USIANYA sudah tak lagi muda. Tapi sisa-sisa kekuatannya masih terlihat. Badannya tampak kokoh, tak ringkih seperti orang-orang tua pada umumnya—yang seusainya. Matanya masih tampak tajam, meski harus menggunakan kacamata saat membaca tulisan. Lengan dan kakinya terlihat kuat, tak lembek dan bergelambir. Ia, dulu, adalah salah seorang pendekar silat Bakti Negara pilih tanding.
I Dewa Nyoman Sumarsana, namanya, sang jawara kelahiran Badung, 1962. Orang tua yang akrab dipanggil Ajik Dewa itu, berlatih Pencak Silat Bakti Negara sejak kelas 4 SD. Ia dilatih langsung oleh pendekar bernama I Nengah Oncegan di Ranting Bima, Kabupaten Badung, Bali. Selain Ajik Dewa, Nengah Oncegan juga melatih pendekar perempuan bernama Ni Wayan Badengwati—pendekar Bakti Negara yang pernah menjadi juara dunia tahun 1982.
“Jadi ceritanya, rumah saya dulu dekat dengan tempat latihan Bakti Negara. Nah, suatu hari, Pak Nengah Oncegan menawari saya untuk ikut latihan. ‘Dewa, mau ikut latihan?’ Saya jawab ‘mau’ gitu. Saat itu saya baru kelas 4 SD,” ujarnya, saat ditemui di kediamannya di Jl. Lingga Gang III, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, Senin (11/9/2023) pagi.
Sejak saat itulah, Ajik Dewa rutin berlatih. Saat tilem—salah satu hari suci bagi umat Hindu yang datang setiap sasih atau sebulan sekali—ia berlatih menggunakan tongkat (toya) sang guru—supaya penglihatan kita tajam, katanya. Layaknya cerita dalam film atau komik silat, latihan Ajik Dewa juga tidak mudah. Ia harus melatih fisik dan mentalnya terlebih dahulu sebelum mempelajari jurus-jurus Perguruan Bakti Negara.
Benar. Masuknya seseorang dalam perguruan pencak silat biasanya mendapat pembinaan melalui dua arah, yaitu pembinaan dalam bentuk fisik dan mental. Karena untuk menjadi pesilat yang baik, kesegaran jasmani dan rohani—sebagai pusat kendali untuk menampilkan gerakan silat yang teratur dan sesuai seperti gerakan menyerang, menangkis atau mengelak—memerlukan pemunculan secara sepontan, sehingga kedua unsur tersebut harus terintegrasi dengan baik.
I Dewa Nyoman Sumarsana / Foto: Dok. Jas
Menurut Ajik Dewa, pada awalnya ia ikut latihan pencak silat hanya karena ketertarikan, tak ada niat untuk ikut kejuaraan atau menjadi atlet—bahkan awalnya ia hanya ikut-ikutan. “Tak ada niat jadi atlet. Niat saya, selain ikut-ikutan, ya supaya bisa menjaga diri aja,” terangnya.
Tetapi, nasib orang siapa yang tahu, berkat bakat dan kegigihannya, pendekar yang kini berusia 61 tahun itu justru terpilih mejadi atlet di beberapa kejuaraan, entah di daerah maupun nasional. Pada tahun 70an, semasa masih SMP, ia sudah sering juara di tingkat daerah. Hingga pada tahun 1985, Dewa Nyoman Sumarsana ditunjuk sebagai atlet cabor pencak silat mewakili Provinsi Bali di PON XI di Jakarta.
Seakan tak mau menyia-nyiakan kesempatan, atlet pencak silat lulusan Sekolah Pendidikan Guru Olahraga (SPO) Singaraja itu mendapatkan juara III PON XI di Jakarta. “Saya mendapat medali perunggu waktu itu,” ungkapnya.
Saat masih aktif menjadi atlet dan sering mengikuti kejuaraan, Ajik Dewa mengaku sering mendapat perlakuan curang saat di gelanggang. Ia sering mendapat serangan dari ilmu-ilmu tak kasat mata. Pernah suatu ketika badannya seperti melepuh, biru-biru, saat melawan atlet dari Lombok Tengah, NTB. “Itu jelas tidak wajar. Saya yakin dia menggunakan ilmu gaib,” katanya, tegas.
