ISU MENGENAI eksploitasi tanah untuk kepentingan industrialisasi seolah sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak hanya di Jawa, tapi nyaris di seluruh wilayah di Indonesia. Pengalihfungsian hutan dan lahan pertanian menjadi tambang, hunian, atau bangunan privat, nyaris selalu melahirkan konfik antara rakyat, pemerintah, dan pengusaha.
Kondisi tersebut kemudian menggerakkan orang-orang yang peduli, mulai dari LSM, organisasi masyarakat, hingga akademisi, berbondong-bodong melakukan aksi protes secara langsung maupun tidak langsung—yang pasif maupun aktif, reaksioner.
Masalah lain, selain pengalihfungsian lahan, dalam dunia pertanian khususnya, pengunaan pupuk kimia yang berlebihan juga menjadi ancaman keberlangsungan kesuburan tanah. Mengenai hal ini, salah seorang akademisi Universitas Udayana, Bali, Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S., sangat paham akan kondisi tersebut.
Sekadar informasi, Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud) itu, menjadi satu di antara 18 guru besar yang dikukuhkan Rektor Unud Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU, Sabtu, (16/9/2023).
Benar. Prof. Ni Luh Kartini memang dikenal sebagai akademisi yang getol memperjuangkan pertanian organik di Provinsi Bali dan Indonesia.
Dalam orasinya yang bertajuk “Pertanian Organik Penyelamat Kehidupan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Kearifan Lokal Mendukung Ekonomi Kreatif” di Gedung Widya Sabha, Kampus Unud, Bukit Jimbaran, dengan tegas ia mengatakan, “Hentikan eksploitasi tanah untuk kepentingan industrialisasi.”
Tak hanya itu, akademisi yang sudah berkali-kali meneliti dan memproduksi pupuk organik dengan bantuan cacing tanah itu, mengimbau stakeholder pertanian untuk merubah cara pandang dalam pemanfaatan tanah.
Revolusi hijau, tegas dosen Prodi Agroekoteknologi Pertanian itu, telah merubah pola pikir sebagian besar orang yang memandang tanah tidak semata-mata sebagai sumber kehidupan, namun dimanfaatkan sebagai “bahan baku” industri.
“Jadi, tanah harus dikelola secara efektif dan efisien, sehingga tanah ditarget mampu menghasilkan yang setinggi tingginya. Caranya, dengan penggunaan bahan-bahan sintetik dan bibit unggul. Fokus masyarakat selama ini hanya memberi makan tanaman, mereka tidak memberi makan tanah,” jelasnya.
Baginya, penerapan teknologi modern dengan aplikasi pupuk dan obat-obatan pertanian kimia berdampak pada merosotnya kualitas tanah.
Prof. Kartini mengingatkan semua pihak untuk konsisten mengembangkan pertanian organik. Optimalisasi sumber daya lokal dan kearifan lokal, lanjutnya, hanya bisa dilakukan dengan penerapan sistem pertanian organik.
“Sumber daya lokal yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian organik adalah cacing tanah,” tuturnya.
Menurutnya, cacing tanah dapat digunakan untuk memproduksi pupuk kascing. Dia meyakini bahwa pengembangan pertanian organik dapat didorong untuk dipercepat demi menghindari akses penggunaan bahan-bahan kimia di sektor pertanian.
Ia menjelaskan, akibat penggunaan bahan kimia di pertanian telah menyebabkan air susu ibu (ASI) terkontaminasi sehingga berdampak tidak sehat bagi pertumbuhan bayi. Berdasarkan penelitian WHO tahun 1990-an, katanya, seorang ibu yang air susunya terkontaminasi residu kimia akibat mengonsumsi bahan makanan non organik, sekitar 20% pertumbuhan bayi terganggu akibat ASI sang ibu.
Ia mengakui, pengembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat sempit, hanya sekitar 0,05 juta Ha. Provinsi Bali berpeluang mengembangkan pertanian organik karena kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan organik semakin tinggi.
Disamping itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengembangan pertanian organik. Ia memaparkan, pemerintah Provinsi Bali mendeklarasikan pertanian Bali dikelola dengan sistem pertanian organik tahun 2005.
Sementara itu, pada tahun 2009, Bali mendeklarasikan diri sebagai pulau organik. Hal tersebut didukung dengan adanya Kebijakan Go Organik tahun 2010 dengan pengembangan 1000 desa organik.
Yang terpenting, imbuhnya, Bali sudah mengesahkan Perda Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Organik, dan dilanjutkan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut, serta peraturan lainnya.
“Regulasi ini tinggal dibuatkan petunjuk teknisnya, sehingga pertanian organik benar-benar berkembang di Bali,” pungkasnya.[T][Jas/*]