Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga lukisan dari sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung, dan sebagainya. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kualitas dan cat atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukanlah bahan-bahan yang penting, yang penting adalah hasil yang dicapai. –Chairil Anwar, “Membaca Sajak Melihat Lukisan”
KETIKA MEMBACA nukilan prosa Chairil Anwar di atas, saya seolah-olah diajak untuk tak melihat “inspirasi” (yang bisa berupa ide atau sosok atau apa saja) atau proses bagaimana suatu sajak tercipta. Memang hal itu mungkin tidak perlu atau bahkan tidak penting bagi seseorang yang hanya menjadi pelaku dalam menikmati sajak, atau menjadi “penikmat sajak” belaka. Namun, tentu, jika kita ingin memahami sepenuhnya bagaimana penyair besar ini bisa membuat sajak-sajak yang begitu mendarah-nanah, sudah selayaknya kita mengetahui bagaimana peran inspirasi di balik sajak-sajak itu.
Saya tidak akan membahas bagaimana penyair-penyair luar negeri mempengaruhi sajak-sajak Chairil, atau seberapa besar kepandaian Chairil dalam mencuri baris-baris para penyair itu, atau seberapa setujunya Chairil kepada pernyataan TS Eliot bahwa “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri”. Yang akan saya bahas adalah peran sosok seorang perempuan misterius bernama “Ida” yang tercantum di dalam beberapa sajaknya. Ida menarik untuk dibahas karena bertalian erat dengan vitalisme yang diagungkan Chairil dan juga visi kesusastraannya. Apalagi, Ida juga dijumpai dalam prosa Chairi, seolah-olah Chairil merasa perlu menambahkan penjelasan tentang sosok itu melalui prosa.
Namun, pertama-tama, untuk menegaskan bagaimana sosok perempuan, secara umum, berperan penting dalam persajakan dan karir Chairil, kita ingat terlebih dulu sajaknya yang paling mula, “Nisan”, yang diterbitkan di tahun 1942.
Nisan
Untuk Nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
Nisan dapat dianggap sajak yang memberikan kepercayaan diri kepada Chairil untuk membangun karir sebagai penyair. Yang perlu dicatat, “Nisan” memperlihatkan pengakuan Chairil atas pentingnya sosok perempuan dalam penciptaan sajaknya (yaitu nenekanda). Setelah sajak ini, Chairil menulis beberapa sajak yang dipersembahkan kepada beberapa perempuan lain. Telah banyak pembahasan dilakukan tentang peran Sri Ajati bagi penciptaan “Senja di Pelabuhan Kecil”. Ada juga Mirat, Dien Tamaela, Tuti Artic, Nyonya N, dan tentu Ida.
Ida dalam Sajak
Chairil menulis beberapa sajak yang mencantumkan nama Ida secara eksplisit. Kita jumpai sosok Ida dalam “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (sajak ini mulanya tanpa judul. Judul yang dikenal sekarang dipilihkan oleh para editor buku-buku yang menyertakan sajak ini):
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
Ranjang padang putih tiada batas
Sepilah panggil-panggilan
Antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
Di hadapan berpuluh lorong dan gang
Menimbang:
Ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
Ranjang padang putih tiada batas
Sepilah panggil-panggilan
Antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
Tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
Tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
Rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
Pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di jaman kanak.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
Menggulingkan gundu, memutarkan gasing
Memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
Aku sudah lebih dulu kaku.
1948
Sajak lain yang mencantumkan Ida secara eksplisit adalah “Ajakan”.
Ajakan
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang tengah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama-gandingan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
1943
Yang harus dicatat: seorang penyair jenius yang sangat sensitif dan posesif seperti Chairil (ingat, dengan cermin pun dia enggan berbagi) tidak akan sembarangan dalam mempersembahkan sajaknya kepada seseorang!
Siapakah Ida?
Sejauh ini kita tidak bisa memastikan apakah sosok Ida benar-benar ada dalam kehidupan sehari-sehari Chairil sebagaimana Sri Ajati yang sering diminta bercerita tentang pengalamannya bersama Chairil pada Hari Chairil. Banyak dari kawan-kawannya sendiri menganggap bahwa Ida adalah seorang perempuan keturunan Indo yang ditemui Chairil dalam sebuah pameran seni rupa. Ada pula yang mengatakan bahwa ida adalah seorang perempuan penjaga perpustakaan tempat Chairil biasa mencuri buku, dan sebagainya.
Mungkin juga Ida hanya sosok imajiner ciptaan Chairil yang diberi suatu nama. Seorang ahli kata sepertiChairil tentu pernah pula bermain-main dengan anagram, yaitu tindakan mengubah susunan huruf pada sebuah kata sehingga menjadi kata lain yang memiliki arti berbeda. Dus, kita bisa saja membayangkan bahwa Ida adalah sebuah anagram dari “dia” yang kemudian menjadi nama yang khas perempuan, yaitu Ida. Tentu, kata ganti “dia” adalah anonim, yang semakin menambah misteriusnya sosok ini.
Apapun dugaan sumber-sumber itu, satu hal yang pasti adalah bahwa sosok Ida sangat penting bagi Chairil dalam menungkapkan idenya tentang vitalisme dan visi kesusastraannya. Kita jumpai Ida dalam sebuah sumber primer, yaitu teks pidato di muka angkatan baru Pusat Kebudayaan pada tahun 1943. Teks itu, menurutnya, disusun dari catatan-catatan dalam buku hariannya. Buku harian, kita tahu, adalah sesuatu yang sangat personal. Tidak mengherankan jika pemikiran dan perasaan Chairil tentang sastra dan seni direkam dalam buku hariannya, yang beberapa di antaranya dia kutip dalam pidatonya. Jadi, sajak, seni, vitaliteit dan Ida adalah soal yang sangat personal bagi Chairil Anwar.
Dari “beberapa lembar dari buku harian” Chairil itu, kita melihat bahwa Ida adalah sosok yang menjadi sparing partner, lawan latih-tanding, lawan sekaligus kawan diskusi, yang menajamkan idenya tentang vitalisme, keindahan, dan sajak. Bagi Chairil, Ida adalah kawan diskusi yang sepadan, dan bahkan pernah juga membuat Chairil tak berkutik dalam diskusi, yang terlihat dalam kalimat ini: “Segala Ida mau terus tahu, bertubi-tubi Tanya datang. Sehingga aku tak bisa bilang apa-apa jadinya”.
Ida adalah juga sosok yang sangat disayangi Chairil. Kepadanya Chairil selalu berkata-kata dengan mesra. Bahkan sebelum dia mulai mendedahkan pemikiran literernya, dia merasa perlu untuk menyapa Ida: “Ida! Idaku sayang”. Setelah itu, kita melihat sosok Ida yang baru saja mengungkapkan pemikirannya di depan Chairil dan Chairil yang langsung membantahnya, tanpa meninggalkan kemesraan: “Aku bantah Idaku kali ini”.
Bagaimanakah sosok Ida di mata Chairil? Kesan Chairil tentang sosok itu adalah bahwa “Ida dipengaruhi amat oleh teman-teman Ida yang masih muda umur serta jiwa”. Ida juga memiliki perhatian yang sama terhadap sastra dan seni. Menurut buku harian Chairil itu, Ida berkeluh-kesah kepada Chairil tentang hasil sastra dan seni tak memuaskan yang diciptakan dengan “pikiran dan dasar seni atau filsafat” yang “datangnya sebagai cahaya surya langit”. Chairil merasa perlu untuk menegaskan apa yang dikeluhkan Ida: karya yang “dangkal-picik benar, tak lebih angin lalu saja, menyejukkan kenang dan dahipun tidak”, hanya “ange’ ange’ ciri ayam”. Ida adalah sosok yang mengerti tentang minat Chairil pada seni yang tidak sedikit. Lebih jelas lagi, terlihat dalam kalimat afirmatif ini: “bukan untuk melepaskan diri dengan begitu saja, kan Ida kenal padaku”.
Kepada Ida juga Chairil menegaskan identitas dirinya sebagai seniman: “Aku sebagai seniman, Ida, harus mempunya ketajaman dan ketegasan dalam menimbang serta memutus”. Agar Ida paham, Chairil kemudian memberikan contoh Beethoven yang meninggalkan buku musik penuh catatan. Dalam memberikan contoh itu pun Chairil masih sangat mesra: “Simponinya yang ke-5 dan ke-9 bukan begitu saja terlahir, Idaku”. Sapaan-sapaan mesra Chairil kepada Ida memang bertebaran di dalam “beberapa lembar dari buku harian”-nya itu: “Ida, rangkaian jiwa”, “adikku”, “Ratu-Hatiku”, “dupa-kepercayaanku”, “sayangku mesra”.
Kepada Ida, Chairil begitu menggebu-gebu dalam menjelaskan visi perpuisiannya. Dia mengatakan kepada Ida, “Pujangga muda akan datang musti, pemeriksa yang cermat, pengupas-pengikis sampai ke sari pati sesuatu.” Kepada Ida, Chairil mengungkapkan “ramalan”-nya: “pujangga di masa akan datang – pujangga sejati! – memanjatnya, dan memotong cabang-cabang yang merindang – merimbun tak perlu….” Dia tegaskan kepada Ida keberaniannya untuk terus bersetia kepada visinya, bahwa walaupun “sudah berdesing-desing di kuping dahsyat-hebat suara meneriakkan: Berhenti! Berhenti! Hai perusak, peruntuh!”, Chairil terus “berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah”, “tidak tinggal di pekarangan saja”.
Salah satu pokok penting yang ditegaskan oleh Chairil kepada Ida adalah visinya tentang vitalisme, satu paham yang diyakini Chairil dan merupakan landasan literernya. Dalam naskah pidato kebudayaan itu, Chairil kepada Ida menggambarkan vitalisme sebagai “tenaga hidup yang hebat berkobar-kobar” yang begitu luar biasa “sehingga diteruskannya dalam mati”.
Vitalisme itu, bagi Chairil, mewujud dalam pencapaian-pencapaian sosio-kultural yang melingkupinya. Mungkin agak ironis karena dia mengambil contoh berupa kesetiaan kepada kaisar Jepang, tetapi salah satu contoh pencapaian itu menggambarkan dengan jelas keyakinannya tentang vitalisme: “pengabdiannya yang meningkat setinggi-tingginya terhadap J.M.M TENNO HEIKA, nusa dan bangsa, dalam perasaan yang telah mencapai ujung dan puncak”. Jepang, pada masa ketika pidato ini disusun, adalah contoh pencapaian yang luar biasa: sebuah negara yang dikeroyok oleh negara-negara Sekutu dan mampu menang. Dalam pencapaian itu, Chairil yakin bahwa “sebagian besar musti terselip tenaga hidup yang berkobar-kobar”.
Tentu dia tidak bisa menghindari untuk mengambil contoh pengabdian kepada Tenno Heika (kaisar Jepang) itu. Bagaimana pun, seorang penyair atau seniman tidak bisa bersendiri dan memisahkan diri dari konteksnya.
Chairil yakin, “vitalisme ini mungkin diserap ke dalam seni”. Bahkan, bagi Chairil, sebenarnya “sifat ini tidak mungkin dihilangkan atau ditiadakan”. Jika karya seni adalah perwujudan keindahan, maka tenaga hidup itu diperlukan untuk mencapai keindahan. Chairil dengan tegas membedakan antara keindahan dan vitaliteit dalam seni: “vitaliteit itu chootisch voorstadium, keindahan kosmich einstadium.” Vitaliteit adalah stadium chaos, kekacauan, tak beraturan namun memiliki tenaga besar. Keindahan adalah “persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup”, yang teratur dan harmonis (kosmos = keteraturan). Tenaga hidup adalah pangkal, keindahan adalah ujung.
Mungkin pula ada sebuah ikatan romantis antara Chairil dan Ida. Chairil menceritakan bagaimana mereka berdua “naik sepeda bersama” dan “digumul-gulat kenikmatan berdua sendiri”, di mana selama itu Chairil membuka “rahasia”. Dan selama itu pula Chairil merasa bahagia karena “jiwa ada sangkut-kaitan, terus penuh perhatian”. Kemesraan romantis itu pun terwujud pula secara fisik, seperti terlihat dalam kalimat “Ida cengkam lenganku, mata Ida bersinar-sinar”. Chairil percaya, perhatian Ida terhadap gerak-geriknya “kiranya pancaran sanubari”.
Kita tidak tahu bisa tahu pasti bagaimana sosok fisik Ida, walaupun dalam lembar buku harian itu Chairil sedikit memberikan petunjuk, yaitu ketika dia membahas tentang wahyu sebagai sumber penciptaan karya seni. Kalimat itu berbunyi: “Jangan, jangan Ida picingkan mata cipit Ida”. Kita tidak tahu se-cipit apa mata itu, tetapi yang pasti Chairil sangat menyukainya karena dia menyebut mata cipit itu sebagai “danau kaca jernih tempatku tenggelam”.
Karena bersangkutan-jiwa dan memiliki hubungan romantis, tidak mengherankan jika Chairil berkata kepada Ida, seperti berdoa, “Dukung aku Ida….”
