—- Dipersiapakan dalam rangka diskusi draft novel Enigma
MASA KECIL adalah masa lalu. Bagi siapapun, biografi telah menjadi masa lalu. Setiap orang punya masa lalu yang disimpan dalam ingatan. Kini masa lalu telah berpindah ke dalam dunia digital. FB, misalnya, tempat menyimpan masa lalu. Setiap orang pernah menceritakan masa lalunya. Pada keluarga, sahabat, rekan kerja, istri, dan lain-lain.
Bagi kaum penulis atau pengarang, masa lalu adalah kekayaan. Untuk dijadikan tulisan atau karangan.
Sayang sekali jumlah penulis sedikit. Tidak semua orang menceritakan atau menulis masa lalunya dalam buku-buku biografi atau sastra. Jika semua orang di muka bumi menulis masa lalunya maka penerbitan atau percetakan akan kewalahan bekerja. Dunia ini dipenuhi berbagai teks bergenre biografi.
Memang hanya para penulis menulis kisah masa lalunya.
Mengarang adalah kegiatan yang sadar untuk jujur dan berbohong. Terutama kebohongan akan dijustifikasi dalam tulisan. Menulis tak ubahnya sebagai pengakuan atas diri sendiri. Sementara itu, mengarang adalah mengedit materi realitas atau pengalaman. Karena itu, tulisan atau karangan adalah hanya 15 persen kebenaran. Yang 85 persen juga kebenaran tetapi telah disiasati secara kreatif dan psikologis oleh pengarangnya.
Dalam sastra ada istilah fiksi atau rekaan. Ini kata untuk memisahkan realitas dan fakta. Ini kata untuk melindungi sastrawan yang berbohong. Namun demikian, ilmu sastra menyadari keadaan seperti itu. Hal ini tampak dalam pendekatan yang disampaikan oleh M.H. Abrams. Sastra adalah mimesis atau representasi alam dan hidup manusia. Sastra adalah pragmatic atau manfaat bagi manusia. Sastra adalah otonom yakni struktur yang mandiri dan tidak berhubungan dengan variable-variabel di luar Bahasa dan struktur naratif. Dan, sastra adalah ekspresif atau pengalaman para pengarang.
Dari keempat pendekatan itu, maka Enigma adalah ekspresif. Sudah amat jelas karena novel ini biografis. Ada hubungan yang kuat dan mendasar dengan pengarang. Novel ini ditulis oleh pengarang sendiri mengenai masa lalunya. Hubungan itu sengaja diakui dengan pernyataan yang eksplisit dalam judul. Novel ini musti dibaca sebagai sebuah riwayat hidup pengarang.
Masa lalu itu bercerita lewat sosok. Cerita masa lalu itu diterima oleh Nyoman Sukma selaku pengarang yang berada pada masa kini. Masa lalu memiliki sosok tersendiri. Sosok masa kini melihat sosok masa lalu. Hal ini terjadi hanya secara sepihak karena sosok masa lalu sama sekali tidak mungkin melihat sosok masa kini, yang sejak dari masa itu disebut dengan masa depan. Mereka berdialog. Dialog yang dikendalikan hanya oleh sosok masa kini. Kondisi ini seperti yang terjadi dalam wawancara Najwa dengan Prabowo.
Pada satu segemen, tim kreatif acara Mata Najwa menampilkan foto sosok Prabowo remaja. ”Pak Prabowo, apa yang Bapak dapat katakan kepada Prabowo dalam foto itu?” Segemen ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada sosok yang berbeda di masa lalu dan masa kini. Demikianlah Nyoman Sukma Arida melihat dan memperlakukan sosok masa lalu dan seluruh ceritanya
Melalui pola sosok-sosok itu, kehidupan manusia adalah fase-fase yang berubah sesuai dengan tahapan tertentu. Pada setiap tahapan itu hadir tokoh tersendiri. Mirip dengan metamorofisis sempurna. Semua sosok itu pernah mencapai suatu tahapan (telor, larva, ulat, kepompong, dan kupu-kupu atau kumbang). Itu telah menentukan tahapan terkini.
Novel ini menjadi sorot balik sebuah metamorfosis. Hasil sorot balik itu adalah kisah yang dikemas dalam buku sastra berjudul Enigma.
Karena novel ini ditulis dari masa kini oleh sosok yang paling mutakhir yang berada pada bagian “akhir” tahapan, untuk sementara waktu; maka ia memiliki kuasa kepada masa lalu dan sosok-sosoknya. Mereka tidak dibiarkan bercerita apa adanya. Sosok yang menulis cerita dari masa sekarang itu kini turut campur dengan pikiran atau kehidupan sosok masa lalunya. Kutipan di bawah ini dapat menjadi suatu bukti.
