Lempad di Depan Naga Banda | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023.
Malam itu seperti malam-malam lainnya, orang-orang mulai berdatangan ke Puri Ubud, menunggu cerita yang akan dibacakan oleh orang-orang khusus yang ditunjuk raja. Orang-orang yang datang hanya menggunakan kain untuk membungkus bagian bawah tubuh—dari pinggang ke bawah. Sebagian tubuhnya tak ditutupi apa pun. Semua orang tahu, pakaian adalah barang mewah pada zaman itu. Malam yang remang diterangi beberapa pelita, dan udara Ubud yang cukup dingin tak menyurutkan keramaian malam di Puri Saren Kauh-Ubud. Mereka duduk berimpit, tersebar di antara halaman dan bale yang kokoh melingkar di halaman Puri. Mereka bercakap-cakap tentang sawah, kegiatan adat, hari-hari baik, sebelum cerita dibacakan.
Suasana kembali hening ketika cerita mulai dibacakan, kecuali ketika cerita sampai pada kisah tertentu. Dan beberapa orang mulai melempar celetukan di tengah-tengah cerita-cerita lucu atau cerita-cerita erotik itu; mungkin mereka menggerutu ketika mendengar keputusan Rama untuk menceburkan istrinya, Sita, ke dalam api setelah berhasil merebutnya dari Rahwana. Lempad mungkin salah satu orang itu. Ia menggerutu, sepakat atau setuju, lalu menorehkannya selagi kisah-kisah itu mekar di kepalanya.
Dalam suatu kasus, kita harus mengakui bahwa “gosip” kadang memberi dampak yang baik. Sebagaimana orang-orang Ubud waktu itu, di sela-sela pembacaan cerita, orang-orang akan bergosip tentang tokoh yang diceritakan. Mereka membincang tentang sikap para tokoh, keputusan-keputusan yang diambil, dan semacamnya.
Tentu hari ini, kita bisa mengandai-andai kisah tentang Lempad yang kerap hadir dalam pembacaan lontar di Puri Saren Kauh, Ubud, sebagaimana Lempad mereka cerita yang ia dengar di atas kertas sederhana.
*
“Setiap malam, sepulang dari Puri, ia pasti langsung membuat sketsa. Kalau ke rumahnya pada pagi hari, saya akan melihat gambar baru di atas meja,” kata Gusti Nyoman Darta. “Bayangkan, waktu itu belum ada listrik, jadi Lempad melukis dengan penerangan berupa pelita setelah mendengar cerita-cerita itu,” lanjutnya.
Gedong Rumah Lempad | Photo by Djajusman. 2022. Courtesy of Taut Seni Foundation. 2022
Pada I Gusti Nyoman Darta, Lempad berpesan: “Jika ingin belajar menggambar, kau tak perlu menemuiku. Cukup tajamkan pensilmu, perbanyak mendengar cerita, dan ingatlah padaku,” kata I Gusti Nyoman Darta ketika mengenang Lempad. “Yang kugambar, semua ada dalam cerita-cerita itu,” lanjut Darta sambil menirukan pesan kakeknya.
Dalam perhelatan di Puri Saren Kauh-Ubud, cerita-cerita Ramayana, Mahabarata, dan berbagai cerita yang ditulis dalam daun lontar dibacakan, dan observasi paling sederhana akan mempertemukan kita dengan penggalan cerita itu pada goresan dalam kertas-kertas tanpa keterangan nama seniman—sebagaimana karya-karya klasik di Bali yang tidak diketahui penciptanya—tapi kita akan mengenal garis yang seolah tak bermula dan tak berujung itu adalah garis yang digores tangan Lempad. Belakangan, nama Lempad tertulis dalam karya-karyanya. Diperkirakan, nama-nama itu ditulis oleh anak cucu Lempad untuk menandai karya-karyanya.
“Kakek memang tak bisa membaca, tapi ia sesungguhnya bisa meniru huruf dengan sangat baik sehingga ia bisa menulis namanya sendiri dengan meniru,” terang Gusti Gde Udayana, cucu Lempad dari anaknya yang bernama Gusti Made Kerti.
Kita mungkin bisa meragukan kemampuan Lempad dalam membaca teks tertulis, tapi kita tak pernah bisa meragukan cara ia mendengar, menafsir, dan menorehkan garis. Dalam pameran yang digelar oleh Taut Seni selama Juli-Agustus 2023, seorang kawan, Iwan–asal Padang Panjang yang kebetulan bertugas menjadi salah seorang pemandu terlihat suntuk di depan lukisan Lempad tentang pertapaan Arjuna.
