NAMA ALMARHUM I Dewa Nyoman Batuan dalam dunia seni lukis seolah tak habisnya untuk dibicarakan. Namanya begitu harum, tidak saja Bali, tapi juga nasional dan internasional. Ia seorang seniman yang dikenal dengan ragam karya yang unik, khas, dan monumental. Dan seniman asal Desa Pengosekan, Ubud, Kabupaten Gianyar itu, harus diakui, memang sudah memiliki branding sendiri—dengan lukisan khas berkonsep mandala.
Oleh sebab itulah, demi mengenang seniman besar tersebut, pada Kamis (24/8/2023) malam, di Museum Arma Ubud, Desak Putu Yogi Antari Tirta Yasa, cucu Nyoman Batuan, mempersembahkan karya spesial berupa buku biografi visual dan film dokumenter untuk sang maestro dengan tajuk “Kembali ke Asal”. Hal tersebut sudah benar, karena kontribusi sang kakek memang begitu besar terhadap seni budaya.
Buku biografi yang dimaksud memuat profil I Dewa Nyoman Batuan, kisah perjalanan hidupnya, dan utamanya konsep dan foto-foto lukisannya. Sedangkan film dokumenter merekam tentang cerita, pendapat, sudut pandang orang-orang terdekat tentang diri I Dewa Nyoman Batuan. Ada cerita dari istrinya, kerabatnya, dan orang-orang terdekatnya, yang bercerita tentangnya.
Proses pembuatan buku dan film ini, menurut Yoga, sekitar satu tahun lamanya. Ia memulainya dengan riset teks (kajian pustaka) yang ada dan wawancara. Data tersebut lalu dikumpulkan dan diolah lagi sampai kemudian bisa menemukan yang tema yang diangkat.
Desak Yogi menjelaskan, ia memilih I Dewa Nyoman Batuan bukan saja karena itu kakeknya sendiri, tapi karena sang maestro memang pantas untuk “diabadikan”, dikaji, dan diperkenalkan. Selain sudah mendapat banyak penghargaan—termasuk Penghargaan Wijaya Kusuma dari pemerintah—karya-karyanya adalah seni lukis mandala, yang selama ini tak banyak pelukis mengangkat tema tersebut.
Lebih lanjut, menurut Yogi, pariwisata masuk juga ada campur tangan I Dewa Nyoman Batuan bersama Anak Agung Rai (Arma), Mangku Made Gina, yang berperan pada waktu kedatangan Ratu Elisabeth tahun 1974. Saat itu, Ratu Elisabeth berkunjung ke rumah Mangku Made Gina, katanya, setelah itu Pengosekan bumming. Jadi, lukisan Pengosekan banyak dibeli.
“Saya berharap, dua karya ini bisa menginspirasi generasi muda dalam berkarya,” kata Desak Yogi di sela-sela pemutaran film dokumenter dan pembukaan pameran.
Dalam momentum tersebut, bersamaan dengan itu, pameran lukisan karya-karya I Dewa Nyoman Batuan juga dibuka. Sebanyak 19 karya lukis dari tahun 1975 hingga karya sebelum sang maestro meninggal tahun 2013, dapat dinikmati dan diapresiasi.
Pameran lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan di Museum Arma Ubud / Foto: Ist
Lukisan I Dewa Nyoman Batuan masih ada ratusan lebih di rumahnya. Lukisan itu masih ada, karena keluarga tidak berniat untuk menjualnya. Mereka lebih memilih menyimpannya di galeri sendiri. Selain itu, lukisannya juga banyak dipajang di museum-museum di Bali. Beberapa dibeli kolektor, meski tak sedikit juga yang diberikan secara cuma-cuma kepada koleganya.
“Lukisan itu ada yang berjudul Mandala Aku Kecil (cerita kecil) hingga cerita terakhir sebelum meninggal. Setiap lukisannya selalu ada tulisan, puisi-puisi deskripsi, tentang cerita karya itu,” ujar Desak Yogi.
Tulisan-tulisan yang ada di dalam setiap karya itulah yang dijadikan inspirasi dan referensi Desak Yogi—meski ia harus mengkurasinya terlebih dulu bersama teman-temannya. Selain sebagai pelukis, I Dewa Nyoman Batuan juga seorang penulis. Latar belakangnya sebenarnya seorang guru, namun ditinggalkan dan memilih sebagai pedagang acung.
“Ketika proses membuat film dan buku, I Dewa Nyoman Batuan meninggalkan banyak catatan. Bahkan, ada buku tulis dan cetak secara independen, sehingga saya bersama teman-teman meneliti dengan membaca kembali semua tulisan itu, sehingga menemukan lukisan-lukisan ini—yang sesungguhnya menceritakan hidupnya sendiri,” paparnya.
Menurut pengakuan Desak Yogi, kedua karya ini bisa terwujud berkat dukungan dari dana abadi kebudayaan atau biasa disebut Dana Indonesiana. Dana ini disediakan pemerintah untuk mendukung perkembangan, prestasi, dan menyalurkan ekspresi bagi para budayawan.
Desak Putu Yogi Antari menyerahkan buku kepada penglingsir Puri Tjokorda Raka Kerthyasa, Anak Agung Rai, dan Mangku Made Gina di Museum Arma / Foto: Ist
“Saya bersyukur sebagai salah satu pemenang dan penerima manfaat Dana Indonesiana tahun 2022 dalam Program Dokumentasi Karya/Pengetahuan Maestro. Dalam hati saya berjanji, bila proposal saya lolos, maka bisa menghadirkan sesuatu untuk kakek saya di tahun 2023 ini, yang merupakan 10 tahun peringatan kepergian Beliau,” tandasnya.
Tak hanya pemerintah, produksi buku dan film dokumenter ini juga didukung sepenuhnya oleh keluarga besar I Dewa Nyoman Batuan—keluarga di Banjar Sigaran-Sedang—dan para narasumber, seperti Tjokorda Raka Kerthyasa, Mangku Made Gina, dan Anak Agung Rai—yang merupakan para sahabat Nyoman Batuan—serta manajemen ARMA.
Dalam kesempatan yang berbahagia tersebut, seniman Adi Siput menerjemahkan lukisan I Dewa Nyoman Batuan ke dalam tari kontemporer. “Sementara Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar telah mendukung saya dengan meminjamkan studio yang memungkinkan munculnya gambar-gambar estetik dalam film, serta Selonding Rasasvadana pada performance hari ini,” ujarnya.[T][Jas/*]