Pikiran kanakku sudah memahami; pastilah mahal barang bernilai seni tinggi itu. Hanya turis-turis yang kulihat mampu membelinya. Batinku, perlu berapa helai kain batik jualan meme untuk bisa memiliki lukisan itu? Saya tak mampu mengkalkulasinya. Akhirnya keinginan memiliki lukisan khas Pengosekan itu terus kupendam. Kupuaskan mata hanya dengan menatapnya lekat. (hal. 77)
Isi kutipan di atas bentuk campur tangan kepada sosok masa lalu. Ketika itu sosok masa lalu tidak memiliki pandangan yang demikian. Dalam tulisan biografi, masa lalu itu dihadirkan tidak murni lagi. Dia tidak lagi realitas. Di tangan sosok masa kini, dia sudah menjadi konstruksi, sesuatu yang dibangun. Masa lalu pun tidak emik dari sosok yang hidup di dalamnya. Masa lalu itu etik dilihat dari masa kini, dari luar, dari jarak waktu, dari diakronisme!
Kutipan di bawah ini juga menunjukkan interpensi dari masa kini.
… sehingga tak sempat menyaksikan perbukitan di kaki pulau Bali dalam perjalanan pulang. (hal. 79)
Kala itu, si sosok yang dimaksud oleh kutipan di atas, tidak yakin memiliki pandangan yang sedemikian. Pandangan bahwa ”menyaksikan perbukitan di kaki pulau Bali dalam perjalanan pulang.” adalah putis. Namun ini lahir dalam sorot balik atau ziarah ke masa lalu.
Novel-novel sorot balik ke masa lalu ada dalam struktur memandang semua kenangan dengan cara saat ini, dijadikan semacam perspektif untuk melihat masa lalu itu. Ini adalah penglihatan yang tidak jujur. Penglihatan yang campur tangan.
Dari satu gulungan utuh dan tiada putus, masa lalu itu hanya dibangun dalam ingatan seperti grafik. Ada puncak-puncak ingatan. Entah puncak yang baik atau buruk dan semua hal yang mengacu hal itu dalam kehidupan ini. Novel ini pun memilih kisah-kisah yang paling membekas atau paling kuat dalam ingatan. Ada beberapa puncak ingatan tentang sejumlah peristiwa. Novel ini melakukan pilihan-pilihan puncak ingatan pengarangnya.
Komentar atau sejenis catatan yang paling penting tentu saja struktur naratif ingatan. Ingatan memiliki struktur tertentu. Di dalamnya tampak kisah-kisah yang mana membekas dalam dan sedemikian permanen di dalam dunia ingatan seseorang.
Struktur naratif ingatan memiliki alasan dan sejarah sehubungan dengan hal-hal apa saja yang diingat. Bahkan, berpengaruh kepada masa depan orang yang bersangkutan, si empunya ingatan. Itulah semua menjadi nisan-nisan yang diziarahi. Bagi pengarang itulah yang selalu menjadi repertoar karya sastra. Lewat pendekatan ekspresifnya M.H. Abrams, sastra yang bersumber pada ingatan pengarang dapat dijelaskan secara ilmiah.
Pertnyaan yang tidak penting bagi penulis. Kepada siapa karya ini diharapkan akan dibaca? Gao tidak peduli hal itu. Ia menuls untuk dirinya sendiri! Apakah Anne Frank menulis catatan perang untuk pembaca di seluruh dunia? Pun Soe Hok Gie? Tapi dalam perkara ini penulis surat lebih realistis. Surat-surat R.A. Kartini ditulis untuk dibaca oleh sahabat-sahabat korespodensinya di Negeri Belanda.
Namun demikian, pembaca mungkin bisa jadi tamu tak diundang namun memiliki hikmah besar bagi penulis.
Artinya tidak cukup sebatas diri sendiri. Pembaca adalah koloni legitimasi bagi para penulis. Hal ini tidak hanya meligitimasi penulis tetapi juga meligitimasi pembaca lain dalam relasi di ranah masyaraakat pembaca. Kelak ini dijadikan pasar oleh kapitalisme cetak dengan mesin produksi industri dan jaringan distribusi toko buku.
Karena itu, terhadap kutipan ini:
Dengan penuh harap saya menunggu kendaraan truk pasir yang bisa ditumpangi hingga kota kabupaten, Gianyar, di mana sekolah SMA ku berada. Bila truk menyalakan sign lampu ke arah kanan, artinya itu berkah bagiku, truk tersebut akan menuju kota Gianyar, kota tujuanku. Kedatangan truk ditandai dengan suara gemuruh dan sorot lampu depan yang jauh lebih terang daripada kendaraan biasa. Bila ada truk yang melintas, saya akan melihat situasi di sekelilingku terlebih dahulu.
Siapakah yang terketuk? Sebab dalam dunia sejarah, makna hanya terbentuk di antara generasi yang sezaman atau yang mengalami. Maka pelajaran sejarah adalah usaha untuk mengalamkan atau menjadikan genarasi yang belajar ada di dalam sejarah tersebut. Pengajaran sejarah adalah menarik siswa untuk masuk ke dalam zamannya.
Kutipan di atas, mungkin tepat bagi generasi yang mengalami. Tapi tidak sejalan dengan generasi di luar zamannya. Novel ini apakah sanggup membawa masuk pembaca ke dalam dunia anak SMA naik teruk pasir ke sekolah?
Demikian beberapa konsep yang diajukan dalam diskusi draft novel autibiografi Enigma karya Nyoman Sukma Arida. Selebihnya novel ini telah mencapai kualitas narasi yang sangat bagus. Yang perlu mendapat catatan adalah penyelarasan bahasa.[T]