LOGIKA DUKA
Sudah di mana air matamu, kekasih?
Kota yang kejam menghujam cinta
Hingga tiada tersisa barang sedikitpun
Engkau menjadi begitu keras bak batu
Cintaku akan menghancurkan keras itu
Hingga engkau kembali bersinar juga
Masa lalu membawamu tidak pulang
Bertahan di pulau ini bersama diriku
Kita akan pulang lagi ke kotamu dulu
Maafkan apa yang terjadi waktu dulu
Aku ingin engkau memeluk ibumu
Dari rahimnya engkau ada di sini
Jangan membawa duri di hatimu
Nanti engkau tertusuk diri sendiri
Peluklah aku dalam hening pagi
Sebelum deru kota mengepung
Kita akan bersama waktu lama
Jutaan tahun kerinduan kita jua
2023
KABAR DARI KOTA
Langit kota temaram, membuat mendung
pada hati kita yang buram oleh keadaan.
Doa-doa terus bergema, suaranya amat tenang
seperti obat penenang bagi jiwa-jiwa tertekan
Kopi di gelas tinggal setengah, memberi
Semangat makin hilang pada senja hari.
Uang dicari susah payah, lalu dihabiskan
membeli barang tak perlu, demi gengsi diri
sebagai manusia kota. Bayar belakangan,
kita semua diajari berhutang sedari muda.
Anjing lapar, kucing lapar, sapi-sapi kulihat
berkumpul di tempat sampah bukan pada
padang rumput yang kini menjadi hotel.
O, perubahan pasti terjadi! Keabadian itu
hanya dongeng orang tua zaman dahulu!
Aku ingin pergi meninggalkan kemegahan
yang tampak penuh kepalsuan. Gambar
di tembok kota seperti protes dalam hening.
Ada yang salah dengan kita, entah apa itu!
Bus berjalan dengan penumpang gamang
dengan nasib mereka. Meninggalkan desa
demi janji manis masa depan tertinggal
di kotak pesan kekasih mengajak pergi.
Puisi ingin aku baca di taman kota, pasar,
kantor pemerintahan–pada mereka
yang kehilangan diri juga nurani.
Didengar atau tidak bukan urusanku.
Suara hati kita kini hilang oleh hidup.
2023
SEORANG TUA MENULIS DI KAFE
Kutemui dia di kafe tengah kota, kami bicara puisi. Ia penulis tua yang sejak muda suntuk dengan aksara. Kami berteman di media sosial—dari sana ia membaca puisi-puisi yang kutulis dan kusebarluaskan. Hampir setiap hari ia bekerja dari kafe itu, dari pagi hingga tengah hari tiba.
“Puisi-puisimu mengingatkanku pada Georg Trakl, penyair Austria yang mati muda–bunuh diri,”kata lelaki tua itu padaku,
“Aku tahu dia, dari buku puisi terjemahan,” jawabku.
Kawanku belum tahu, kami punya duka dan luka sama. Aku dan penyair yang ia sebut. Bahkan, kejadian kelam masa kecil juga pernah aku alami.
Bedanya, aku tidak bunuh diri, meski pernah terlintas. Luka itu membuat penyakit jiwa puluhan tahun lamanya. Dirawat di rumah sakit jiwa, bolak-balik ke psikiater, mengharuskan minum obat dalam waktu tidak sebentar. Jatuh-bangun, akhirnya kini bisa pulih—kembali merasakan hidup.
Puisi menyelamatkanku dari kegilaan.
Aku mulai dikenal banyak orang. Itu sedikit banyak membuat keberadaanku diakui. Kubayangkan, jika diberi umur panjang, aku akan terus menulis hingga tua—seperti kawanku.
Kelam jiwa berganti terang. Matahari kurasakan berbeda; cahayanya kini tidak menyakitkan.
Kawanku mengingatkan aku pada penyair itu. Penyair dengan luka pada puisi-puisinya.
Menulis luka dan menulis suka, itu yang kulakukan sekarang.
2023
GELOMBANG GUNUNG
Diombang-ambing kehidupan, ombak
pernah menyeret diriku ke samudera.
Mencoba naik dengan susah-payah,
amat sulit kurasakan. Tangan-Mu lah
kutemui, mengangkat tubuh ini kembali.
Kini aku berada di gunung. Jauh sekali
dari keramaian kota. Ketenangan hati.
Adakalanya aku turun ke kota, menyapa
orang-orang dan keluarga baru kukenal.
Di gunung, aku merasa kecil. Tak ada
kesombongan seperti saat masa dahulu.
Gulung-gemulung, gelombang tetap ada.
Hanya saja kini kuhadapi dengan tenang.
Naiknya diri ini tak lepas dari hidayah
Biarlah aku tenang lepas dari ketakutan.
2023
ANGIN RIBUT
Di luar hujan turun. Hampir sepanjang
malam. Disertai angin ribut. Siapa ribut?
Angin. Mereka ribut di saat orang-orang
tertidur, dalam buaian mimpi juga selimut.
Kucing di kamar berkejaran. Ribut juga.
