suka hingar bingar, memuji bising, dan menikmati pesta.
Sunyi, sepertinya semakin disingkirkan. Ia dijauhi mereka yang ingin agar hidup sepenuhnya dibangun oleh kata tegas, diarahkan logos, dengan kesadaran penuh, hingga dapat dirumuskan wacana, disusun rapi dan diperkuat mufakat. Padahal, tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan cara akademis, hukum, dll, terkadang sebuah permasalahan juga bisa diselesaikan dengan cara-cara estetika, keindahan.
Sunyi—dalam bahasa Sapardi Djoko Damono, dalam sajaknya Pada Suatu Malam, menuliskan bahwa sunyi adalah minuman keras—kini telah tiada. Hanya seperti lentera kecil yang berada di batas nyala. Redup. Semakin redup. Tidak salah jika jiwa manusia sekarang banyak yang tak jernih, kata penyair Goenawan Mohamad. “Sebab mereka telah meramaikan jiwa dan raganya dengan urusan-urusan yang profan dan menyingkirkan yang sakral.”
Padalah sunyi adalah dunia para sufi. Bertapa untuk menjauh dari bising. Untuk lebih dekat dengan diri sendiri, jiwa yang merasuk begitu dalam hingga kabur antara batas “aku” dan “bukan aku”. Hingga jiwa terlepas dari beban duniawi. Jernih. Hanya ada ketenangan bersama diri sendiri.
Kawanku, kita tidak akan bertahan lama, bukan? Jika kau sudah merasa jenuh dengan semua ini dan merasa terpenjara oleh belantara kota, tinggalkan kotamu. Pegilah dengan teman-temanmu. Tempuhlah perjalanan menembus hutan, dan tertawalah tanpa henti—menertawakan dunia dan diri sendiri.
***
Tetapi faktanya, kebahagiaan, kedamaian, ketenangan, atau apa pun itu, tak mungkin abadi. Dalam sebuah perjalanan, lalu singgah sebentar, kemudian merasakan kenyamanan, tetap saja kau harus kembali, menjalani rutinitas dari kehidupanmu sebelumnya.
Justru—seperti yang pernah dituliskan oleh Mumu Aloha—di situlah seninya bepergian, merasakan bahwa setiap pengalama dalam hidup ini tidak ada yang abadi. Satu saat kau di sana, saat yang lain kau di tempat yang lain lagi, dan suatu hari nanti, entah akan ke mana lagi.
Seperti hujan yang datang sebentar, membasahi bumi yang kering, dan meneduhkan hati yang panas. Seperti mimpi yang mampir dalam tidurmu. Seperti lagu yang sesaat membuai jiwa, untuk kemudian menjadi kenangan, mungkin untuk selamanya.
Namun, suasana ini, gelak tawa ini, esensi ini, orang-orang ini telah menyadarkan saya bahwa saya takkan pernah sendirian. Mungkin liburan waktu itu saya kehilangan makna “pulang”, tapi bukankah saya tidak pernah pergi? Bagi saya, di negeri ini, di mana pun saya berada, semuanya adalah rumah.
Dan jika kau bertanya, daerah mana yang paling berkesan yang pernah saya singgahi? Sejujurnya, saya tidak pernah punya jawabannya. Semua daerah memiliki cerita yang berbeda-beda. Yang sama hanyalah rasa sakit ketika berpisah. Karena perpisahan, semanis apa pun itu, seindah apa pun itu, perpisahan tetaplah perpisahan. Ada cerita yang harus berubah menjadi kenangan.
Ya, perjalanan ini telah menjadi kenangan. Dan kami (saya, Dziky, dan Mirza), sudah lama tidak berjumpa. Kami sudah fokus dengan diri masing-masing. Saya di Singaraja dan bekerja di tatkala.co; Dziky menetap di kampungnya dan memilih menjadi wartawan di JTV; dan Mirza masih setia menjadi guru di tanah kelahirannya.
Namun, seperti kata Max dalam suratnya kepada Mery dalam film Mary and Max (2009) karya Adam Elliot:
“Bernard Hazelhoff juga bilang, bahwa hidup tiap orang seperti trotoar yang panjang. Ada yang dibeton dengan bagus; yang lain, seperti jalan hidupku: banyak retak, kulit pisang, dan putung rokok. Trotoarmu seperti milikku, tapi mungkin tidak banyak retak. Mudah-mudahan, kelak trotoar kita akan bertemu—dan kita bisa berbagi sekaleng susu kental.” Semoga.[T]