ADA pertanyaan menarik dari Muhiddin M. Dahlan dalam program JASMERAH di kanal YouTube Mojokdotco setahun yang lalu. “Biasanya Aidit itu keluar namanya setiap September, bisa nggak kita geser ke bulan Mei? Bulan pendidikan, bulan literasi, bulan buku.”
Gus Muh—panggilan akrab Muhiddin M. Dahlan—akhirnya menjawab pertanyaannya sendiri. Dengan tegas ia mengatakan, “Sangat bisa dan representatif.”
Benar. Selama ini D.N. Aidit selalu dianggap sebagai sosok antagonis dalam sejarah Indonesia. Ia dan pikirannya, kata Gus Muh, diibaratkan bernasib seperti contekan: ditulis, dibaca, secara diam-diam. Dan kalau ketahuan, bisa fatal akibatnya.
Maka pada suatu masa, orang yang terang-terangan membicarakannya akan tertimpa nasib sial, seperti orang yang ketahuan bawa contekan dalam ujian: disita, didiskualifikasi, dipermalukan. Itulah nasib Dipa Nusantara Aidit—atau yang lebih dikenal dengan nama D.N. Aidit.
Bertahun-tahun, sebagaimana yang tertulis dalam Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2015), orang mengenalnya sebagai “si jahat”. Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: “Djawa adalah kunci…”; “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”; “Kita tak boleh terlambat…!”
Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI.
Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.
Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme.
“Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151—ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola,” tulis Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat di seri buku Tempo: Orang Kiri Indonesia.
Aidit dan PKI
Aidit lahir dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923. Semula, namanya adalah Achmad Aidit, anak sulung dari enam bersaudara-dua di antaranya adik tiri.
Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka.
Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, pengusaha ikan yang cukup berhasil. Tetapi, tak banyak fakta yang menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan.
Aidit mulai menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31—sarang aktivis pemuda “radikal” kala itu, kata Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok—penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan.
Tak sampai di situ, di usianya yang baru 25 tahun, Aidit terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Setelah itu, ia raib tak tahu rimbanya. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Tapi, dua tahun setelah itu, dia “muncul” kembali dan menjelma menjadi salah satu sosok penting dalam sejarah Partai Komunis Indonesia.
Menurut Zulkifli dan Hidayat (2015) Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua—Alimin dan Tan Ling Djie—pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia.
“PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina,” lanjut Zulkifli dan Hidayat dalam bukunya.
Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).
Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, kata Zulkifli dan Hidayat, Aidit berpidato tentang “jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi”. “Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis.”
Dan mengenai sosoknya, seorang bekas wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia tegang, ia tak ramah.
“Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya,” kata bekas wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin tak kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin-mungkin cenderung kering.
Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik. Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma tersenyum simpul (Tempo, 2015).
Buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2015) menyebutkan bahwa Aidit pernah menulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak dimuat di Harian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah kendalinya.
Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia menulis sajak karena Mao Tse Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula ia berenang di sepotong sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.
Tapi, apa pun itu, ia pemimpin partai yang berhasil—setidaknya sampai G30S membuatnya porak-poranda. Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai tokoh yang selalu disebut.
Akhirnya, pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.
Aidit dan Perjuangan Literasi
D.N. Aidit ini ingin membawa Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang kadernya, hingga di tingkat paling bawah, harus punya wawasan—“harus punya otak!” kata Muhiddin M. Dahlan dalam program JASMERAH di kanal YouTube Mojokdotco setahun yang lalu.
Dalam program tersebut, Gus Muh mengatakan bahwa Aidit sangat percaya dengan jalur penerbitan—atau dalam kata yang lebih umum: literasi—sebagai jalan perjuangan untuk membesarkan partainya.
“Makanya, kalau kalian jalan-jalan ke desa tiba-tiba ada orang tua sekali tapi pinter, padahal nggak kuliah, Anda pantas curigai bahwa itu adalah hasil program Aidit,” kata Gus Muh, yang kurang lebih seperti itu. Sejak menjadi pemimpin partai, Aidit memiliki program “buku harus masuk sampai ke tingkat desa lewat jalur hirarki partai.”
Maka, di PKI, setiap kader adalah aktivis literasi sekaligus. Merekalah yang menyebarkan buku dan koran itu masuk ke desa. Harga bukunya tidak boleh mahal. Dan tebal bukunya tidak boleh lebih dari 50 halaman. “Ini supaya orang desa bisa mencernanya,” ujar Gus Muh. Apa yang dilakukan oleh Aidit sesuai dengan ide Marxisme yang dikenal dengan kebudayaan progresifnya.
Pada zaman Aidit memimpin PKI, melalui buku dan koran, ia mencoba memperkenalkan politik negara anti-imperialisme dan anti-kolonialisme kepada rakyat di desa. Itu salah satu alat propaganda untuk memperkenalkan realitas kontemporer seperti teknologi tepat guna, bibit-bibit di pertanian, perihal tanah dan agraria, semua itu diasup-dimamah oleh kader-kader paling bawah lewat gerakan literasi buku dan koran masuk desa.