Selain itu, soal cedera jangan ditanya lagi. Cedera seperti keseleo, bibir robek, hingga kencing darah, semua pernah dialaminya. Tapi karena sudah terlanjur cinta, meski tahu risiko yang akan didapatnya, ia tetap tak berhenti menjadi atlet. Sampai pada tahun 1994, ia dinyatakan berhak menggunakan sabuk hitam Perguruan Bakti Negara.
Hingga pada 1995, Ajik Dewa mendapat sertifikat wasit-juri nasional pencak silat kelas III yang diberikan oleh PB IPSI. Dan mendapat sertifikat wasit-juri nasional pencak silat kelas II sekitar tahun 2000an. Dengan sertifikat tersebut, ia berhak memimpin pertandingan tingkat nasional di mana pun. Salah satunya ia pernah memimpin pertandingan di Pra-PON XVI 2004 di Samarinda, Kalimantan Timur.
Sertifikat Wasit-Juri Kelas III I Dewa Nyoman Sumarsana / Foto: Dok. Jas
“Selama saya menjadi wasit-juri, hanya ada dua wilayah di Indonesia yang belum pernah saya datangi, Papua dan Sumatera,” ujarnya, bangga.
Sebagai wasit-juri, Ajik Dewa merupakan yang terbaik. Ia pernah mendapat penghargaan dari negara sebagai wasit-juri pencak silat terbaik di Indonesia. Mungkin hanya dia satu-satunya orang di Perguruan Bakti Negara yang pernah mendapatkan tiga penghargaan di lain bidang sekaligus.
“Sebagai atlet, saya pernah mendapat penghargaan terbaik; sebagai wasit-juri pernah menjadi yang terbaik; dan sebagai pelatih juga pernah mendapat penghargaan terbaik,” ungkapnya, sambil menunjukkan dua piala penghargaannya yang masih tersisa.
Tak hanya mengabdikan diri di Perguruan Bakti Negara saja, Ajik Dewa juga mengabdikan diri di dunia pendidikan. Tahun 1983, iatercatat sebagai guru olahraga di SDN 3 Banyuasri dan diangkat menjadi PNS tahun 1984. Sebelum menetap di Banyuasri, ia pernah tinggal di Kaliuntu dan menjadi pelatih silat di sana.
Atas prestasi dan pengabdiannya di dunia pencak silat, pada momen peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) di Taman Kota Singaraja, Jumat (8/9/2023), bersama lima atlet senior lainnya, ia mendapat penghargaan dari KONI Buleleng sebagai bentuk penghormatan karena telah mengharumkan nama Buleleng dan Bali pada masanya.
Sejarah Singkat
Dalam buku Pencak Silat Daerah Bali (1985) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Jakarta dikatakan, sebelum nama Bakti Negara tercetus, di Badung ada istilah silat Bebugisan. Nama tersebut diambil dari banyaknya pelaut Bugis yang datang ke Badung yang dibebankan/diwajibkan ikut membela daerah Badung dengan jalan memberikan pelajaran atau latihan silat pada masyarakat.
Setelah kemerdekaan tercapai, silat tersebut dikembangkan dan diterima oleh masyarakat, serta namanya diganti menjadi Perkumpulan Pencak Silat Bakti dengan tokoh dan pendirinya adalah Cokorda Bagus Sayoga dengan kawan-kawannya, antara lain Bagus Rai Keplag, Gusti Rai Tokir, Anak Agung Meranggi, Tantra, dan Resi Mpu Tantri.
Dari tahun ke tahun, pencak silat tersebut berkembang pesat dan akhirnya memekarkan diri menjadi beberapa perkumpulan seperti Tri Darma, Bhakti Setia Budi, Bakti Negara, Bhakti Barat, dan lain-lain.
Dari situlah awal perkembangan perguruan pencak silat Bakti Negara—yang dipelopori oleh Ida Bagus Oka Dewangkara, Ida Bagus Oka Sahadewa, Bagus Made Rai Keplag, Anak Agung Rai Tokir, Anak Agung Meranggi, dan Pendekar Sri Empu Dwi Tantra. Secara resmi, Persatuan Seni Pencak Silat (PSPS) Bakti Negara didirikan pada 31 Januari 1955.
Piagam penghargaan I Dewa Nyoman Sumarsana saat menjadi wasit-juri di Pra PON XVI 2004 di Samarinda, Kalimantan Timur / Foto: Dok. Jas
Dilansir dari laman Liputan 6, Bakti Negara adalah aliran dan perguruan pencak silat yang berpedoman pada ajaran Hindu. Pencak silat ini sebenarnya berakar pada pencak silat dari tanah Jawa, seperti Cikaret, Cikalong, serta Sitembak. Namun, dalam perkembangannya, unsur-unsur Bali teramu kental, sehinga memiliki ciri khas tersendiri yang agak berbeda dengan akarnya.
Menurut Ajik Dewa, pada awalnya Bakti Negara hanya berkembang di wilayah Badung atau Denpasar dan sekitarnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Bakti Negara berkembang di seluruh Bali bahkan sampai di luar negeri, khususnya di Australia.
Bagi Ajik Dewa, Pencak Silat Bakti Negara bisa dibilang aliran silat yang lengkap, komplit. Selain mengajarkan ilmu beladiri dengan banyak jurus, Bakti Negara juga menanamkan ilmu kepercayaan pada diri sendiri, pengisian mental spiritual, dan pengobatan.
“Bakti Negara punya banyak teknik jurus. Ada pukulan cikaret, elakan cigang, tangkisan, tangkepan atau kunci, hingga tendangan plosor. Di Bakti Negara ada teknik-teknik yang dipakai di karate, judo, atau silat yang lain,” terangnya.
Harapan Menduniakan Silat
Dunia memang tidak mengenal pencak silat seperti mengenal kung fu, shaolin, tinju, atau karate. Tapi di Indonesia, kampung halamannya, silat masih banyak muncul di budaya pop. Di film, misalkan. Film tertua Indonesia yang menggambarkan tentang silat adalah Harimau Tjampa (1958). Salah satu pemerannya, Malin Maradjo, adalah juara silat dalam PON II 1951.
Industri film ini kemudian melahirkan aktor-aktor film laga yang kemudian jadi besar, seperti Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy, hingga Ratno Timoer (tirto.id, 2016). Dari data situs Film Indonesia, ada sekitar 85 film dengan latar belakang silat di Indonesia dalam kurun waktu 1958 hingga 1988.
Selain dalam medium film, silat juga kerap diangkat dalam medium novel. Salah satu penulis cerita silat (cersil) paling populer adalah Bastian Tito. Dia menciptakan karakter Wiro Sableng yang kemudian jadi legenda tersendiri, dan diangkat ke dalam film serial. Nama lain yang populer adalah S.H Mintardja, yang sudah menulis sekitar 400 cersil semasa hidupnya.
Dalam artikelnya Usaha Menyilatkan Dunia dan Menduniakan Silat Nuran Wibisono menuliskan bahwa silat juga pernah muncul dalam bentuk komik. Ada beberapa judul komik yang begitu lekat dengan silat. Seperti Si Buta Dari Gua Hantu karya Ganesh TH yang pertama kali terbit pada 1967. Selain itu ada Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, Sri Asih buatan RA Kosasih, juga Jaka Sembung yang dibuat Djair Warni.
Masih dari sumber yang sama, di tingkat dunia, pencak silat mulai dikenal luas semenjak adanya film Merantau (2009) dan The Raid (2011). Merantau menggambarkan kehidupan Yuda, pendekar Silek Harimau (silat Minangkabau aliran Harimau), yang pergi ke Jakarta untuk merantau.
Sedangkan The Raid semakin mempopulerkan pencak silat. Film ini dipuji saat diputar dalam Toronto International Film Festival, kemudian hak siarnya di Amerika Serikat dibeli oleh Sony Pictures Worldwide Acquisitions.
Pencak silat memang belum begitu populer jika dibandingkan dengan bela diri lain. Tapi kemunculannya di Merantau dan The Raid mulai mengangkat nama bela diri ini. Medium film memang dianggap yang paling ampuh untuk mempopulerkannya ke tingkat dunia. Hal ini sudah dibuktikan oleh kung fu, tinju, juga bentuk bela diri lain.
“Harapan saya, pencak silat bisa mendunia, supaya warisan leluhur kita ini tetap lestari. Sebab, pencak silat bukan hanya sekadar olahraga, tapi merupakan bagian jiwa bangsa Indonesia itu sendiri,” ujar Ajik Dewa dengan nada yang bergetar. Semacam ada yang bergemuruh di dalam dadanya.[T]
Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana