DENGAN bersepeda hidup saya berjalan lebih lambat. Tapi dengan kelambatan, saya jadi lebih banyak melihat berbagai peristiwa dengan lebih detail. Yang selama ini luput dari perhatian.
Di sepanjang jalan yang saya lewati, banyak manusia yang berjumpalitan untuk mempertahankan hidup. Tukang batu, pengendara ojol, penjual sayur, penjaja korek api, penjual cilok dan banyak lagi. Bisa jadi ada juga yang menjadi pekerja seks komersial.
Sebagian besar para pekerja itu merupakan tenaga produktif, yang usianya antara belasan tahun hingga lima puluhan. Satu-dua di antaranya malah usianya jauh di atas saya. Lansia.
Mereka adalah orang-orang yang tidak tertampung di sektor formal. Mungkin dari awal memang mereka tidak punya keinginan bekerja di kantoran atau industri. Atau memang sudah melamar di berbagai instansi, tapi tidak diterima karena berbagai sebab.
Ketika melintas di kawasan industri pada jam istirahat, saya melihat para pekerja dengan berbagai warna pakaian kerja. Mereka keluar dari pabrik, kemungkinan besar untuk mencari makan siang atau sekadar ngopi dan merokok.
Mereka bekerja di pabrik-pabrik kecil, sehingga kemungkinan bergaji UMK, atau bisa jadi di bawahnya. Mereka tidak atau belum tertampung di industri besar atau BUMN ternama.
Sebab untuk masuk di perusahaan-perusahaan tersebut, mereka harus lolos berbagai macam tes yang tidak mudah. Mungkin juga nilai akademis mereka di bawah rata-rata. Atau sekadar apes belaka. Saya tidak tahu.
Yang pasti, jumlah pencari kerja setiap tahun terus bertambah. Menurut data BPS (2020), di Indonesia terdapat 140 juta angkatan kerja. Di mana, sebanyak 7 juta orang masih menjadi pengangguran.
Setiap tahun, penduduk usia produktif yang memasuki dunia kerja sebanyak 3,5 juta. Lulusan sekolah menengah sebanyak 1,8 juta, dan 1,7 juta dari perguruan tinggi.
Apakah seluruh tenaga kerja produktif tersebut bisa tertampung? Tidak. Sebab menurut data dari Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pemerintah hanya mampu menyediakan lapangan kerja per tahun sekitar 3,6 juta saja.
Maka berbahagialah mereka yang mampu lolos menjadi pekerja formal, lebih-lebih di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Atau bisa masuk di instansi tanpa tes ini-itu, karena previlege.
Tapi jika tidak, bekerja di sektor non-formal pun bukan pekerjaan hina. Siapa tahu kelak bisa menjadi Chaerul Tanjung atau Dato Sri Tahir.
Oh ya, apa kabar keluarga muda yang ingin terus menambah anak? [T]