TOLERANSI kehidupan beragama di Dusun Piling, Desa Mengesta, Kabupaten Tabanan telah menjadi percontohan baik di tingkat nasional bahkan di luar negeri. Namun mahasiswa inbound/modul nusantara pertukaran mahasiswa merdeka 3 Unud tergelitik mempertanyakan bagaiman tokoh masyarakat setempat mengambil keputusan sensitif dan menjalankan prosesi kawin campur.
Diskusi tersebut mengemuka dalam modul refleksi keberagaman umat beragama di Kampung Toleransi, Dusun Piling pada Sabtu (16/9) lalu. Bendesa Adat Piling I Made Sutarsa saat menerima mahasiswa mengaku bangga kampung halamannya menjadi tempat belajar kebinekaan dan toleransi kehidupan beragam.
“Dusun Piling ini sudah pernah diliput reporter TV asal Korea Selatan, katanya mereka ingin menyebarkan kebaikan terkait kerukunan hidup beragama di negerinya. Artinya, kami menjadi percontohan baik didalam dan luar negeri,” ujarnya dengan raut muka berseri-seri.
Menanggapi hal itu mahasiswa modul nusantara Unud dari Kelompok Sandya Abhirama dan Kelompok Chanakya Balakosa yang hadir pun mengajukan sejumlah pertanyaan. Jeine Margareta Ante asal Universtas Sam Ratulangi, Manado menanyakan bagaimana tokoh masyarakat mengambil keputusan sensitif? Contohnya, ketika Umat Kristiani dan Umat Hindu mesti melakukan kegiatan keagamaan dalam waktu bersamaan?
.
Sementara itu, Desy Afriyanti Boru Ginting dari Universitas Sumatra Utara mengaku sangat senang mendengarkan ada pernikahan campuran di Dusun Piling. Alasannya, anak muda saat ini galau jika menjalin hubungan beda agama, jadi perkawinan campuran bisa menjadi solusi agar hubungan anak muda tidak kandas karena perbedaan agama. “Secara teknis bagaimana melaksanakannya pak? Upacaranya di keluarga Agama Hindu atau Agama Kristen lebih dahulu pak? Apakah tidak masalah dalam pencatatan administrasi negara?” tanya Desy Afriyanti lugas.
Bendesa Adat I Made Sutarsa menanggapi pertanyaan Margareta, koordinasi antar pemuka agama menjadi kunci membangun keharmonisan antar pemeluk agama di wilayahnya. “Jika kegiatan mesti terjadi di hari yang sama, misalnya persembahyangan maka waktunya diatur. Siapa yang melaksanakan kegiatan pagi, siapa yang melaksanakan kegiatan sore. Jika ada piodalan (upacara keagamaan umat Hindu), dan misalnya ada warga umat Kristen meninggal maka disepakati upacara penguburan dilaksanakan setelah kegiatan di pura selesai,” jelas Bendesa I Made Sutarsa.
Sementara Dewan Gereja Katolik Andreas I Made Agus Wirawan menjelaskan perkawinan campuran itu bukan saat upacara pernikahan mempelainya berbeda agama. Andreas menuturkan muda-mudi di Dusun Piling kalau jatuh cinta beda agama tidak akan was-was hubungannya ditentang keluarga masing-masing.
Dua sejoli, katanya, didukung berhubungan oleh keluarga masing-masing dan saat mereka serius untuk menikah diberikan kebebasan mengambil keputusan berdua akan menikah dan memeluk agama apa di keluarganya. “Kalau calon pengantin memutuskan menikah dengan Agama Hindu maka prosesi pernikahan dalam agama Hindu dan berbagai tahapan upacara dan persyaratan administrasi harus dilengkapi. Demikian sebaliknya jika mereka ingin menikah dalam Agama Kristen maka tahapan dan kelengkapan administrasi Agama Kristen yang diurus kedua mempelai,” ujarnya.
.
Baik Bendesa Adat Made Sutarsa dan Dewan Gereja Katolik Andreas menceritakan secara historis akulturasi Hindu dan Kristen di Piling berkembang sejak salah satu warga setempat memeluk agama Kristen Protestan tahun 1936. Sedangkan, Kristen Katolik masuk Dusun Piling pada tahun 1955. Kadus Piling I Wayan Putra Sedana, SE dan I Wayan Sukaarta (keduanya pemeluk Agama Kristen) menyetujui penjelasan pemuka adat dan agama tersebut. Putera Sedana yang mengaku masih saudara dekat dengan Bendesa I Made Sutarsa menyatakan tidak pernah ada masalah konflik antar umat beragama di wilayahnya. Umat yang berbeda agama melaksanakan kolaborasi dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan di tempat suci masing-masing.
“Kami membentuk kelompok suka-duka sebagai wadah koordinasi antar umat bergama,” tutur Putra Sedana. Sedangkan I Wayan Sukaarta menuturkan warga Piling memahami spirit kehidupan beragam adalah cinta kasih sehingga mereka tumbuh bersama, hidup berdampingan dan saling memahami.
Bendesa Made Sutarsa dan Andreas mencontohkan warga Kristiani sering ngayah menyiapkan sesajen untuk piodalan di pura. “Banyak ibu-ibu umat Kristiani yang pinter mejejaitan (membikin hiasan sesajen-red),” tutur tetua adat itu. Sedangkan Andreas menjelaskan tradisi ngejot antar umat agama menunjukkan kesolidan warga setempat.
“Ngejot itu pemberian makanan ke tetangga yang tidak merayakan hari besar keagamaan. Saat natal saya memberikan makanan ke keluarga Hindu, sebaliknya saat Hari Raya Galungan saya menerima ejotan dari keluarga Hindu,” ujarnya.
Andreas menambahkan dalam keluarganya yang beda agama, sering berkolaborasi. Misalnya, saat Hari Galungan dia membantu sepupunya bikin penjor dan “masang wastra” atau hiasan di sanggah atau pura keluarga. Sebaliknya, sang sepupu akan hadir membantunya saat menyiapkan perayaan natal setiap akhir tahun atau kegiatan keagamaan lainnya.
Modul Nusantara di Dusun Piling dilaksanakan dosen modul nusantara PMM3 Unud Agus Muriawan Putra, S.STpar., M.Par dan Dr. I Made Sarjana, SP., M.Sc. didampingi mahasiswa mentor Reginaldus Sandra Randung, dan Jhordi Pratama. Mahasiswa modul nusantara yang hadir sebanyak 46 orang. [T][Rls/Ado/*]