BEBERAPA anak duduk di kursi plastik berwarna biru. Di depan setiap anak, di atas meja kayu itu, terdapat tumpukan kertas warna-warni. Pandangan mereka—anak-anak itu—tertuju pada sosok perempuan Jepang berkacamata yang sedang asyik melipat-lipat kertas dengan sangat lembut, presisi, dan penuh kehati-hatian.
Tak lama setelah itu, dengan sedikit bingung dan ragu, anak-anak itu segera mengikuti apa yang dilakukan perempuan Jepang bernama Ozawa Yasuko itu. Dan di sela melipat-lipat kertas, tak jarang Yasuko membimbing anak-anak, mengarahkan, dan membenarkan lipatan kertas yang salah dan kurang tepat. Kadang kala ia juga terlihat gemas melihat seorang anak yang melakukan kesalahan berulang meski sudah bekali-kali dikasih tahu.
Ya, hari itu, bertempat di Pondok Literasi Sabih, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Ozawa Yasuko, seniman origami itu, sedang memberikan pelatihan membuat berbagai bentuk origami—seni melipat kertas ala Jepang—kepada anak-anak yang belajar di komunitas tersebut.
Dengan sabar Yasuko membimbing empat belas anak itu membuat topi, tsuru (burung bangau), dan bola dari kertas warna-warni berbentuk persegi selama nyaris dua jam. Tak hanya mengajarkan cara melipat kertas origami, Yasuko juga memperkenalkan salah satu lagu populer Jepang berjudul Kobuta, Tanuki, Kitsune, Neko (pig, raccoon, fox, cat) kepada anak-anak Pondok Literasi Sabih.
Ozawa Yasuko sedang membimbing anak-anak membuat origami / Foto: Pondok Literasi Sabih
Mereka semua bernyanyi, bergembira, memecah keheningan kebun-kebun cengkeh di sekitarnya. Dan suasana semakin semarak saat burung-burung yang sedang mengistirahatkan sayap-sayapnya juga ikut bernyanyi, seakan tak mau kalah.
“Yasuko secara khusus menghubungi saya. Ia telah lama berniat untuk datang dan memberikan pelatihan kepada anak-anak di Desa Pedawa,” ujar I Wayan Sadnyana, dosen Bahasa Jepang Undiksha sekaligus pendiri Pondok Literasi Sabih, Rabu (8/11/2023).
Sebagai tempat belajar alternatif anak-anak Pedawa, Pondok Literasi Sabih memang kerap kedatangan tamu dari luar negeri. Biasanya mereka tak hanya sekadar berkunjung, tapi juga tak keberatan menjadi volunteer, sukarelawan.
Bahkan, menurut Wayan Sadnyana, komunitas yang didirikannya telah menjalin kerja sama secara khusus dengan orang-orang dari Jepang. “Program-program seperti ini, rencananya, akan kami jadikan menjadi program rutinan,” katanya.
Dan, selain bertujuan memantik kreativitas dan motorik anak-anak, pelatihan membuat origami ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan pemahaman anak-anak Pedawa akan interaksi lintas budaya.
“Jadi anak-anak Pedawa nantinya akan tahu bagaimana etika berkomunikasi dan memahami budaya orang lain, tanpa melupakan kebudayaannya sendiri,” tegas Sadnyana.
Manfaat Membuat Origami
Sebagai sebuah seni, origami memiliki sejarah yang panjang. Dalam buku The World of Origami (1965) karya Isao Honda, sejarah origami diperkirakan bermula ketika manusia mulai memproduksi kertas. Artinya, itu terjadi saat Ts’ai Lun mulai memproduksi kertas pada abad pertama sekitar tahun 105 Masehi di Tiongkok (China)—meskipun cara pembuatan kertas baru dikenal di Jepang pada abad ke-6 M.
Origami menjadi populer di kalangan orang Jepang sejak mereka mengenal kertas dan tinta yang dibawa seorang biksu Budha bernama Doncho (Dokyo) dari Goguryeo (semenanjung Korea). Dia memperkenalkan kertas dan tinta pada masyarakat Jepang di masa pemerintahan Kaisar wanita Suiko.
Sementara pada zaman Heian (741-1191 Masehi) origami dipercaya telah digunakan sebagai penutup botol sake (minuman beralkohol tradisional Jepang) ketika upacara penyembahan di kalangan kaum biksu Shinto, wanita, dan anak-anak. Pada masa tersebut, origami dikenal dengan julukan orikata atau origata, orisui, atau orimino. Sejak saat itu, origami dikenal secara turun-temurun hingga saat ini.
Anak-anak Pondok Literasi Sabih berpose bersama Ozawa Yasuko / Foto: Pondok Literasi Sabih
Selain sebagai penutup botol sake, pada awalnya origami dipercaya sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan; sebagai hiasan untuk pernikahan dan acara-acara penting lainnya. Seiring berkembangnya waktu, origami mulai dikembangkan sebagai seni kreatif dari kertas dengan berbagai bentuk desain yang kompleks.
Sebagai sebuah seni, origami memiliki peran penting dalam pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel di laman Guru Inovatif, origami dapat digunakan sebagai alat pembelajaran untuk membantu anak-anak memahami konsep matematika, seperti pemahaman tentang bentuk, ukuran, dan proporsi. Origami juga dapat membantu anak-anak meningkatkan keterampilan motorik halus dan memperkaya pengalaman sensori mereka.
“Berdasarkan kajian-kajian para peneliti, origami diketahui mempunyai efek positif pada kreativitas anak. Sesuatu yang wajar mengingat seni melipat kertas populer ini membutuhkan konsentrasi dan kejelian tingkat tinggi,” terang Wayan Sadnyana.
Benar. Melalui kombinasi warna dan berbagai ukuran kertas, anak-anak menjadi lebih kreatif dan selektif dalam membuat suatu bentuk. Tentu saja kepekaan seperti ini dapat juga diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, proses anak-anak dalam mengikuti berbagai tahapan, mengulang lipatan, dan menyesuaikan posisi antarsudut dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah.
Secara keseluruhan, origami memberikan cara yang menyenangkan dan menarik untuk mengajar dan belajar; menawarkan pengalaman belajar yang langsung dan interaktif.[T]
Reporter: Putu Yuli
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana