SEBUTAN Bali sebagai Pulau Dewata atau The Island of Gods memang sesuai dengan apa yang melatarbelakanginya. Bali adalah pulau dengan penuh keberagaman budaya. Masyarakat Bali tidak pernah lepas dengan persembahan yadnya kepada-Nya. Di Bali, yadnya menjadi bagian dari kebudayaan yang membuat Bali dilirik oleh wisatawan.
Satu jenis yadnya yang banyak dipraktikkan di Bali adalah ritual di sektor agraris. Sektor agraris di Bali menjadi pertimbangan wisatawan untuk dijadikan objek wisata dengan keunikan yang dihadirkan. Pertanian Bali menerapkan metode terasering, yakni sebuah metode konservasi tanah dan air yang dibuat dengan cara membuat teras-teras yang melintang lereng. Pertanian dengan kontur terasering menguntungkan sebab dapat meminimalisir kemiringan pada lereng, dapat menahan aliran permukaan, dan memaksimalkan penyerapan air oleh tanah. Kontur terasering ini memunculkan keindahan yang dihadirkan oleh pertanian Bali sebab keabstrakan alam yang dihadirkan dengan memanjakan lensa wisatawan mancanegara.
Pertanian Bali secara tradisional berkaitan erat dengan sarana banten yang dipersembahkan dengan tujuan menyeimbangkan lingkungan persawahan. Namun, tata pertanian tradisional Bali ini kini mulai tergerus oleh kemajuan teknologi. Pergeseran laku agraris ini pun dikhawatirkan dapat memudarkan “taksu” atau spirit kebudayaan Bali. Pada sistem pertanian tradisional Bali, ada alat-alat yang digunakan untuk bekerja di sawah seperti uga, tengala, lampit, ani-ani, gerejag, tampi dan lain sebagainya. Sekarang, alat-alat itu sudah jarang terdengar di telinga masyarakat, terkhusus generasi Z hingga generasi alpha. Mereka mungkin terasa begitu asing mendengar istilah-istikag itu. Di zaman sekarang, Bali memang mutlak telah beralih ke pertanian modern dengan mengandalkan teknologi, seperti contoh membajak sawah menggunakan mesin traktor, memanen padi menggunakan mesin, dan hingga perawatan pada padi itu sendiri menggunakan bahan-bahan kimia untuk menunjang produksi.
Di balik kualitas maupun kepraktisan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi serta bahan-bahan kimia pada perawatan padi secara serius, ada sisi lain yang kini perlu diperhatikan. Penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian membawa efek samping yang turut melekat pada padi. Sejalan dengan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh bahan-bahan kimia tersebut, masyarakat mulai kembali menerapkan pertanian yang ramah lingkungan atau dikenal dengan pertanian organik.
Detik.com pada berita berjusul “Semua Sawah-Kebun di Bali Ditarget Terapkan Pertanian Organik di 2024” menyajikan sebuah keprihatinan masyarakat pada pertanian Bali yang dengan skala besar menggunakan bahan kimia dalam pertanian. Ini tidak hanya berimbas pada tumbuhan itu sendiri, tapi juga berimbas pada ragam hayati serta tanah sawah yang telah terkontaminasi bahan-bahan kimia. Ini seolah merealisasi ungkapan yang sering kita temukan di masyarakat bahwa, “Kasihan Ibu Pertiwi, kasihan lahan kita yang terus kita sakiti. Kita sudah kembali ke pertanian irganik”.
Bagaikan ingin kembali ke masa lalu, masyarakat kini ingin mencoba lagi untuk menerapkan langkah pertanian organik. Bahkan beberapa orang sampai memiliki targetnya sendiri untuk bisa merealisasikannya pada tahun 2024. Akan tetapi, nyatanya masyarakat malah susah untuk lepas dari kenyamanan maupun kepraktisan bahan kimia yang diaplikasikan pada persawahannya.
