INI tentang makna sebenarnya dari Rare Angon dan berbeda dengan apa yang dipahami banyak orang selama ini.
Kita tahu, setidaknya ada tiga versi Rare Angon. Pertama, berupa cerita rakyat tentang bocah gembala. Kedua adalah lontar Tutur Rare Angon yang menceritakan kehidupan manusia sejak dalam kandungan sampai meninggal dan berbagai upacara yadnya yang mengiringinya. Ketiga, Rare Angon sebagai uparengga dalam upacara yadnya besar, biasa disebut ngadegang Betara Rare Angon.
Rare Angon memang berarti bocah gembala tapi itu bukanlah sekadar cerita anak gembala seperti yang dikenal secara literal dari cerita rakyat. Rare Angon itu sesungguhnya tatwa atau tutur pemutaran aksara suci, dasa aksara, dalam ajaran kerohanian Bali.
Rare angon dibentuk dari permainan akronim ra-re dan ang-ah. Suku kata ah dimodif jadi ong atau dilafalkan on agar dapat membentuk kata angon. Ra dari raditya yang bermakna putih, atas, dan re dari kata rekta yang berarti merah, bawah. Ra dan re dibayangkan membentuk garis vertikal. Sedangkan antara ang dan on membentuk garis horizontal. Penggabungan garis vertikal dengan garis horizontal ini akan membentuk tanda tapak dara (+). Jadi, kata ra-re ang-on itu permainan majas untuk menggambarkan simbol tapak dara dalam imajinasi kita. Tapak dara ini dalam ajaran lain disebut Kandapat.
Setiap orang memiliki tapak dara dalam dirinya. Di mayapada ini manusia hidup memikul tapak dara. Yang dimaksudkan dengan tapak dara ini adalah empat kutub suksma sarira kita, yakni citta (pikiran rohani), manah (pikiran logika), ahamkara (ego) dan budi (rasa). Dalam kandapat, ini disebut anggapati, prajapati, banaspati, banaspati raja, atau dijuluki Ratu Ngurah Tangkeb Langit, Ratu Wayan Tabeng, Ratu Made Jelawung, Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Tapak dara adalah dualitas yang saling berhadapan tapi berjarak antara yang satu dengan lainnya, antara pikiran halus dengan pikiran logika, rasa halus dengan ego.
Suksma sarira merupakan satu lapisan dalam diri manusia, selain stula sarira atau badan jasmani, dan antakarana sarira yaitu atman, ruh atau jiwatman. Dalam Hindu, jiwatman atau ruh ini dianggap percikan kecil Brahman, Siwa atau Tuhan. Ini yang membuat kita hidup.
Ajaran di Bali mengidealkan kita dapat mengantarkan jiwatman atau ruh itu moksa atau kembali ke sumbernya, menyatu dengan Tuhan, serta terbebas dari reinkarnasi. Sayangnya, jalan moksa itu rumit, mensyaratkan kita membebaskan sang ruh dari kegelapan duniawi kita.
Pada dasarnya, suksma sarira berada dalam pusaran kegelapan karena terikat hukum duniawi. Alam pikiran atau suksma sarira terkoneksi dengan energi gelap jasmaniah, kerap disebut sifat-sifat negatif atau hewani dalam diri kita. Ini yang membuat hidup senantiasa berputar-putar dalam tarikan gelap energi panca mahabuta, panca indera, asubha karma, dsb. yang merupakan hukum kelahiran. Ini pula yang membuat sang ruh terus berkubang dalam kegelapan dan harus memikul beban tapak dara yang gelap sehingga ia sulit naik menuju moksa.
Untuk mencapai moksa, jalan satu-satunya adalah membebaskan diri dari belenggu duniawi, dengan membersihkan, menyucikan, mencerahkan stula sarira dan suksma sarira, atau lahir dan batin kita. Kita harus menjadikan diri sebagai “Anak Siwa” di dunia ini agar kelak dapat naik ke Alam Siwa.
Dari perspektif kerohanian Bali, tubuh kita ini terdiri dari aksara. Organ-organ vital kita, seperti jantung, hati, empedu, paru-paru, ginjal dan sebagainya adalah linggih aksara, disebut Dasa Aksara, yakni Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Aksara-aksara inilah yang harus dihidupkan agar naik kelas jadi aksara Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. Secara spiritual, ini artinya kita mengaktifkan energi dewata dalam kesemestaan raga kita. Dan itu kemudian mempengaruhi kualitas tapak dara atau suksma sarira dan seluruh prilaku kita. Kita jadi manusia tercerahkan.
Dalam Rare Angon, pembersihan atau memutar dasa aksara ini disimbolkan dengan pindekan. Putaran pindekan ke kanan, lambang swastika, sebagai energi Siwa, putarannya naik. Maknanya sebagai pencerahan rohani. Sedangkan pindekan berputar ke kiri, lambangnya swastika terbalik, membalik dasa aksara, samkya, energi Budha, turun. Maknanya sebagai pencerahan budi atau kehidupan lahiriah. Inilah ideologi Siwa-Budha.
