PULUHAN orang dari berbagai komunitas dan LSM di Bali bergabung dalam Aksi Solidaritas Marginal dan Rentan, yang dipusatkan di Lapangan Puputan Renon, Denpasar saat car free day, Minggu (3/12/2023).
Aksi ini adalah rangkaian Festival Hak Asasi Manusia (HAM) yang bertujuan mengajak publik untuk ikut bersolidaritas menyuarakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.
Sebab, di Indonesia, masih banyak terjadi kasus kekerasan dan diskriminasi yang menghambat pemenuhan atas hak asasi manusia khususnya bagi kelompok marginal dan rentan.
Seperti disampaikan Rezky dari LBH Bali, bahwa masih terjadinya kekerasan seksual, khususnya terhadap anak dan perempuan, menandakan bahwa jaminan keamanan anak dan perempuan di ruang publik masih bermasalah. Padahal, hal tersebut termasuk hak semua orang sebagai warga negara.
“Namun, sistem pencegahan dan perlindungannya masih belum memadai di lingkungan komunitas seperti institusi pendidikan dan tempat kerja,” ujar Rezky, menambahkan.
Tak hanya maraknya kasus pelecehan seksual, di negara ini, stigma dan diskriminasi terhadap minoritas juga masih banyak terjadi, baik berbasis ras, agama, maupun seksualitas.
Hal tersebut disampaikan oleh Ogut dari Komunitas Srikandi. Terkait stigma seksualitas, ia mengingatkan bahwa masih banyak orang yang men-cap buruk komunitas lesbian.
Dalam orasinya, ia berharap rekan-rekannya tidak menyembunyikan diri dan memiliki akses yang sama pada kesehatan reproduksi dan ruang berekspresi.
Orasi lainnya disampaikan Elin, perwakilan Bali Deaf Community (BDC) tentang pentingnya penyediaan juru bahasa isyarat dalam setiap perhelatan publik.
“Bahasa isyarat yang menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Tuli dan Kelompok Minoritas Linguistik adalah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO),” katanya, lantang.
BDC menyampaikan BISINDO ini berbeda dengan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang mengacu pada struktur yang sama dengan tata bahasa lisan Indonesia, tidak lahir dari komunikasi sehari-hari masyarakat tuli.
Sehingga, BISINDO perlu dipastikan agar masuk dalam Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan inklusif. BDC menyampaikan pentingnya komunitas tuli dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik seperti Musrenbang.
Perwakilan mahasiswa Papua juga hadir menyampaikan diskriminasi yang mereka alami dalam menyampaikan pendapat mereka di muka umum. Meskipun hal tersebut dijamin dalam konstitusi dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mahasiswa papua masih kerap mengalami penghalangan aksi hingga kekerasan fisik baik dari ormas maupun aparat.
Sehubungan dengan aksi solidaritas hari ini, Puspita dari perwakilan mahasiswa yang hadir berharap agar warga Bali memiliki keberanian mengungkapkan diskriminasi dan ketidakadilan sosial.
Sebagai peringatan hari HAM se-dunia, rangkaian kegiatan Festival HAM Bali selanjutnya akan dihelat pada 10 Desember mendatang, dengan kembali menyuarakan berbagai masalah pelanggaran HAM di Bali. Sejumlah kegiatan akan digelar seperti diskusi publik, workshop, pertunjukan musik, dan seni.[T][Rls/Jas]