Secara tidak langsung tujuan mulia dari masyarakat untuk menuju pertanian hijau tentunya selaras dengan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur tentang bagaimana memuliakan Ibu Pertiwi, terkhusus tanah persawahan, berbasis naskah-naskah tradisional. Salah satunya adalah pustaka lontar Uma Tattwa yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola persawahan dengan laku yang baik. Uma Tattwa menjabarkan bagaimana upaya berlaku bijak dengan lingkungan persawahan dengan sarana banten untuk menunjang keseimbangan sekala–niskala serta tidak merugikan unsur yang ada.
Kadang kala wacana yang muncul dengan tujuan yang konkrit untuk mencapai hal yang mulia tidak dapat berjalan dsesuai harapan. Manusia sering menempatkan diri sebagai makhulk paling tinggi derajatnya, dan masih terbelenggu maindset bahwasa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Hal itu menyebabkan apa yang dilakukan hanya semata untuk keuntungannya sendiri.
Yadnya sebagai Representasi Isi Alam Semesta
Tidak akan ada habisnya jika membicarakan tentang yadnya di Bali. Barbagai sumber menyatakan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan, dipelihara, dan dikembangkan oleh yadnya. Manusia yang berstatus sebagai penggerak dengan kelebihan pikiran dan akal yang dimiliki dapat mengembangkan serta memelihara lingkungan alam semestanya. Sesungguhnya wujud persembahan tidak hanya sebatas pada bentuk korban suci, melainkan yadnya juga dapat diwujudkan dengan berperilaku ataupun peduli akan lingkungan sekitar. Sebagai insan yang memiliki kepercayaan tentunya tidak dapat lepas dengan yang namanya hidup berdampingan. Berdampingan yang dimaksud bukanlah berdampingan dengan sesama, akan tetapi tercapai kehidupan alam lain yang dipercaya turut ada dalam makrokosmos ini.
Kentalnya nuansa religius kebudayaan orang Bali tidak terlepas dari adanya sebuah konsepsi kehidupan sekala–niskala. Sebagai contoh bagaimana konsepsi sekala–niskala ini berjalan beriringan ialah dengan mengatasi sebuah permasalahan yang ada, misalnya seseorang yang tengah sakit yang sedang mendapatkan perawatan di rumah sakit (sekala) dan dengan konsepsi niskala senantiasa menghaturkan sebuah banten yang ditujukan kepada Sang Pencipta ataupun manifestasi-Nya dalam segala wujud dengan memohon doa agar diberi kelancaran serta berkat untuk pasien semoga diberi kesembuhan. Di sinilah peran yadnya dalam mensinergiskan kehidupan sekala niskala ini. Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan Sumardjo (2000:7) yang menyatakan bahwa yadnya dilakukan bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya hanya ada dua alam pada kehidupan manusia ini, yakni alam nyata yang terindra dan alam lain atau alam yang tidak terindra.
Begitulah sekiranya yadnya memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan alam ini. Dalam permasalahan yang tengah dihadapi insan untuk dapat kembali menerapkan pertanian hijau yang pernah dilakukan leluhur kita dengan keramahannya terhadap lingkungan, sangat sulit untuk dapat merealisasikan wacana tersebut sebab balik lagi bahwa para petani terlanjur nyaman akan kepraktisan pertanian modern. Namun, jika tekad yang tulus dalam menerapkan pertanian hijau demi keberlangsungan ekosistem yang sehat dibarengi dengan konsepsi sekala–niskala niscaya dapat melancarkan perjalanan tersebut. Setidaknya upaya itu dapat tercapai walaupun pada pemikiran insan di zaman sekarang meragukan akan adanya konspsi sekala–niskala, sebab kembali lagi bahwa ini merupakan sebuah kepercayaan insan masing-masing.
