ABDULLAH IDRUS atau A. Idrus lahir di Padang, Sumatra Barat 21 September 1921, meninggal 18 Mei 1979. Ia adalah seorang sastrawan Indonesia. Pernah menempuh Pendidikan di HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Ia menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1943.
Idrus juga meraih gelar Master of Arts dari Universitas Monash, Australia pada tahun 1974. Ketika Idrus meninggal, Ia mendapatkan kandidat Ph.D di Universitas tersebut. Idrus juga pernah menjadi redaktur Balai Pustaka pada 1943-1949 dan kepala bagian pendidikan GIA pada 1950-1952.
Selain itu, Idrus pernah menjadi redaktur majalah Indonesia dan Kisah, kemudian Idrus mengabdikan dirinya di Universitas Monash pada 1965-1979.
Dalam bidang penulisan, Idrus menulis prosa, novel, drama, dan menerjemahkan beberapa karya sastra. Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LKR) terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Ia tinggal di Malaysia dari 1960 sampai 1964.
Karya-karyanya ditulis dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan tanpa hiasan kata-kata. Persoalan yang sering menjadi tema utama karyanya adalah masalah-masalah sosial yang terjadi pada zamannya. Ia membongkar habis keadaan buruk dan kacau pada masa revolusi, sebagaimana yang Idrus tuliskan dalam prosanya yang berjudul “SURABAYA’’.
Dalam karyanya itu, Idrus berupaya untuk menonjolkan berbagai kelemahan manusia-manusia yang eksis di kota Pahlawan. Kemudian, Idrus membuat sebuah konsep penceritaan yang Ia pelajari dari sastrawan ekspresionis Belgia, yaitu Willem Elsschot. Gaya sastra Elsschot inilah yang mempengaruhi Idrus dalam karya sastranya yang memfokuskan diri dan narasinya pada ketepatan dalam bentuk seharusnya (sisinisme).
Kekhasan Idrus dalam gaya kepenulisan membuatnya memperoleh tempat yang terhormat dalam dunia sastra Indonesia (SI), yaitu sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa sebagaimana yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya berjudul “Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa” (1993).
Prosa Surabaya ini merupakan salah satu karya Idrus yang diterbitkan oleh Merdeka Press pada tahun 1947. Sebab substansinya, karya Idrus yang satu ini memiliki semangat revolusioner dengan cita-cita keadilan sosial. Jika kita baca dan menganalisis dari isi yang dituliskan Idrus dalam prosanya, kita dapat mengambil sebuah hipotesis tentang humanisme.
Bagaimana Idrus mampu membuat alat antipropaganda terhadap pemerintah republik, ialah dengan membangun narasi-narasi keadilan sosial untuk masyarakat ataupun pribumi Surabaya secara gamblang dan tepat. Sehingga salah satu yang dominan dalam karya Idrus adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan ketegangan politik kolonial Belanda di Surabaya.
Abdullah Idrus menggambarkan keadaan masyarakat pribumi yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi sumber daya manusia (SDM) oleh bangsa kolonial. Ia juga memberikan gambaran yang sangat kuat tentang kehidupan masyarakat Surabaya, dengan menyoroti ketidakadilan sosial dan kesenjangan antara si miskin dan si kaya.
Bagaimana kaum miskin memperjuangkan utilitas mereka untuk tidak menderita dan si kaya dengan sekonyong-konyongnya memperlakukan manusia tanpa moralitas yang murni sebagaimana seharusnya. Hal ini tidak semestinya dialami oleh setiap individu manusia di muka bumi.
Idrus mulai menulis Surabaya dari sebuah kronologi awal terjadinya tragedi-tragedi di Surabaya dengan bahasa yang sederhana tapi penuh makna. Ia mengungkapkan bahwa sekelompok orang Belanda mengibarkan bendera negaranya yang berwarna merah, putih, dan biru tanpa adanya persetujuan dari pemerintah Republik Indonesia di kota Surabaya.
Sehingga masyarakat Surabaya pada saat itu menimbulkan reaksi premanisme melihat hal tersebut dan menjadi kesal, jengkel, yang berujung sebagai kemarahan kolektif. Karena pendeknya akal dan hilangnya kejernihan pikiran, maka salah seorang pemuda Indonesia kemudian mendatangi hotel Yamato tempat mereka mengibarkan bendera tersebut.