Ida dan Pandangan Chairil tentang Perempuan
Dari pidato Chairil itu kita tahu bagaimana Ida digambarkan sebagai sosok perempuan yang tidak semata-mata seperti stereotip perempuan di jaman itu, dan mungkin juga stereotip perempuan di masa sekarang, yang berkisar antara dapur-sumur-kasur. Ida adalah sosok yang memiliki kecerdasan intelektual yang sepadan dengan Chairil sehingga menjadi lawan latih-tanding dalam soal kesusastraan yang sangat personal dan serius bagi Chairil. Kita lihat bagaimana Chairil tidak menganggap Ida lebih rendah daripada dirinya. Chairil dan Ida adalah setara. Bahkan, jika kita mengingat lagi sajak “Nisan”, kita melihat bahwa Chairil seolah menempatkan sosok perempuan (nenekanda) dalam posisi yang lebih tinggi karena telah mengisyaratkan kekuatan kematian (ingat, “tak kutahu setinggi itu atas debu”).
Persepi Chairil yang paling jelas tentang perempuan tentu dapat dilihat dalam sajaknya. Namun, sekilas, ada kontradiksi antara pemuliaan Chairil pada sosok Ida dan nenekanda dan perlakuannya kepada sosok perempuan lain pada sajak lainnya. Misalnya pada “Jangan di Sini Kita Berhenti”:
Jangan Kita di Sini Berhenti
Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu
Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
pelayannya kita dilayani gadis-gadis
o, bibir merah, selokan mati pertama
o, hidup, kau masih ketawa?”
Dari sajak di atas, kita lihat bagaimana Chairil tampak seperti mensubordinasi perempuan. “Gadis-gadis” diposisikan sebagai pelayan bagi “kita” yang sedang berpesta. Selain itu, “bibir merah”, tanda yang berasosiasi dengan perempuan, juga dipersalahkan oleh Chairil sebagai “selokan mati pertama”. “Selokan mati pertama” bisa ditafsirkan sebagai awal proses kematian yang panjang yang diawali oleh perempuan (“bibir merah”). Dalam “Ajakan Kepada Kawan”, Chairil lebih lagi merendahkan sosok perempuan dengan mengafirmasi stereotip bahwa perempuan suka “merajuk” dan dia bahkan menyarankan untuk mengeksploitasi perempuan secara seksual (“Peluk kecup rayu perempuan, tinggalkan kalau merajuk”).
Tetapi kita tidak bisa serta merta menyalahkan Chairil karena bagaimana pun Chairil adalah manusia yang hidup di lingkungan sosial kultural tertentu. Dia adalah tabularasa (kertas kosong yang siap ditulisi). Konvensi-konvensi dan tanda-tanda sosial kultural tertera pada kertas mental dan intelektual Chairil. Selain itu kita juga harus melihat suboordinasi atas perempuan tersebut dalam konteks keseluruhan sajak-sajaknya. Untuk mengungkapkan pesan-pesannya yang memiliki nilai revolusioner pada tahun-tahun di mana ia hidup, ia tidak bisa menghindari untuk menggunakan tanda-tanda bahasa dan tanda-tanda budaya yang tersedia di sekelilingnya.
Penutup
Pembahasan tentang Ida, perempuan, vitalisme dan visi literer Chairil di atas sekaligus membuat kita yakin bahwa sebenarnya sajak-sajak Chairil, sebagaimana semua karya puisi yang baik, pada dasarnya memihak pada nilai-nilai universal positif seperti kemajuan, kesetaraan, penghargaan terhadap perempuan, kepercayaan bahwa perempuan sepadan dengan laki-laki dalam perkara intelektual, dan pengakuan atas perempuan sebagai gender yang memiliki kekuatan besar untuk memancarkan elan vital (“Buat miratku, ratuku! Kucuplah aku terus dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam diriku”).
Hal ini mengingatkan kita pada sosok Arthur Rimbaud, enfant terrible perpuisian Perancis yang berhenti menulis puisi pada usia 21 tahun, lalu pergi ke “Timur” dan aktif dalam perdagangan budak. Chinua Achebe tahu pasti alasan Rimbaud berhenti menulis puisi pada usia yang semuda itu. Kata Achebe, “Poetry surely can only be on the side of man’s deliverance and not his enslavement” (Puisi tentu hanya bisa berpihak pada pembebasan manusia dan bukan pada perbudakan atas manusia). Pelopor Simbolisme Perancis itu rupanya tahu pasti bahwa dia tidak berhak lagi menjadi penyair karena telah merendahkan harkat dan martabat manusia dengan menjual manusia.
Dilihat dari sudut ini, Chairil memang pantas disebut revolusioner sejati. [T]