Berbagai sumber telah menjelaskan bagaimana bertindak adil dalam menjaga keeksistensian pertanian, baik itu dari bagaimana pengelolaan yang seharusnya diterapkan bagaimana konsepsi sekala niskala maupun bagaimana etika dalam mengelola persawahan hingga tidak menyebabkan ketimpangan pada tataran ekologi yang ada di dalamnya. Salah satunya sumber naskah yang mengenai persawahan adalah Uma Tattwa.
Uma Tattwa menjelaskan bagaimana peran yadnya dalam menangani permasalahan yang ada pada sawah. Peran itu mulai dari bagaimana sarana yadnya dalam memulai untuk membersihkan pematang sawah yang di dalam naskah disebut eed nyapuh pundukan. Prosesi ini dalam teks tersbut memiliki tujuan untuk meminta izin atau nunas ica kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberikan kelancaran dalam proses pembersihan pematang untuk memulai proses pengelolaan sawah.
Selain itu, pada teks itu juga diterangkan bagaimana peran yadnya dalam menangani hama pada persawahan. Selain melakukan tindakan nyata oleh petani, upaya niskala dengan bagaimana peran yadnya sebagai persembahan kepada Sang Pencipta juga ditempuh. Melalui yadnya dimohonkan agar lahan pertanian dijauhkan dari wabah hama yang dapat merusak padi. Dengan yadnya dapat di konklusikan bagaimana peran harmonisasi dari lingkungan sekala–niskala yang diterapkan dalam menjaga eksistensi dari pertanian tradisional, yang tidak semata-mata membasmi tetapi lebih pada bagaimana menetralisir sebuah ancaman dengan percaya kepada konsepsi niskala.
Sejalan dengan apa yang diwacanakan oleh insan tani di Bali, upayamewujudkan pertanian tradisional atau pertanian hijau dapat mendukung tujuan pemerintah dalam mewujudkan bahan pangan organik serta tidak merugikan lingkungan yang mengitarinya. Jika ditelisik dan diamati secara langsung ke lapangan, ekosistem yang ada di persawahan sudah mulai terancam dan satwa yang ada pada persawahan mulai langka keberadaanya. Sebagai contoh generasi Z maupun alpha sudah tidak tidak mengenal dengan yang namanya satwa jubel, kakul, belauk, klipes, cuweng, gadagan, dan yang paling berjasa sebagai partner petani adalah burung cenidra/cetrung dalam sebutan masyarakat di daerah Tampaksirng diyakini sebagai utusan Dewi Sri dalam menjaga padi. Dalam bahasa Bali burung ini sering disebut sebagai kedis ane ngempu padi (burung yang menjaga padi). Burung ini memiliki peran menjaga padi dari hama burung pipit dan sejenisnya. Pada saat burung ini akan memulai masa perkawinan, ia akan membuat sarang pada tanaman padi, yang mana ketika sarang tersebut telah selesai dan berisikan telur maupun anakan burung maka menurut kepercayaan petani tidak akan memanem padi tersebut hingga pada sarang tersebut sudah tidak berpenghuni lagi.
Sekiranya itulah anjuran dalam tulisan kangin-kauh ini. Saya berharap tulisan ini sekiranya dapat memberi manfaat. Sekiranya kita mungkin merindukan ekosistem persawahan di masa silam. Sekiranya kita ingat bagaimana banyak di antara kita dengan gembira bermain layangan di sawah sembari berburu serangga-serangga yang dapat dijadikan kudapan untuk sekadar memuaskan rasa lapar ketika lelah uusai menerbangkan layangan. Tidak dapat dipungkiri jika apa yang kita lakukan di masa sekarang masih jauh dari kata peduli lingkungan, tapi percayalah ketika kita mencoba kembali pada jati diri sebagai insan yang memiliki martabat sebagai makhluk yang paling spesial di tangan Tuhan, kita akan mampu menjaga alam agar senantiasa dapat menjaga korelasi alam semesta ini. [T]
Rujukan Pustaka
- Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Institut Teknologi Bandung