CHRIS MARTIN dalam konsernya beberapa hari lalu di Gelora Bung Karno mem-viralkan sebuah pantun yang bernada sindiran, kepada siapa pun. “Hari Selasa ujian Fisika, giat belajar agar lulus, apa kabar kota Jakarta? Boleh dong pinjam seratus?”
Pantun ini mendapat respon dari berbagai kalangan, termasuk kaum terpelajar yang berusaha mengulik makna di balik pantun itu, yang dikontekstualkan dengan situasi belakangan ini di sini. Chirs seolah memantik narasi yang beragam sebagai cermin hidupnya gairah berdemokrasi melalui pantun.
Belakangan ini, pantun memang sedang naik daun. Politisi, artis, pewara, pendidik, pengacara dan profesi lain sering memanfaatkan pantun sebagai strategi komunikasi. Sebagai strategi komunikasi, pantun dapat digunakan untuk memuji, menyindir, mendebat, menasihati, bahkan berkelakar secara satire.
Dalam dunia pendidikan, di Program Sekolah Penggerak (PSP) yang dilaksanakan Balai Guru Penggerak Bali, pantun tampaknya menjadi “lagu wajib”. Pemantun dan terpantun saling sapa. Setiap sampiran dan isi yang diucapkan pemantun selalu dijawab dengan: cakep oleh terpantun (belum jelas dari mana asal muasal cakep itu, mengapa tidak cantik, misalnya).
Namun demikian, pantun menyuguhkan komunikasi dialogis yang hangat penuh semangat. Tak ubahnya secangkir kopi hangat pagi yang menggairahkan. Nikmat tak tepermanai.
Kehadiran pantun di ruang publik dalam berkomunikasi menarik dicermati dalam sejumlah hal. Pertama, pantun menjadi alat komunikasi yang menarik, menggelitik, dan menghibur. Terkadang isinya protes atau sindiran tetapi tetap menghibur tanpa ada yang merasa tersakiti, baik dalam konteks keluarga maupun dalam konteks berbangsa.
Contohnya, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai, ayo kawan janganlah bingung, jagalah keutuhan jangan bercerai.
Pantun ini mengamanatkan bercerai tidak saja mengganggu keutuhan keluarga, tetapi juga mendistorsi keutuhan paragraf kebangsaan yang seharusnya ditenun dengan piranti kohesi dan koherensi yang padu dan telah diperjuangkan dengan susah payah untuk melahirkan keindahan demi kesejahteraan lahir batin. Selaras dengan moto pejuang bangsa terdahulu, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Kedua, sebagai bentuk puisi lama, pantun mendapat panggung yang diagungkan dalam berbagai event. Ini patut disyukuri bahwa masyarakat Indonesia masih mencintai tradisi berpantun, sebagai bagian dari kebudayaan.
Pantun telah menjadi sumber kreativitas seni berbahasa yang mampu beradaptasi dengan keadaan, termasuk zaman Covid-19, selaras dengan kodrat anak, kodrat zaman, dan kodrat alam. Contohnya: Dari Cina kita berlayar, tetap rajin membayar pajak, dari Corona kita belajar, selalu disiplin menjaga jarak.
Ketiga, pantun dapat dilagukan dengan rimanya yang bersilang dan tampak kompak serasi sebagai pasangan idaman. Sampiran dan isi boleh jadi tiada hubungan maknawi, tetap ditautkan oleh rima yang membuat syahdu.
Tafsir pun bisa bersifat kontekstual dan menimbulkan kegandaan makna bergantung pada respon terhadap situasi yang dikritisi, seperti pantun Chris Martin di atas. Dengan demikian, pantun adalah salah satu produk budaya untuk mengasah keterampilan berpikir kritis yang memenuhi syarat estetis humanis.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila, pantun pun dapat menjadi hallo efect yang memikat, sebagai bahan apersepsi pada awal pembelajaran dan bahan refleksi pada akhir pembelajaran.
Pantun juga dapat digunakan sebagai selingan di tengah-tengah pembelajaran untuk mencairkan kevakuman suasana kelas. Kepiawaian guru sebagai komunikator di kelas dapat menjadikan pantun sebagai ice breaking sehingga kelas menjadi hidup: menggairahkan.
Kelas yang menggairahkan adalah pintu kesadaran keberterimaan dalam hubungan guru – siswa. Keberterimaan sejati hanya dapat berlangsung bila adanya kesamaan frekuensi di antara kedua pihak. Pantun adalah jembatan menarik untuk penguatan profil pelajar Pancasila.
Untuk menguatkan elemen bertakwa, beriman, dan berakhlak mulia, misalnya, dapat diselipkan pantun nasihat. Musim kering makan mentimun, makan mentimun bersama teman, musim gering menjaga imun, menjaga imun merawat iman.
Untuk aspek bergotong royong, misalnya dapat dipilih pantun yang membersamai. Penyakit koreng tandanya gatal, orang sial jangan ditertawakan, walaupun bertemu secara digital, hubungan sosial jangan dilupakan.
Dalam menanamkan sikap kritis terhadap media sosial, guru bisa beraksi dengan pantun. Bersama makan kue kering, Kue kering terasa garing, Belajar pada masa daring, saringlah sebelum sharing. Pantun lain misalnya, Ke swalayan membeli kue kering, bertemu ayah Si Lecir, pandai-pandailah belajar daring, jangan sampai anda tergelincir.
Begitulah pantun menyediakan ruang bebas berekspresi bagi guru mengawal pembelajaran di kelas dengan Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar bagi guru dan siswa. Merdeka berpantun untuk tetap santun dan berkepribadian dalam kebudayaan mengawal NKRI.
Di tangan guru kreatif, pantun dapat menjadi produk dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan sentuhan budaya lokal dalam bentuk dolanan, misalnya. Kolaborasi tidak dapat dihindarkan.
Instrumen musik daerah bisa dihadirkan. Syairnya bisa dilagukan. Kekhasan busana daerah ditampilkan. Tarian juga bisa digerakkan. Kewirausahaan pasti bisa dikembangkan. Keterampilan bahasa makin terasah. Mari berpantun.
Bapak ibu mohon dituntun,
Kami bersedia duduk sejajar bersila,
Ayo mari kita berpantun,
Menguatkan profil pelajar Pancasila.[T]