Tak apa, itu sifat alami binatang; terjaga
di malam hari. Bagaimana jika kita seperti
mereka? Psikiater bilang itu skizofrenia.
Ada keributan yang berbahaya: pikiran.
Hanya dalam tidur dia diam. Itu pun jika
tidak bermimpi, atau mengigau tak jelas.
Ah, pikiran, tidak pernah mati. Aneh.
Meditasi bisa membuat kita sadar akan
gerak-gerik pikiran. Seperti menonton film,
adegan silih-berganti. Jangan terpengaruh,
tetap perhatikan keluar-masuknya nafas.
Dalam hening, ada yang teramat ribut,
di lubuk sanubari: keinginan. Ingin ini,
ingin itu. Tak habis-habis, sepanjang usia,
tak pernah terpuaskan. Seperti birahi kita.
Angin mereda. Juga rasa gelisah di hati.
Puisi kadang seperti permainan kata-kata.
Tangan seperti digerakkan sesuatu.
Entah apa. Tapi jangan merasa hebat.
Itu biasa. Kepolosan kian sulit dicari.
2022
KUCING-KUCING LAPAR
Di beranda, aku melihat langit terang
oleh sinar rembulan. Lukisan semesta.
Ini hari menjelang purnama, biasanya
aku sulit tidur. Entah apa sebabnya.
Kukira aku banyak pikiran. Ternyata tidak.
Ada bahasa sunyi, dalam diam malam.
Ia seperti mengajakku bicara. Lapar
yang dirasakan tiga kucing peliharaan
Saat kubuka pintu, mereka amat senang.
Piring kosong segera aku isi dry food. Aha!
Mereka makan dengan lahap. Aku senang.
Ternyata mereka bisa bicara. Aku teringat
cerita masa kecil, tentang nabi mencintai
binatang, bisa bercakap-cakap dan mengerti
bahasa mereka. Kepekaan sungguh ajaib,
kurasa. Bising dunia menelan segala niskala.
2022
PENYAIR MERINDUKAN KOTA-KOTA
Melukis kota-kota dunia, penyair itu tidak tidur semalaman.
Ia selalu berpesan, “aku baru bisa dihubungi siang hari,
saat itu aku terbangun.” Sudah lama ia mengidap insomnia.
Praha, begitu ingin ia kunjungi. Kebetulan ada perempuan
penyair di Eropa. Imajinasi kini tak hanya dimiliki lelaki.
Keliaran tak mengenal jenis kelamin. Karya perempuan itu
lebih liar. Puisi-puisinya banyak disukai di negeri ini.
Tubuh perempuan menyeruak di ingatannya.
Ribuan puisi ia tulis bersama mereka. “O, cintaku!
Dimanakah kalian kini? Bolehkah kutelepon
sebentar, aku merindukan saat kita menyusuri
kota, mampir ke cafe dan berdendang
puisi. “O, para kekasih sejati!”
Kematian juga sering kali ia tulis. Sentimentil, seakan manusia
tak boleh mati. Mungkin memang begitu. Semua ia tumpahkan
dalam lukisan, juga puisi-puisi. Kota-kota ia genggam erat,
ia simpan dengan doa; entah kapan, pasti ia akan berkelana
jauh, menemui mimpi-mimpi dan kerinduan penyair kelana.
2022
SERENADE PAGI
Di toko modern, penyair itu memesan kopi.
Dia bangun dini hari, ingin menikmati pagi.
Jalanan gelap, lampu-lampu dipadamkan.
Pengemudi memacu kencang kendaraan.
Tadi dia sempat merapikan buku-bukunya.
Hendak dijual semua untuk penuhi hidup.
Istrinya tak suka ia mencintai buku-buku.
Tak mendatangkan uang tidak berguna.
Dia suka kalau penyair itu banyak menulis.
Perlu membaca jika ingin mewujudkan itu.
Logika sering memusuhi perasaan penyair.
Membuat mereka sering berselisih paham.
Penyair itu ingin berpisah dengan istrinya.
Istrinya menolak tidak mau meninggalkan.
Ada yang mesti diperjuangkan selama ini.
Pergi bukan jawaban yang bijaksana kini.
Mereka hanya perlu memperbaiki cintanya
Memahami bahwa semua akan baik saja.
Di meja ia teringat istrinya masih terlelap.
Dibelinya roti coklat juga susu lalu pulang.
2023
MUSIK MEDITASI
Ketenangan itu hanya sesaat, sebelum
akhirnya suara-suara ramai kembali.
Dini hari aku kerap terbangun. Di beranda
kamar duduk sendiri. Sunyi sekali kurasa.
Jalanan kian ramai di pagi hari. Kendaraan
lalu-lalang entah kemana. Mereka yang tahu.
Musik kamar sebelah dimulai sore hari.
Hiburan bagi para perantau di kota ini.
Meditasi sudah lama tidak lagi kulakukan.
Kecemasan kerap kali datang tiba-tiba.
Dari komputer, musik meditasi mengalun.
Pikiranku tetap kesana-kesini bagai kera.
Dulu kota-kota adalah hutan sangat luas
Mataku terpejam mencari keheningan itu.
2022