Memutar aksara atau menyucikan diri, di Bali dilakukan dengan berbagai tradisi serta upacara yadnya berkesinambungan sepanjang hayat sesuai lontar Tutur Rare Angon, juga dengan jalan tapa brata yoga samadhi.
Proses spiritual tersebut membuat tapak dara dalam diri aktif dengan energinya yang cemerlang, bersih dari kegelapan dan kehilangan dualitasnya. Seluruh energi menyatu ke porosnya, membentuk kulminasi kesadaran yang digambarkan sebagai linggih aksara Ongkara, simbol jiwa-budi yang tercerahkan. Pribadi yang mencapai pencerahan level ini diibaratkan sebagai Siwa sekala, Siwa kecil, Anak Siwa. Inilah yang diabstraksikan melalui sosok Rare Angon. Si Anak Gembala. Orang yang mengembalakan sifat-sifat hewani dalam diri.
Rare Angon adalah Ongkara. Seluruh atribut Rare Angon, seperti layang-layang, sabit, tanduk kerbau, dan cemeti adalah simbol karakter Ongkara, menggambarkan kualitas tapak dara atau suksma sarira yang tercerahkan.
Atribut sabit atau topi segi tiga Rare Angon itu merupakan simbol Ongkara Gni. Melambangkan manah atau pikiran logika tercerahkan, pikiran bergairah, sensitif, tekun dan kreatif dalam menerima, menghayati, dan mengolah ilmu pengetahuan. Inilah disebut jalan Tapa. Dalam Catur Marga, namanya Jnana Marga Yoga.
Atribut berupa tanduk kerbau adalah simbol Ongkara Mrta. Melambangkan ahamkara yang tercerahkan sehingga sensitif dan cerdas mengelola energi ego dalam usaha mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia. Mampu menunaikan swadarma dengan teguh dan ikhlas tanpa terikat dengan hasil. Ini yang disebut jalan Brata. Dalam Catur Marga, namanya Karma Marga Yoga.
Pecut atau cemeti adalah simbol Ongkara Pasah. Melambangkan rasa yang tercerahkan sehingga emosi dan rasa selalu memancarkan kasih. Segala aktivitasnya di dunia dibimbing oleh spirit bakti, pelayanan dan kasih. Ini namanya jalan Yoga. Dalam Catur Marga, ini namanya Bhakti Marga Yoga.
Layang-layang dengan guwangannya itu lambang Ongkara Sabdha. Menggambarkan sifat religius. Citta atau pikiran rohani yang tercerahkan membuatnya selalu terkoneksi serta sensitif menangkap getaran pengetahuan atau spirit Siwa semesta. Ini namanya jalan Samadhi. Dalam Catur Marga disebut Raja Marga Yoga.
Itulah Rare Angon. Pencapaian karakter ideal sesuai ajaran kerohanian Bali, sebagai manusia religius sekaligus berbudi. Hidup dalam naungan ideologi Siwa-Budha, seimbang lahir-batin. Tak lagi memikul beban tapak dara tapi hidup di atas tapak dara atau hidup napak dara. Karakter ini digambarkan dengan aksara Ongkara Adumuka. Atributnya berupa sunari dan seruling.
Sunari itu lambang rohani tercerahkan. Interaksi antara spirit diri dengan semesta akan menciptakan energi batiniah yang indah. Kita mampu menangkap getaran semesta, sebaliknya semesta akan menggetarkan jiwa kita dalam harmoninya. Kondisi ini digambarkan sebagai interaksi antara ruang kosong bambu dengan angin semesta yang menciptakan penyatuan religius bak dengungan suara sunari yang singid samun-samun itu.
Sedangkan kehidupan lahiriah yang tercerahkan akan menciptakan interaksi yang selaras dengan gerak semesta. Prilaku kita akan mengalirkan energi kehidupan yang indah. Trikaya parisuda atau bhakti kita ibarat meniup seruling, mengelola sepuluh lubang aksara dalam diri, sehingga mampu memproduksi gerak dan irama prilaku kehidupan yang merdu dan damai di lingkungan dunia ini. Dalam Kandapat, pencapaian ini disimbolkan dengan nama Ratu Ketut Petung. Inilah prasyarat ideal bagi Sang Jiwatman untuk bisa tinggal landas dan pergi ke negeri impian, ke Alam Siwa alias moksa.
Begitulah kira-kira makna Rare Angon. Ini hanya renungan singkat, ditulis dengan cepat, tidak terlalu detail. Makna aksara-aksara itu bisa sangat luas, berlapis-lapis, bersudut-sudut, sehingga tak terlalu mudah juga merumuskannya menjadi cerita sederhana yang nemu gelang. [T]