Relief Keluarga Brayut karya I Gusti Nyoman Lempad | Photo by Djajusman. 2022. Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
“Kau perhatikan baik-baik!” katanya. Seolah, ia ingin menunjukkan sihir Lempad yang paling mutakhir.
“Ya,” balas saya.
“Kau lihat tangan Arjuna itu?” lanjut Iwan. “Ia seolah menerima godaan bidadari itu. Arjuna merangkul bidadari itu,” tegasnya. Kini, giliran Iwan yang menarik saya ke ruang paling ujung: ruang khusus penerus Lempad.
“Kau perhatikan lukisan karya Pak Darta ini?” katanya sambil mengerutkan dahi.
“Sama-sama Arjuna bertapa,” balas saya enteng.
“Ya, tapi arjuna di sini tak menghiraukan bidadari yang menggoda. Arjuna benar-benar khusyuk,” kata Iwan.
Memang temuan Iwan memantik saya untuk membayangkan pertemuan dan pemahaman kedua pelukis itu: Lempad, begitu juga Gusti Nyoman Darta. Lempad dipengaruhi zaman dan orang-orang yang berbeda dengan Gusti Nyoman Darta. Sementara itu, Gusti Nyoman Darta tampaknya memiliki sesuatu yang khas, ia kerap mengangkat tema yang sama dengan tema yang digarap Gusti Nyoman Lempad, bedanya Gusti Nyoman Darta kerap memanjangkan wajah-wajah tokohnya, mirip seperti teknik melukis wajah ala Rudolf Bonnet namun diabstraksi dengan pendekatan yang berbeda.
Lempad dan Puri Ubud
Jalur proses yang ditempuh Lempad, terkait erat dengan pintu yang dibuka pihak Puri Ubud pada Lempad. Ia merupakan lelaki asal Bedulu-Gianyar, yang diperkirakan lahir tahun 1862. Jika tebakan itu tak keliru, maka sebagai seniman, Lempad beruntung dihadiahi umur panjang. Tentu ia mengalami berbagai gejolak sosial-politik Bali, dari zaman kerajaan, penjajahan, reformasi, Gestok, dan Orde Baru. Masa-masa yang penuh dengan ketidakpastian, dan ketidakpastian: makan atau tidak malam nanti.
Lempad Menggambar | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
Lempad mengalami masa awal masuknya pariwisata, sekaligus masa-masa kerajaan. Migrasi Lempad dari Bedulu hingga ke Ubud, tidak terlepas dari kebijakan politis yang diambil raja Blahbatuh—kerajaan yang menguasai wilayah Bedulu. Keputusan Raja Blahbatuh, membuat Lempad kecil dan ayahnya mesti mengungsi ke Puri Peliatan-Ubud, lalu menetap di sebelah timur Puri Ubud.
Di Puri Ubud, Lempad dan ayahnya diterima dengan baik, dan diangkat sebagai Undagi Puri untuk merancang tata letak bangunan, menggagas ornamen-ornamen puri yang bisa dijumpai hingga hari ini, dan membuat Bade. Dengan ijin dari raja Ubud waktu itu, Puri seolah menjadi laboratorium Lempad dalam berkarya. Kian hari, hubungan Puri dan Lempad kian merambat. Hubungan pun terjalin tak hanya antar warga Ubud, tetapi juga hubungan dengan seniman Barat, lalu mereka membangun semacam perkumpulan yang dikenal sebagai Pitamaha.
Lempad merentangkan tongkatnya, lalu membuat garis di atas halaman tanah yang cukup luas. Persis seperti anak-anak yang bermain di halaman. Bedanya, Lempad adalah orang dewasa yang tidak mungkin dimarahi oleh orang tua, dan dia sedang membuat desain bangunan, bade, atau candi, dan sebagainya. Paling tidak, begitulah bayangan orang-orang bagaimana awal Lempad bertemu dengan Walter Spies.
Pada 25 April 1978, I Gusti Nyoman Lempad meninggal–tepat pada tahun yang sama dengan meninggalnya dua penggagas Pitamaha lainnya, Cokorda Gde Agung Sukawati, dan Rudolf Bonnet.
Sebagai Undagi, Lempad dipercaya untuk mendesain Bade atau tower kremasi Raja Ubud. Barangkali, Lempad sadar bahwa ia tak akan hidup selamanya dan ingin anak-cucunya mengenali desain-desain yang ia rancang. Jejak desain Bade Lempad kini bisa dijumpai di rumah Lempad (House of Lempad). Desain tersebut berbentuk maket setinggi 185 cm, yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. Namun, maket ini mulai rapuh, beberapa ornamennya telah hilang, beberapa lainnya hanya menyisakan kulit sementara kayu bagian dalam telah kosong. Maket Bade itu kini dicacah, dan bagian-bagiannya berjejer di atas meja putih berkaki besi.
Rangkaian Maket Bade Karya I Gusti Nyoman Lempad | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
Sebagai seorang perupa, Lempad tampaknya memiliki kesadaran pengarsipan. Dalam konteks ini, arsip yang ditunjuk adalah arsip pengetahuan Lempad sebagai Undagi. Selain membuat maket Bade, lempad juga membuat sebuah sketsa lukisan yang praktis bisa menjadi panduan membuat palinggih. Kerja lintas disiplin antara lukis dan arsitekturnya tampak dalam karyanya yang berjudul Lingga Siwa dan kini dikoleksi Cok Bagus, salah satu pemilik Museum Puri Lukisan.
Selain dua karya itu, Lempad juga membuat sebuah lukisan di mana orang-orang membuat Lembu yang digunakan dalam upacara kremasi namun belum jadi secara utuh, sehingga desain Lembu itu terlihat cukup jelas. “Nanti kalau membuat Lembu, lihat saja lukisan kakek,” kata Gusti Gde Udayana mencoba menirukan kakeknya.
Imajinasi Bentuk
Hari ini, kita bisa melihat patung-patung yang berjejer di berbagai tempat yang memamerkan patung untuk dijual di pinggir jalan. Ukuran patung-patung itu bervariatif: mulai dari yang berukuran kecil, sangat kecil, besar, juga yang sangat besar. Tapi, jika kita melihatnya dengan lebih jeli, karakter-karakter yang terbentuk dari batu itu hampir tak memiliki perbedaan dengan karakter yang muncul pada serial Mahabarata dan Ramayana di televisi, begitu juga dengan bentuk dan ornamennya, katakanlah karakter Siwa, Ganesha, dan lain sebagainya.
Gusti Gde Udayana (kiri) dan Agus Wiratama/penulis (kanan) | Photo by Djajusman. 2022. Courtesy of Taut Seni Foundation. 2022
Migeul Covarrubias, seorang pelukis asal Spanyol, yang melakukan kerja antropolog di Bali sempat menyampaikan kekagumannya pada kesenian Bali era 1930-an dalam bukunya yang berjudul The Island of Bali. Kurang lebih, Covarrubias mengungkapkan bahwa dalam seni-seni di Bali, kita bisa menemukan pengaruh Cina, Melayu, Jawa, dan India, tetapi seniman Bali mampu meramunya dengan baik sehingga menjadi “sangat Bali”. Mungkin tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa proses kreatif seniman Bali sebagaimana yang ditempuh Lempad-lah yang sedang ditunjuk Covarrubias.
Kita tak bisa menampik pengaruh visual dalam televisi telah membingkai imaji atas visual di luar dirinya, tetapi kita mesti menimbang bahwa Lempad, dalam situasi zaman itu juga mendapat pengaruh dari relief-relief, sebagaimana tercatat dalam buku yang ditulis Ana Gaspar, Antonio Cassanovas, dan Jean Couteu yang berjudul Lempad: A Timeless Balinese Master. Dalam buku itu disebutkan bahwa relief yang berada dekat sawah–yang sesungguhnya juga tak jauh dari rumah Lempad di Bedulu–mungkin menjadi salah satu Relief yang mempengaruhi gaya lukis Lempad. Relief itu terukir pada sebuah dinding batu di Pura Yeh Pulu, Bedulu, dan diperkirakan dibuat pada abad ke 15-16.
Tetatahan Karya I Gusti Nyoman Lempad | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
“Gaya arsitektur dan gambarnya yang kemudian, linier dan lugas, mungkin tanpa disadari telah dipengaruhi oleh kombinasi garis-garis yang murni dan bersih, dinamika yang lancar, dan ‘nuansa’ yang belum selesai.” Tulis Ana Gaspar dkk dalam buku tersebut.
Dengan kata lain, kita tak bisa menghindari pengaruh. Lempad pun demikian. Pengaruh adalah keniscayaan. Kita hari ini mungkin bisa menerka: Lempad menyimpan bentuk lukisan klasik Bali, menyimpan bentuk-bentuk relief, arca-arca, dekorasi ala Bali, lekuk janur pada canang, lamak, cili, dan beberapa teknik dalam per-Undagi-an yang berserak dalam gudang kepalanya, yang kemudian muncul dalam prosesnya menciptakan lukisan, relief, patung, karang, dan semacamnya, yang tampak segar pada zamannya.
Tapi, dalam serakan data, pengetahuan, visual, bunyi, aroma, yang kita simpan hari ini, hal apa yang kemudian bisa dilahirkan? Atau jangan-jangan framing memang dibutuhkan dalam penyerapan data yang demikian meruah hari ini? Atau metode yang tepat? Atau kejeniusan pengolahan? Ah… entahlah.
Kehidupan pada Entitas yang Bukan Manusia
Anak-anak yang lahir dan tumbuh besar di Bali, paling tidak pernah mendengar mitos berikut: “Lihatlah bulan itu, di sana ada seorang ibu yang menenun, didampingi anaknya,” atau “Pohon itu keramat, roh seekor naga ada di sana,” atau “jangan pernah menyentuh patung itu, nanti dia marah,” atau “Gempa adalah ulah lembu raksasa yang bersarang di perut bumi.” Secara dangkal, mungkin kita akan mengatakan bahwa mitos adalah alat bagi orang tua yang ingin mengatur anak-anaknya. Tetapi di balik semua itu, ada cara berpikir yang juga penting untuk ditatap.
Orang Bali meyakini bahwa dunia bukan hanya milik manusia. Entitas lain—entitas baik ataupun buruk—juga hidup di dunia ini. Cara penghayatan terhadap dunia ini, terbentang di antara cara orang Bali melakukan upacara untuk pohon, binatang, dan unsur-unsur alam lainnya. Entitas material, tidak hanya dihayati sebagai materi, tetapi seluruh entitas berhubungan dengan sesuatu yang ada di luar dirinya. Dengan sederhana, segala sesuatu di dunia ini memiliki roh. Cara berpikir ini tampak dalam lukisan-lukisan Lempad.
Beberapa objek seperti api, pohon, atau batu digambarkan dengan wajah-wajah tertentu. Benda-benda ini tampak bergerak sebagaimana objek gambar lainnya. Lempad “memberi hidup” pada objek-objek tersebut, dan objek-objek itu hadir sebagai keutuhan realitas fiksional lukisan Lempad dengan geraknya masing-masing.
Lempad dan Karya setengah Jadi
Hal menarik dari seniman yang aktif di Pitamaha ini adalah kenyataan bahwa beberapa karyanya sengaja tidak diselesaikan. Sebagian orang mengatakan bahwa Lempad khawatir bahwa dengan selesainya karya-karya itu, orang akan mengambilnya (mungkin yang dimaksud membeli), sebagaimana yang dikatakan I Gusti Gde Udayana. Di Rumah Lempad, tepatnya di Bale Dauh pekarangan itu terdapat sebuah patung yang mengisahkan Rahwana melarikan Dewi Sita. Patung itu kurang lebih memiliki tinggi 99 cm.
Rawana and the abducted Sita fly on the Wilmana Karya I Gusti Nyoman Lempad | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
Patung yang mengisahkan penggalan cerita Ramayana itu cukup lebar dengan sayap yang membentang di kiri dan kanannya, tetapi jika kita lihat lebih dekat, maka akan ketahuan bahwa beberapa bagian memang tidak digarap tuntas oleh Lempad. Hal yang sama juga diterapkan dalam beberapa relief (kerap disebut pandil) yang terpajang di kiri-kanan Gedong Rumah Lempad. Relief itu mengisahkan cerita Brayut tetapi sama nasibnya dengan Patung penculikan Sita: tidak digarap secara tuntas. Konon, Lempad sempat berpesan, selain agar tetap berada di rumah itu, Lempad sesungguhnya mempersilahkan anak cucunya untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Ibu saya belajar menggambar dari lukisan Lempad secara langsung. Ini adalah lukisan-lukisan Master karya Lempad,” Kata Gusti Putu Suteja, salah satu cucu Lempad yang mendirikan Dewangga House of Lempad, Ubud. Gusti Putu Suteja menyimpan karya-karya Lempad yang sebagian besar adalah master lukisan yang digunakan sebagai media belajar oleh I Gusti Putu Oka (Ibu dari Gusti Putu Suteja) dalam belajar melukis.
Lempad meninggal dengan karya-karya yang tidak selesai. Seolah-olah, ia ingin berkata bahwa pekerjaannya tidak berakhir meskipun matahari telah muncul dari timur laut–waktu yang ia kehendaki untuk meninggal. Dan barangkali, makna mesti terus digali.
Garis dan Ruang yang tak Kosong
Garis rupanya memiliki sihirnya sendiri. Kadang, garis bersifat instruktif, sebagaimana garis putus-putus di tengah jalan, sebagaimana garis polisi, dan garis cahaya di panggung pertunjukan. Garis telah membantu kita menciptakan imaji ruang, dan dalam konteks ini Lempad mampu memanfaatkannya dengan baik.
Situasi Pameran Lempad di c|artspace | Courtesy of Taut Seni Foundation. 2023
Dalam kertas-kertas sederhana, Lempad menciptakan garis untuk membentuk imajinasi pengakses karya. Dan Lempad adalah orang yang lihai soal itu. Kita bisa saja berimajinasi tentang jalur dan bukan jalur karena garis putih di jalan raya, kita bisa saja berimajinasi soal ruang tempat jalan kaki dan tempat terlarang dengan garis polisi. Tapi, Lempad menciptakan garis yang membuat kita membayangkan daging dan udara dalam lukisannya.
Lukisan-lukisan Lempad, sebagaimana karyanya yang berjudul Dance Lesson, yang kini menjadi koleksi Museum Arma Ubud, membuat siapa pun bisa membayangkan bahwa antara ruang luar tubuh penari–lingkungan, udara, dan sebagainya–dan tubuh penari yang dilengkapi dengan daging, gestur, dan gerak penari itu sendiri.
“Saya heran, padahal kakek hanya menggunakan garis, tapi ia bisa mengeksplorasi anatomi tubuh,” terang I Gusti Nyoman Darta.
Barangkali tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ruang kosong yang dibatasi garis tubuh penari dalam lukisan Lempad, bukanlah ruang yang sungguh-sungguh kosong. Padahal, warna antara luar garis dan dalam garis sama-sama cokelat, sama-sama berwarna kertas. Warna yang sangat sederhana. Kosong dalam lukisan lempad bukanlah hampa. Kosong dalam lukisan tersebut telah dimanipulasi oleh imajinasi pengakses yang terpantik karena kelihaian lempad bermain garis.
Dalam perspektif yang berbeda, kosong adalah kehampaan, jika kosong adalah sebuah kekeliruan pemilihan kata, barangkali, nol adalah kata yang tepat untuk mengungkap ruang yang hadir di antara garis dalam lukisan itu. Nol bukanlah kehampaan, tetapi nol adalah rangkaian bilangan sebelum satu. Dengan kata lain, ruang di tengah garis antara tubuh penari sesungguhnya titik berangkat imajinasi pengakses, maupun Lempad. Pertanyaan yang kiranya penting untuk dijawab adalah “Bagaimana Lempad memandang materi dalam ruang nol itu?” [T]
CATATAN:
- Tulisan ini dibuat berdasarkan percakapan dan bacaan dalam persiapan pameran “Darkness Is White: Lempad, Tokoh Pembaharu Seni Lukis Tradisional Bali” yang diadakan di c|artspace, Bali Collection, Kawasan Pariwisata ITDC Nusa Dua, Badung-Bali sepanjang 15 Juli-9 Agustus 2023 oleh Yayasan Taut Seni.
SUMBER:
- Wawancara dengan I Gusti Nyoman Darta, pelukis asal Ubud yang meneruskan gaya Lempad, sekaligus memiliki hubungan keluarga dengan Lempad.
- Wawancara dengan I Gusti Gde Udayana, cucu Lempad yang sekaligus pengelola House of Lempad.
- Wawancara dengan I Gusti Putu Suteja, salah seorang cucu Lempad, penerus lukisan gaya Lempad, dan pemilik Dewangga House of Lempad.
- Wawancara dengan Tjokorda Putra Sukawati, seorang tetua Puri Ubud dan salah satu pemilik Museum Puri Lukisan.
- Covarrubias, Miguel. 1930. the Island of Bali. Terjemahan Sunaryono Basuki KS. Denpasar: Unud Press.
- Putu Suteja, Gusti, dkk. 2014. Lempad for the World. Ubud: Dewangga House of Lempad
- Gaspar, Ana, Antonio Casanovas, dan Jean Couteau. 2014. Lempad: A Timeless Balinese Master. Netherlands: Picture Publisher Art Books and Boek l Design.
- Darling, John. Perjalanan Panjang I Gusti Nyoman Lempad. Museum Puri Lukisan: Ubud.