Sejak awal, sekali lagi, Aidit sadar betul bahwa dengan media ia dapat mencerahkan pikiran rakyat hingga lapisan paling bawah. Ia menunjukkan bagaimana partainya itu pro terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia ketika itu.
Hari ini, beberapa politisi juga memiliki media, katakanlah Hary Tanoesoedibjo dengan MNC Group-nya atau Surya Paloh dengan Metro TV-nya. Tetapi, apakah mereka memiliki niat yang sama dengan Aidit atau PKI? Apakah politisi—termasuk kedua nama yang disebut—yang memiliki media sekaligus partai mempunyai program mencerdaskan kader-kadernya dan rakyat sampai lapisan paling bawah?
PKI masuk ke sektor buruh, pendidikan, budaya, organ-organ seperti pelajar kepemudaan, perempuan, petani, nelayan, sarjana, mahasiswa, hingga anak-anak. Aidit percaya, mereka bisa memasuki dunia pencerahan lewat media. Maka ia berkata, “Tidak boleh ada konferensi partai dari tingkat paling atas sampai paling bawah yang tidak membicarakan Harian Rakjat.”
Selain mendorong gerakan koran dan buku masuk desa, Aidit juga mendirikan sebuah komisi dengan nama “Komisi Penerjemahan”.
“Ada satu buku tebal—tebal sekali—ukurannya seperti kuarto, tebalnya di atas 900 sampai 1000 halaman. Buku itu berjudul Sadur, disunting oleh Henri Chambert-Loir dari Perancis. Ini adalah buku hasil lokakarya penerjemahan poros Jakarta-Paris. Nah, di buku itu, satu-satunya partai yang memiliki tradisi penerjemahan di Indonesia hanya PKI,” terang Gus Muh.
Jadi, buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009) itu memasukkan PKI di dalam rantai besar tradisi penerjemahan. Mengapa begitu? Karena Komisi Penerjemahan itu include dan—meminjam bahasanya Gus Muh—“bukan asal bikin”. Komisi penerjemahan itu dipimpin oleh ketua partai. “Politbiro yang mimpin itu,” kata Gus Muh.
Artinya, semua dewan harian jurnal Bintang Merah itu—Aidit, Njoto, Lukman, Sudisman—menjadi dewan penerjemah. Dan buku-buku dari luar yang hendak diterjemahkan harus melalui petinggi partai terlebih dahulu. Dalam hal ini, menurut Gus Muh, PKI merupakan partai yang sadar betul tentang apa yang disebut dengan “internasionalisme intelektual”.
“Bahwa orang di desa di Gunung Kidul, yang jauh, mesti berkenalan dengan pikiran-pikiran di dunia yang jauh sekali, lewat apa? Lewat jembatan Komisi Penerjemahan,” ujar Gus Muh.
Meski harus diakui pula, Komisi Penerjemahan di tubuh PKI adalah kerja politik literatur. Tetapi, melalui komisi ini, partai bertanggungjawab penuh atas bodoh-goblok-cerdasnya kader untuk memahami dunia demi menyelesaikan revolusi Indonesia yang diceritakan Soekarno itu.
Ada suatu masa sebelum pameran buku Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) terselenggara bahkan terpikirkan, Indonesia punya pameran buku bernama Gelanggang. Di situlah Aidit nyaris tidak pernah absen untuk hadir di pmaeran buku tersebut.
“Sampai-sampai, di Gelanggang buku itulah, mereka [orang-orang PKI] mencetuskan bahwa hari buku nasional itu jatuh pada 21 Mei, bukan 17 Mei seperti yang kita rayakan setiap tahun sejak Orde Baru. Dan disitu terpahat nama orang bernama D.N. Aidit,” ungkap Gus Muh.
Sampai di sini, melalui program-program di PKI, Aidit hendak mengatakan bahwa “kami berada di garis terdepan dalam aksi literasi”. Sehingga, Soekarno begitu yakin—dan tidak sesumbar, tentu saja—ketika mengemukakan bahwa 1964 Indonesia bebas buta huruf. Kenapa Soekarno seyakin itu? Karena, seperti yang dikatakan Gus Muh, Bung Karno melihat sepak terjang PKI di bawah kendali Aidit.
“Karena itu, bagi saya, Aidit itu penting. Tidak hanya dibahas di bulan September—atau diingat ‘setannya’ di bulan September—tapi juga bisa kita pindahkan dia di bulan Mei, di hari ketika semua orang merayakan buku nasional,” kata Gus Muh, sebelum menutup program JASMERAH.
Maka, dengan begitu, terlepas dari pikirannya tentang negara komunis, saat membicarakan sosok bernama Dipa Nusantara Aidit, kita tidak lagi melihatnya sebagai setan atau hantu; atau saat mengeja dan membaca nama dan pikirannya, tak perlu bersikap seperti membikin contekan—ditulis, dibaca, secara diam-diam—yang ilegal dalam dunia pendidikan.[T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana