BEBERAPA teman Facebook (FB) di Bali memposting berita duka. Drs. Ida Bagus Sidemen, SU, dosen Prodi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali, meninggal dunia. Saya tidak kenal dekat dengan Ida Bagus Sidemen. Hanya sekali, seingat saya, pernah berjabat tangan dan berbincang-bincang saat beliau diwisuda Pasca Sarjana di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Tanggal dan tahunnya pun saya sudah lupa. Tapi momen dan topik pembicaraan kami, selalu saya ingat. Waktu itu, Ida bagus Sidemen, diwisuda bersama kakak saya, I Made Suarsa. Mereka sama-sama dari rumpun ilmu Humaniora. Ida Bagus Sidemen dari jurusan Sejarah dan kakak saya dari jurusan Bahasa Indonesia.
Usai acara wisuda, kakak memperkenalkan saya dengan Ida Bagus Sidemen. Rupanya kakak saya cukup akrab, meski Ida Bagus Sidemen kakak kelasnya. Mereka berasal dari Fakultas sama (Fakultas Sastra yang sekarang menjadi Fakultas Ilmu Budaya). Jadi tidak aneh kalau mereka berdua cukup dekat. Dalam postingan FB Pak Widminarko, dimuat selembar foto yang menampakkan Ida Bagus Sidemen dengan Made Suarsa dalam sebuah acara seminar kampus sama-sama sebagai pembicara.
Ketika mereka berdua kuliah S2 di UGM, saya sudah menjadi warga Yogyakarta dan menjalani profesi sebagai wartawan Majalah Tempo di Biro Yogyakarta. Dalam beberapa kesempatan saya pernah mewawancarai Prof. Sartono (Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo, 15 Februari 1921 – 7 Desember 2007). Prof Sartono, adalah sejarawan Indonesia kondang. Beliau dosen di Universitas Gadjah Mada.
Dalam sebuah kesempatan, pernah saya tanya, siapa kira-kira sejarawan yang akan bisa mengikuti jejak atau melanjutkan kepakaran Prof Sartono. Pak Sartono menyebut tiga nama: Taufik Abdullah, Kuntowijoyo dan ini yang membanggakan saya, Ida Bagus Sidemen.
Prof. Dr. H. Taufik Abdullah, MA, lahir 3 Januari 1936, adalah sejarawan Indonesia yang pernah menjadi Ketua LIPI 2000-2002. Taufik lulusan Jurusan Sejarah UGM Yogyakarta (1961). Kemudian melanjutkan pendidikan master dan doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat (1970). Taufik berkarir sebagai peneliti di LIPI, (sekarang melebur di dalam BRIN).
Dr. Kuntowijoyo (18 September 1943-22 Februari 2005). Dikenal sebagai budayawan, sastrawan, dan sejarawan. Ia mendapat pendidikan dasar dari Madrasah Ibtidaiyah, lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada 1969. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat, 1974.
Jenjang Doktor ( Ph.D) Ilmu Sejarah diraih dari Universitas Columbia, 1980. Di UGM sendiri, Ia diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya. Selain itu Prof. Kunto juga menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kuntowijoyo, sejak di SMA sudah menulis cerita pendek, kemudian drama, esai, roman. Ketika bermukim di Amerika Serikat, Prof. Kunto, begitu panggilannya, mulai menulis puisi dan menghasilkan dua buku kumpulan puisi yaitu Isyarat (1976) dan Suluk Awang Uwung (1976). Sepulang dari study di Amerika, Porf, Kunto banyak menulis cerpen dan esai yang dimuat di media terkemuka tanah air seperti Majalah sastra Horison, Harian Kompas, dan Majalah Tempo.
FOTO: Seminar Seabad Bung Karno, 2001. Dari kiri: Widminarko, Ida Bagus Sidemen, Made Suarsa, Bagus Wirawan | Foto: FB/Widminarko Tokoh
Ketika Prof. Sartono menyebut potensi Ida Bagus Sidemen sebagai salah seorang dari tiga kandidat yang mampou meneruskan dan bisa mengimbangi kepakaran Prof Sartono, menurut saya, pilihan itu sebagai sebuah kehormatan besar, sekaligus pengakuan atas potensi beliau dalam pandangan seorang legenda (Guru Besar Sejarah yang sangat disegani).
Makanya, dalam bincang-bincang setelah wisuda saat itu, pendapat Prof Sartono saya sampaikan. “Pak, Prof. Sartono menyebut nama Pak Sidemen, sebagai salah seorang dari tiga nama yang bisa menggantikan beliau sebagai pakar sejarah,” kata saya.
“Ah, siapa bilang. Itu terlalu berlebihan. Beliau itu ada di langit dan saya masih di tanah,” kata Pak Sidemen merendah.
“Prof Sartono sendiri yang bilang,” kata saya lagi. “Bapak diminta segera melanjutkan studi Doktor,” kata saya menyemangati.
“Ah.. ten… kanggeang niki manten” (Ah…Tidak… cukup segini saja),” kata Ida Bagus Sidemen, tetap tersenyum ramah. Menurut Made Suarsa, Ida Bagus Sidemen yang meraih IPK 4,0 (dari skala 4), bahkan diminta pindah mengajar ke UGM Yogya. Tapi, beliau menolak. “Saya kembali ke Bali saja,” katanya.
Jawaban tersebut senada dengan kakak saya Made Suarsa, yang juga mendapat tawaran serupa. Ketika itu kami berbincang-bincang bertiga. Made Suarsa pembelajar yang serius. Ketika studi S2 untuk gelar SU (Sarjana Utama, gelar lulusan S2 Humaniora UGM Yogya saat itu. Sekarang gelar lulusan S2 UGM, Magister…).
Made Suarsa, menulis thesis setebal 400 halaman lebih. Sedangkan rekan seangkatannya Faruk HT, thesisnya tidak lebih dari 200 halaman. “Kakakmu terlalu serius,”kata Faruk HT pada saya. Prof.Dr. Faruk HT, Guru Besar FIB UGM Yogya jurusan Sastra Indonesia. Saat itu, Faruk HT akan melanjutkan studi S3 dan ia minta agar saya ikut mendorong kakak saya ikut S3. Faruk juga minta saya bicara pada Pak Kayam, (almarhum Prof.Dr.Umar Kayam) agar bersedia menjadi Promotor S3 untuk kakak saya.
Pak Kayam tidak keberatan dan bersedia menjadi promotor. “De, bilang kakakmu jangan memakai karya Putu Wijaya sebagai subyek penelitian disertasinya,” kata Pak Kayam. “Bosen aku. Kok setiap orang Bali selalu mengkaji karya orang Bali juga,” kata Pak Kayam lagi. “Satu lagi, suruh cepat-cepat kakakmu itu, nanti aku keburu mati,” kata Pak Kayam bercanda. Saat itu, Pak Kayam memang sudah sering sakit.
Ketika hal ini saya sampaikan pada kakak saya, jawabannya sama dengan Ida Bagus Sidemen. “Kanggoang mone dogen,” katanya. Tentu saja saya kecewa dengan jawaban ini. Saya sangat ingin kakak saya meraih gelar Doktor dan kemudian Guru Besar. Saya yakin, kapasitasnya mumpuni. Kami sering berdiskusi dan berdebat. Kecerdasannya juga diakui Faruk HT, rekan seangkatannya yang juga sangat pintar dan cerdas.
Saya jadi merenung jawaban Pak Sidemen dan kakak saya, kok sama? Mereka tidak bergairah mencapai jenjang lebih tinggi dan merasa gelar S2 sudah cukup, sebagai syarat minimal menjadi dosen. Tentu saya tidak paham, kondisi dan situasi kampus di Unud, sehingga gairah untuk meraih jenjang lebih tinggi di kalangan dosen-dosen pintar kala itu, tidak tinggi. Tapi, disisi lain ada seorang dosen FIB UNUD yang sangat berambisi menempuh jenjang S3 di UGM, tapi dia tidak lolos seleksi dan Pak Kayam menolak menjadi calon promotornya.
Pak Sidemen dan Made Suarsa, kedua dosen FIB Unud ini, oleh dosen-dosen Pasca Sarjana UGM dinilai memiliki kemampuan akademis lebih baik dari peserta didik lainnya. Mereka berdua sangat menonjol dalam perkuliahan atau pun seminar. Hal ini diceritakan beberapa orang dosen yang kebetulan berkawan dengan saya. (Saya bukan akademisi, tapi wartawan yang justru lebih leluasa bertemu dan berinteraksi dengan para guru besar UGM, setidaknya untuk keperluan wawancara).
Saya bertanya-tanya di dalam hati, apakah tidak niatnya dua orang dosen Unud ini kuliah lagi, sebagai bentuk rendah hati atau kemalasan. Rendah hati mungkin betul. Tapi malas? Saya kira tidak. Sebab toh mereka tetap produktif melakukan penelitian, seminar atau menulis. Tapi enggannya mereka meraih gelar akademis lebih tinggi, menyebabkan kiprah mereka juga menjadi terbatas, padahal kemampuannya tidak kalah dibanding mereka yang berkibar di kancah nasional.
Di forum ilmiah nasional misalnya, tentu saja mereka yang bergelar Profesor Doktor lebih diutamakan dibanding mereka yang bergelar SU atau MA, meskipun kapasitas kelimuannya belum tentu kalah, bahkan bisa jadi lebih pakar dibanding sang profesor.
Rupanya, Ida bagus Sidemen tidak silau oleh lampu sorot atau mimbar serta panggung nasional. Beliau tetap menjadi dosen sederhana. Ida Bagus Sidemen berdiri dalam barisan mereka yang berpikir sederhana dan rendah hati dengan kata-kata “kanggeang sapuniki manten” atau “kanggoang monto doden”, dan gembira menjalani kehidupan akademis yang biasa-biasa saja di daerah…
Dumogi Amor ing Acintya… [T]