Sesampainya di hotel Yamato, terjadilah sebuah perbincangan dengan pimpinan sekutu agar bendera yang mereka kibarkan diturunkan, agar tidak terjadi keributan panjang gara-gara pengibaran bendera yang dilakukan oleh kolonial tanpa adanya persetujuan dari pemerintah Indonesia.
Akan tetapi, pimpinan mereka menolak untuk menurunkan benderanya, sehingga hal yang tidak diinginkan terjadi, yaitu sikap premanisme salah seorang pemuda yang tiba-tiba loncat dari atas gedung hotel Yamato berhasil merobek warna biru dari bendera negara Belanda. Dari insiden inilah terjadinya baku hantam yang luar biasa antara sekutu dan pribumi Surabaya.
Dari cerita dan derita yang dialami masyarakat Surabaya pada saat itu, disampaikan Idrus dengan penuh keprihatinan dalam penggambaran yang mendalam, Ia memperlihatkan sarkasmenya tentang interaksi antarwarga, dinamika budaya, sosial, dan politik yang terjadi di kota Surabaya.
Idrus melukiskan perjuangan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Surabaya, mulai dari pertempuran yang terjadi sampai kehidupan masyarakat Surabaya yang mengalami krisis pangan dan papan. Para pejuang-pejuang Surabaya diceritakan oleh Idrus sebagai cowboy-cowboy yang punya ‘revolver’ (pistol) di pinggang, saling membunuh seperti teroris. Penggambaran seperti itu menimbulkan banyak reaksi dan tragedi yang pilu.
Dalam prosa Idrus, “Surabaya” selalu berusaha dan berupaya untuk mengemukakan revolusi dengan masalahnya yang berkarakter. Karena kekurangan pengetahuan serta pengertiannya terhadap revolusi kemerdekaan rakyat kala itu, maka secara umum pandangan Idrus telah tergelincir ke dalam subjektivisme yang bukan kepalang.
Karenanya dari keseluruhan pembicaraan Idrus tentang Surabaya, Ia mencoba menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang jelek dan keji yang sifanya dehumanisasi secara gamblang. Dengan cara itu Idrus bermaksud supaya timbul dan terealisasikannya kebaikan dan sifat humanistik di tengah kehidupan bersosial di Indonesia, khususnya masyarakat Surabaya .
Akan tetapi hemat saya, secara tersirat Idrus menegaskan bahwa dirinya bukan hanya memiliki kelihaian dalam mengungkapkan kebaikan, tetapi Ia juga salah satu spesialis dalam mengungkapkan suatu kejelekan sebagaimana yang kita simak bersama di dalam prosannya.
Apa yang dimaksud Idrus dengan Surabaya bukanlah untuk menghina perjuangan bangsa Indonesia dan bukan pula Ia orang yang a-nasionalis. Tentu dengan prosa Surabaya yang ditulis Idrus kita melek akan ketidakadilan sosial di negeri ini, dan berupaya untuk menegakkan rasa humanisme antar sesama.
Cerita Surabaya ini bukan merupakan suatu cerita dalam pengertian yang biasa. Tidak ada tokoh utama yang diikuti perjalanan hidupnya atau pengalamannya dari permulaan sampai akhir. Kalau mau dicaripun, tokoh utamanya adalah revolusi dan pengalaman orang-orang di dalamnya. Cerita ini merupakan suatu karikatur dari pertempuran Surabaya yang ditulis oleh Idrus.
Kebencian Idrus sangat jelas terlihat kepada dehumanisasi dan pembunuhan. Ini sebuah keadaan yang membuat Ia benci dan ngeri kepada segala apa yang bersangkutan dengan revolusi. Akan tetapi, dengan itu Idrus tidak berarti anti revolusi. Pendiriannya terhadap revolusi bisa dilihat dalam tulisannya Perempuan dan Kebangsaan (Majalah Indonesia, No.4, Mei 1949, BP).
Selain sikap nasionalisme yang meluap-luap, juga keberanian moralnya yang besar untuk menulis terang-terangan dengan segala kejujuran seperti yang diceritakan Idrus. Kita tidak persoalkan kebenarannya, akan tapi keberaniannya dalam hal ini mengemukakan visinya sendiri tentang revolusi dan kebangsaan. Hal ini adalah suatu ciri kemerdekaan ’45. [T]