PERKEMBANGAN pariwisata Indonesia mengalami kemajuan pesat memasuki tahun 2010. Hal itu ditandai dengan peningkatan kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara, serta membaiknya iklim investasi di sektor pariwisata pasca Bom Bali tahun 2002 dan tahun 2005.
Perkembangan menggembirakan ini kemudian diikuti dengan gairah masing-masing daerah di provinsi dan kabupaten untuk menggenjot sektor pariwisatanya. Pembangunan infrastuktur menunju destinasi unggulan yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi juga membuat aksesibilitas menuju objek wisata yang lain di daerah semakin mudah.
Gairah untuk mengembangkan sektor pariwisata bukan hanya terjadi di provinsi atau kabupaten saja, tetapi juga sudah merambah ke desa. Potensi alam daerah di Indonesia ramai-ramai dikelola untuk dijadikan objek wisata. Wisatawan pun berdatangan, keuntungan ekonomis diperoleh desa.
Euphoria pariwisata di daerah kemudian melahirkan tren pengembangan desa wisata. Setiap daerah yang memiliki keindahan alam kemudian “disulap” menjadi objek wisata. Bahkan tidak jarang yang kemudian membuat spot menarik di suatu tebing, sawah, sungai, danau, dan laut hanya untuk berswafoto di objek itu.
Hampir setiap kabupaten di Tanah Air memiliki desa yang mengembangkan sektor pariwisatanya. Dan, mereka mengklaim bahwa apa yang mereka kembangkan di desa adalah Desa Wisata. Meski sesungguhnya desa wisata yang dimaksud hanyalah klaim demi ikut menikmati kue pariwisata yang menggiurkan.
Konsep Desa Wisata
Satu objek atau pemandangan yang menarik di desa yang dikelola untuk dikunjungi wisatawan tidak serta-merta dapat disebut sebagai desa wisata. Desa yang hanya menyuguhkan objek spot foto tidak dapat disebut desa wisata, meskipun dikelola oleh desa dan banyak dikunjungi wisatawan. Lebih tepat disebut dengan wisata pedesaan.
Pengembangan desa wisata harus berdasarkan konsep yang jelas. Desa wisata, menurut I Ketut Suwena dan I Gusti Ngurah Widyatmaja (2017) merupakan kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, maupun kegiatan perekonomian yang unik dan menarik.
Desa wisata juga harus memiliki potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, seperti atraksi, akomodasi, makanan dan minuman, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya.
Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Konsep desa wisata harus berangkat dari produk wisata yang melibatkan anggota masyarakat desa dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa wisata tidak hanya membawa dampak ekonomi, tetapi sekaligus dapat melestarikan lingkungan alam, sosial budaya masyarakat, khususnya berkaitan dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, dan lain-lain. Dengan demikian, kelestarian alam dan sosial budaya masyarakat akan menjadi daya tarik wisatawan ( Mulyadi, dalam Ni Gusti Ayu Susrami Dewi, 2016)
Tipologi
Pengembangan desa wisata dapat dilakukan dengan pendekatan tipologinya. Pendekatan tipologi desa wisata biasanya didasarkan pada karakteristik yang berbeda pada masing-masing desa. Perbedaan karakteristik itu terletak pada jenis atraksi wisata dan pencapaian ke desa wisata maupun kawasan resort wisata (Chusmeru,2009).
Tipologi dan karakter desa wisat perlu diidentifikasi. Apa saja atraksi wisata yang khas? Berapa jarak tempuh dari terminal bus atau stasiun kereta api serta destinasi utama di daerah tersebut? Berapa durasi waktu yang dapat dihabiskan wisatawan di desa sesuai dengan besaran desa wisata? Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana? Pelayanan apa saja yang akan diperoleh wisatawan di desa pada saat baru datang, saat beraktivitas, dan saat meninggalkan desa wisata? Interaksi dan something to do apa saja yang ditawarkan kepada wisatawan?
Setelah tipologi desa wisata berhasil ditetapkan, maka langkah berikutnya merumuskan kemasan paket wisata yang ditawarkan. Akan lebih baik bila wisatawan mempunyai banyak pilihan paket wisata di desa.
Paket wisata di desa dapat dikemas dalam tiga pilihan. Pertama, berhenti sesaat (just stop for a moment). Paket ini ditawarkan bila atraksi yang ada di desa wisata sifatnya tunggal, kurang variatif, interaksi wisatawan dengan masyarakat terbatas.
Kedua, berhenti untuk sementara waktu (rest for a while). Wisatawan akan singgah dan berhenti cukup waktu untuk menikmati atraksi wisata yang bervariasi. Misal one day trip keliling desa, makan bersama penduduk, belajar kuliner, membuat kerajinan, atau melakukan aktivitas di ladang.
Ketiga, tinggal inap (enjoy an overnight stay). Paket ini memungkinkan wisatawan tinggal atau menginap di desa wisata. Masyarakat akan lebih banyak mendapatkan keuntungan dari paket ini. Berbagai atraksi seni budaya masyarakat bisa lebih dioptimalkan. Namun demikian, perlu dicermati dampak lingkungan fisik, sosial, dan budaya dalam jangka panjang.
Dengan demikian desa wisata bukanlah sekadar desa yang ramai dikunjungi wisatawan karena memiliki pemandangan indah. Air terjun di satu desa bisa jadi sama indahnya dengan desa lain. Pemandangan bukit dan pegunungan nyaris sama di setiap daerah. Desa wisata bukan sekadar klaim agar dapat berebut kue pariwisata.
Sebuah desa disebut desa wisata justru karena keunikannya. Kekhasan tradisi suatu desa, keunikan kesenian, kebiasaan masyarakat yang menarik, kuliner khas yang memiliki cita rasa tersendiri, dan dinamika sosial budaya masyarakat yang tiada henti itulah yang semestinya menjadi andalan bagi pengembangan desa wisata.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU