ORANG Singaraja lahir dari “panci pelebur” bernama Buleleng dan hidup di dalam “mangkuk salad” bernama Bali. Orang Singaraja lahir dari adukan bermacam ras dan suku bangsa yang mendiami Buleleng pada abad-abad silam. Karena itu, salah satu ciri terpenting orang Singaraja—yang selama ini barangkali sering diabaikan—adalah keterbukaan pola pikirnya.
Jamak tertulis dalam sejarah, orang-orang yang tinggal dan beranak-pinak di sepanjang pesisir adalah mereka yang memiliki pikiran egaliter, terbuka, dan mungkin sedikit blak-blakan—untuk tidak mengatakan “bar-bar”. Pikiran egaliter itu tumbuh karena wilayah pesisir biasanya memiliki keragaman kebudayaan (yang lebih) dibandingkan dengan wilayah agraris.
Hal itu sejalan dengan pola budaya Indonesia yang, menurut Nurcholis Madjid dalam bukunya Indonesia Kita (2004), secara garis besar mengenal adanya dua orientasi: yang lebih egaliter pada pola budaya pesisir (coastal culture) dan yang lebih hierarkis pada pola budaya pedalaman (inland culture).
Secara umum, lanjut Cak Nur, sebagaimana ia akrab dipanggil, dapat dikatakan bahwa kedua pola budaya besar Indonesia itu tergambarkan dalam falsafah dan kosmologi arsitektur dua monumen kuno Indonesia paling agung: Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, di satu pihak, dan Roro Jonggrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat, di pihak lain.
Budhisme adalah falsafah keagamaan kerajaan Luar Jawa Sriwijaya yang bersemangat bahari (kelautan, maritim), dan Hinduisme adalah falsafah keagamaan kerajaan Jawa Majapahit yang kekuatannya banyak bertumpu pada kesuburan tanah-tanah pertanian pedalaman Jawa yang produktif.
Masih dari sumber yang sama, tetapi karena Majapahit berdiri dengan latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Prambanan) sekaligus, di samping juga mengembangkan kekuatan dan kekuasaan bahari yang ekspansif, maka muncul ide oleh Empu Tantular, seorang filosof Majapatih, untuk mengusahakan rekonsiliasi antara berbagai aliran keagamaan yang ada, dalam semangat paham kemajemukan atau pluralisme atas dasar keyakinan tentang adanya kesatuan esensial di balik perbedaan formal. Semuanya beranekaragam, namun hakikatnya satu jua, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan yang mendua tujuan (Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa).
Sebagai kota dengan heterogenitas yang tak dapat disangkal, barangkali Singaraja juga dibangun dengan semangat demikian.
Dulu, Singaraja adalah pusat peradaban bernama “Sunda Kecil”. Segala elemen yang menunjang peradaban ada, hadir, dan dibangun di sini. Pesisirnya menjadi tempat transit para pedagang atau pelaut yang singgah. Para pelaut yang singgah tentu saja membawa serta budaya masing-masing dan kemudian saling berakumulasi dengan budaya masyarakat setempat. Dari situlah, pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan terjadi.
Saat Singaraja ditetapkan sebagai Ibu Kota Sunda Kecil (provinsi yang membawahi enam wilayah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor) ekosistem intelektual mulai terbangun. Namun, seolah segalanya berubah saat Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah saat itu memutuskan memindahkan Ibu Kota Provinsi Bali ke Denpasar pada 23 Juni 1960. (Selain atas dasar Keputusan Menteri Nomor 52/2/36-B6, pemindahan tersebut juga atas resolusi DPRD Tingkat I Bali.)
Sejak saat itu Singaraja seperti kehilangan “ruang” pengembangan intelektualisme dan elemen-elemen pendukungnya. Ia secara drastis berubah menjadi seperti kerupuk di warung mie ayam: ada—dan mungkin penting bagi beberapa kalangan—tapi tidak terlalu dihiraukan. Atau sekadar kota yang hanya bisa meromantisasi kejayaan masa lalu (post power syndrome). Celakanya, hal itu terjadi selama bertahun-tahun—bahkan sampai hari ini.
Maka, atas dasar kesadaran itulah, barangkali yang menjadi latar belakang tercetusnya sebuah festival dengan tajuk “Singaraja Literary Festival” sebagai sebuah ruang intelektual baru sekaligus jembatan penghubung antara pengetahuan masa lalu dengan masa kini.
Ruang Penghubung Pengetahuan
Singaraja Literary Festival (SLF) adalah festival yang digagas oleh Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole—suami istri, intelaktual, dan seniman dari Yayasan Mahima Indonesia—yang bertujuan untuk menghidupkan, mendiskusikan, mementaskan, dan mengalihwahanakan kembali legacy bidang sastra dan intelektualisme masa lalu yang dimiliki Singaraja.
Ini tahun pertama SLF akan diselenggarakan. Seperti apa yang dikatakan oleh Ole—panggilan akrab Made Adnyana Ole—bahwa yang pertama ini pihaknya masih mencari formula-formula apa yang harus dipakai selanjutnya. “Saat ini kami masih mencari formula untuk membunyikan pengetahuan yang lahir di masa lalu kepada semua orang, termasuk anak-anak muda sekarang,” ujarnya, sebagaimana ia katakan saat siaran di RRI Pro 1 Singaraja, Senin (25/9/2023).
Mengambil tema Gedong Kirtya sebagai pusat intelektualisme bangsa, festival ini memiliki visi mengajak pendidik, peneliti, mahasiswa, dan pelajar untuk mengapresiasi dan mengaktivasi wawasan kesusastraan dalam berbagai bentuk alih wahana karya yang bersumber dari lontar di Gedong Kirtya. Upaya ini juga selaras dengan aktivasi ruang publik—dalam hal ini Gedong Kirtya dan kawasannya—sehingga dapat diakses oleh siapa pun yang ingin hadir dan menyaksikan festival.
Menurut Kadek Sonia Piscayanti, selaku festival founder SLF, festival ini mengambil napas sastra karena (bagi Sonia) itulah penggerak kebudayaan di masa lampau yang menggerakkan masa kini dan nanti. Festival sebagai sebuah jembatan penghubung untuk menghidupkan ingatan soal kehidupan di masa lalu sebagai sebuah cermin refleksi di masa kini.
“Kami ingin mengalihwahanakan pemikiran di masa lalu yang tersimpan dalam manuskrip-manuskrip di Gedong Kirtya—perpustakaan manuskrip lontar di Bali dan mungkin di Indonesia—ke dalam bentuk media baru seperti teks pertunjukan, teater, film, dan karya sastra seperti novel, cerpen, maupun puisi,” jelas Sonia.
Sonia melanjutkan, hal itu dilakukan sebagai usaha “untuk mengajak generasi muda supaya lebih aware atau menyadari bahwa semua itu adalah kekayaan yang ditinggalkan oleh leluhur di masa lalu.” Benar. Seperti yang sudah disampaikan di awal bahwa Singaraja memang mewarisi banyak sekali pengetahuan dari para pendahulu, entah dalam bentuk tradisi, budaya, lontar, atau teks sastra baru. Dalam hal ini, tak bisa dimungkiri bahwa kota yang terletak di Bali bagian utara ini juga tercatat telah melahirkan banyak intelektual di berbagai bidang.
Sebut saja I Gusti Ketut Pudja, tokoh yang ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sunda Kecil. Atau Anak Agung Pandji Tisna, sastrawan angkatan Pujangga Baru yang dipercaya sebagai peletak batu pertama intelektualisme modern di Singaraja. Selain dua nama yang telah disebutkan, tentu masih banyak intelektual yang lahir dan besar di Singaraja. Namun, hari ini, nama-nama dan pikiran-pikiran para tokoh tersebut seolah hilang ditelan zaman.
Mengenai hal tersebut, dalam sebuah wawancara, Made Adnyana Ole mengungkapkan bahwa melalui Singaraja Literary Festival inilah, pikiran-pikiran di masa lalu itu dapat dihubungan dan dipertemukan dengan generasi hari ini. “Kalau kita ingin tahu bagaimana orang zaman dulu merawat rambutnya, tubuhnya, misalnya, silakan datang—karena di sana kita akan membicarakannya,” katanya.
Dari penyataannya tersebut, festival ini menghendaki pembacaan yang berpihak, yakni dengan menilik kembali pikiran atau sosok dari masa lalu yang, katanya, “tak terlalu diperhatikan” dalam kehidupan intelektualisme Singaraja hari ini. Juga, demi mendengar suara dari komunitas-komunitas “yang mungkin tidak pernah terdengar”.
Maka, untuk semua tujuan mulia ini kita membutuhkan kesadaran kolektif kolegial. Bahwa kita adalah pihak yang memang harus bertanggung jawab atas terputusnya pengetahuan masa lalu dengan masa kini. Meski hal tersebut tentu bukan suatu keharusan. Sebab, hanya orang-orang yang sadar, berilmu, dan mampu lah yang berhak melakukannya. Lainnya, seperti kata Chairil Anwar, “…tidak perlu ambil bagian!”.
Cara membaca pikiran—atau berfestival—dengan topangan kesadaran kolektif ini tentu saja mengandung heroisme tertentu. Ia hendak memberi suara kepada yang selama ini tidak bisa bersuara. Dalam konteks festival ini adalah “menyediakan ruang bagi lebih banyak pikiran kaum intelektual yang terabaikan selama ini.” Sebab, kata Zen Hae dalam bukunya Sembilan Lima Empat (2021), sudah sejak lama kita ditantang oleh Gayatri Chakravorty Spivak lewat sebuah interogasi—yang juga menjadi judul esai panjangnya—“Can the Subaltern Speak?”
Sekadar informasi, kurang lebih ada 30 program dalam Singaraja Literary Festival tahun pertama ini yang terdiri dari lomba, workshop, kuliah umum, diskusi publik, bedah buku, pameran, akustik musik, teater dan tari, serta pertunjukan naratif dalang dan kolaborasi lintas komunitas.
Acara ini akan berlangsung sejak 29 September hingga 1 Oktober 2023 di Kawasan Gedong Kirtya, Singaraja, Bali.[T]
Baca juga artikel terkait FESTIVAL atau tulisan menarik lainnya JASWANTO